
Optimalisasi Tata Laksana Hemofilia pada Anak di Indonesia: Tinjauan Berdasarkan Pedoman Nasional
Author: dr. Afiah Salsabila
21 Apr 2025
Topik: Hemofilia, Panduan, Guideline
Pendahuluan
Hemofilia merupakan kelainan pembekuan darah yang paling sering ditemukan di dunia. Penyakit ini merupakan penyakit genetik yang diturunkan secara X-linked recessive. Terdapat dua jenis utama, yaitu hemofilia A yang disebabkan oleh defisiensi faktor VIII dan hemofilia B oleh defisiensi faktor IX. Hemofilia A mencakup 85–90% dari seluruh kasus hemofilia, dengan insidensi 1:5.000–10.000 kelahiran bayi laki-laki, sedangkan hemofilia B ditemukan pada 1:30.000 kelahiran laki-laki. Di Indonesia, hanya tercatat 2.098 pasien hemofilia hingga tahun 2018, padahal estimasi jumlah penderita diperkirakan mencapai 20.000–25.000 kasus, menunjukkan masih rendahnya angka deteksi dan pelaporan penyakit ini. Untuk menanggulangi kendala-kendala yang dihadapi dalam mengatasi hemofilia di masyarakat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI) telah menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/243/2021 sebagai pedoman nasional pelayanan kedokteran yang dapat menjadi acuan standar pelayanan dan penyusunan prosedur operasional untuk fasilitas kesehatan, institusi pendidikan, serta kelompok profesi yang terlibat guna optimalisasi penanggulangan hemofilia di Indonesia. (1)
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Karena memiliki insidensi yang relatif jarang, kesadaran terhadap hemofilia di masyarakat maupun tenaga kesehatan masih rendah. Gejala seperti mudah memar, perdarahan sendi (hemartrosis), dan hematoma sering kali tidak dikenali sebagai manifestasi hemofilia, terutama pada usia bayi atau balita. Hal ini diperburuk dengan terbatasnya fasilitas diagnostik. Pemeriksaan kadar faktor pembekuan hanya tersedia di beberapa rumah sakit rujukan tingkat provinsi, sehingga diagnosis definitif sering tertunda. (1)
Secara diagnostik, hemofilia ditegakkan melalui kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan uji laboratorium. Pada anak yang dicurigai memiliki hemofilia, pemeriksaan awal berupa APTT dan PT dapat dilakukan. Pemeriksaan APTT mendeteksi fungsi faktor koagulasi intrinsik, sedangkan pemeriksaan PT bertujuan untuk mengevaluasi faktor koagulasi ekstrinsik. Faktor VIII dan faktor IX, yaitu faktor koagulasi yang defisien dalam hemofilia, merupakan bagian dari jalur intrinsik, sehingga anak yang memiliki hemofilia cenderung memiliki nilai APTT yang memanjang. Selebihnya, waktu protrombin (PT), jumlah trombosit, dan waktu perdarahan (bleeding time) cenderung normal karena hemofilia tidak mengganggu faktor-faktor pembekuan yang berperan dalam menentukan parameter-parameter tersebut. Namun, untuk menegakkan diagnosis pasti hemofilia, pasien masih perlu dilakukan peemriksaan assay faktor VIII atau IX pada darah. (1)
Klasifikasi derajat keparahan hemofilia penting untuk menentukan penatalaksanaan. Pemeriksaan kuantitatif kadar faktor pembekuan yang terlibat juga perlu dilakukan untuk menentukan derajat keparahan hemofilia yang dimiliki pasien. Hemofilia berat didefinisikan sebagai kadar faktor pembekuan <1%, sedang antara 1–5%, dan ringan antara 5–40%. Pasien hemofilia berat berisiko tinggi mengalami perdarahan spontan pada sendi 1–2 kali per minggu, dan mengalami penurunan fungsi muskuloskeletal yang signifikan bila tidak ditatalaksana dengan optimal. (1)
Strategi Penatalaksanaan
Tatalaksana hemofilia bertumpu pada prinsip pemberian terapi pengganti berupa konsentrat faktor pembekuan, baik secara on demand (saat perdarahan terjadi) maupun secara profilaksis (sebelum terjadi perdarahan). Konsentrat yang direkomendasikan adalah faktor VIII atau IX dalam bentuk plasma-derived yang telah melalui proses inaktivasi virus atau dalam bentuk rekombinan. Bila tidak tersedia, dapat digunakan kriopresipitat atau Fresh Frozen Plasma (FFP), meskipun produk ini memiliki risiko yang lebih tinggi untuk penularan penyakit infeksius, terutama jika diberikan berulang. (1)
Di Indonesia, terapi masih didominasi oleh pendekatan on demand karena ketersediaan konsentrat yang terbatas dan biaya yang tinggi. Padahal, terapi ideal seharusnya diberikan dalam waktu kurang dari dua jam sejak awitan perdarahan. Keterlambatan terapi, terutama pada anak hemofilia berat yang mengalami perdarahan sendi berulang, berkontribusi terhadap tingginya kejadian artropati dan disabilitas di usia dewasa. (1)
Profilaksis dosis rendah terbukti menurunkan frekuensi perdarahan dan memperbaiki kualitas hidup. Pemberian dimulai setelah perdarahan sendi pertama atau sebelum kerusakan sendi terjadi (profilaksis primer), atau setelah dua episode perdarahan sendi (profilaksis sekunder). Beberapa protokol yang digunakan secara internasional adalah Malmö dan Utrecht, namun dalam konteks Indonesia, modifikasi dosis lebih rendah yang disesuaikan dengan sumber daya lokal dianggap lebih realistis dan tetap efektif. (1)
Penatalaksanaan Komplikasi
Komplikasi utama hemofilia meliputi kerusakan sendi kronis, pembentukan inhibitor terhadap faktor pembekuan, dan infeksi akibat produk darah. Inhibitor adalah antibodi yang terbentuk terhadap faktor pembekuan yang diberikan pada pasien, dan terbentuk pada 20–30% pasien hemofilia A berat. Hal ini menyebabkan terapi faktor pembekuan menjadi tidak efektif. Dalam kondisi ini, terapi alternatif berupa bypassing agents seperti faktor VIIa rekombinan atau kompleks protrombin diperlukan. (1)
Kerusakan sendi (artropati hemofilik) biasanya baru mulai simtomatis ketika pasien memasuki usia 20-an. Namun, proses awal kerusakan sudah dapat dilihat dari ketika pasien masih anak-anak melalui pencitraan. MRI merupakan standar baku dalam mendeteksi hipertrofi sinovium, perdarahan sendi, dan kerusakan tulang rawan. Namun, karena biayanya yang tinggi dan tidak selalu tersedia, ultrasonografi muskuloskeletal (MSKUS) dengan sistem skoring HEAD-US dapat digunakan sebagai alternatif yang valid dan efisien. (1)
Pendekatan Multidisiplin dan Rehabilitasi
Tatalaksana hemofilia yang komprehensif harus melibatkan tim multidisiplin. Penanganan tidak hanya berfokus pada aspek perdarahan, tetapi juga pemantauan fungsi sendi, aktivitas fisik, serta aspek psikososial. Penilaian fungsi sendi dapat dilakukan menggunakan alat ukur seperti Hemophilia Joint Health Score (HJHS) dan Functional Independence Score in Hemophilia (FISH). (1)
Di samping itu, pasien dianjurkan untuk menjalani latihan fisik rutin yang terkontrol untuk memperkuat otot dan mencegah kekakuan sendi, serta menghindari aktivitas berisiko tinggi yang dapat menimbulkan trauma. Aspek pencegahan seperti pemberian vaksinasi juga diperhatikan dalam pedoman, dengan penyesuaian cara pemberian agar tidak meningkatkan risiko perdarahan. (1)
Kesimpulan
Tatalaksana hemofilia di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam aspek akses terhadap terapi dan deteksi dini. Pedoman nasional yang telah ditetapkan pemerintah merupakan langkah strategis dalam membangun sistem pelayanan berbasis bukti. Dalam konteks ini, dokter anak memegang peran kunci dalam meningkatkan kesadaran, melakukan diagnosis tepat waktu, serta menginisiasi tatalaksana dan rujukan yang sesuai. Pendekatan yang terkoordinasi dan komprehensif diyakini dapat mencegah kecacatan, meningkatkan kualitas hidup, dan memberikan harapan yang lebih baik bagi anak-anak penyandang hemofilia di Indonesia.
Referensi
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/243/2021 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Hemofilia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2021.
