Setiap orang tua pasti pernah mengalami masa di mana bayi yang sebelumnya tidur nyenyak, tiba-tiba menjadi sulit tidur, sering terbangun di malam hari, atau menolak tidur siang. Kondisi ini dikenal sebagai sleep regression, fase alami dalam tumbuh kembang bayi yang bisa membuat MomDad kewalahan karena seluruh rutinitas tidur terasa berantakan. Tapi jangan khawatir, fase ini bukan tanda ada yang salah. Justru, ini bagian dari proses perkembangan bayi yang normal dan sementara. Apa Itu Sleep Regression?Sleep regression adalah periode di mana bayi yang sebelumnya memiliki pola tidur cukup stabil, tiba-tiba mengalami gangguan tidur. Bayi bisa menjadi sulit tidur, sering terbangun di malam hari, atau menolak tidur siang. Fase ini sering dipicu oleh beberapa hal seperti sakit, tumbuh gigi, perubahan rutinitas, atau pencapaian perkembangan baru seperti belajar duduk, merangkak, hingga berjalan. Dalam beberapa kasus, sleep regression juga terjadi karena kebutuhan tidur bayi mulai berubah seiring pertumbuhannya.Tanda-Tanda Sleep RegressionBiasanya, setelah usia 4 bulan, orang tua sudah mulai mengenali pola tidur bayi. Jadi, saat perubahan ini terjadi, MomDad mungkin langsung menyadarinya. Beberapa tanda umum sleep regression antara lain:<ul><li>Bayi menolak tidur siang atau malam.</li><li>Sulit tertidur meskipun sudah tampak lelah.</li><li>Tidur siang menjadi lebih singkat atau bahkan tidak tidur sama sekali.</li><li>Lebih sering terbangun di malam hari.</li><li>Rewel, mudah menangis, dan tampak tidak nyaman.</li></ul>Masa ini memang bisa membuat seluruh keluarga kurang tidur dan kelelahan. Namun kabar baiknya, fase ini tidak berlangsung selamanya.Meski rasanya lama, sleep regression umumnya hanya berlangsung 3–6 minggu. Jika gangguan tidur hanya terjadi sekitar satu minggu, kemungkinan besar penyebabnya bersifat sementara, seperti tumbuh gigi atau sakit ringan.Tahapan Sleep Regression Berdasarkan UsiaSetiap bayi unik, begitu juga waktu terjadinya sleep regression. Namun, fase ini umumnya muncul di usia:<ul><li>Sleep regression usia 6 bulan biasanya terjadi karena bayi mulai sering lapar di malam hari, terutama saat mereka aktif belajar duduk atau merangkak. Tumbuh gigi dan kecemasan berpisah (separation anxiety) juga berperan.</li><li>Sleep regression usia 8 bulan muncul saat bayi mulai bisa menarik tubuhnya, merangkak, dan lebih aktif bereksplorasi. Mereka juga mulai berlatih berbicara dan kadang menolak tidur siang.</li><li>Sleep regression usia 12 bulan bisa jadi tidak terjadi pada semua bayi, tetapi umumnya berkaitan dengan perkembangan kemampuan baru dan meningkatnya kesadaran terhadap lingkungan sekitar.</li><li>Sleep regression usia 18 bulan terjadi saat anak memasuki fase balita. Mereka mulai memiliki siklus tidur-bangun yang berubah, lebih mandiri, dan sering menolak tidur karena ingin terus bermain.</li><li>Sleep regression usia 2 tahun biasanya menjadi fase terakhir. Perubahan besar seperti toilet training atau pindah dari boks ke tempat tidur bisa memengaruhi kualitas tidur. Imajinasi yang semakin berkembang juga dapat menyebabkan mimpi buruk atau rasa takut berpisah dari orang tua.</li></ul>Tips Menghadapi Sleep RegressionFase ini memang menantang, tapi bisa dilalui dengan beberapa langkah sederhana:<ul><li>Tetap jaga rutinitas tidur dan jam tidur yang konsisten.</li><li>Pastikan kebutuhan dasar anak terpenuhi sebelum tidur (kenyang, popok kering, dan nyaman).</li><li>Sesuaikan waktu bangun dan tidur siang dengan usianya.</li><li>Tenangkan anak dengan pelukan, gendongan, atau suara lembut.</li><li>Gunakan white noise atau musik lembut untuk membantu relaksasi.</li><li>Hindari paparan layar menjelang waktu tidur.</li></ul>Sleep regression adalah bagian alami dari proses tumbuh kembang anak. Walau membuat lelah, fase ini akan berlalu. Dengan kesabaran, rutinitas yang konsisten, dan dukungan emosional dari orang tua, anak akan kembali memiliki pola tidur yang lebih stabil. Jika MomDad merasa kewalahan, tak ada salahnya berkonsultasi dengan dokter anak atau tenaga profesional untuk mendapatkan panduan yang sesuai. Referensi: Sleep regression: what happens when your baby's sleep habits change, overnight!&nbsp;

Bayi Sulit Tidur di Malam Hari? Kenali Fase Sleep Regression di Tahapan Usia

bayi-sulit-tidur-di-malam-hari--kenali-fase-sleep-regression-di-tahapan-usia-1761299160254

MomDad, siapa yang pernah begini? Anak rewel nggak mau makan, langsung deh disodorin gadget biar lahap lagi. Atau waktu mau tidur, anak susah tenang, akhirnya dibukain video kartun. Kedengarannya sepele, tapi ternyata memberikan gadget di momen-momen tertentu justru bisa berdampak buruk pada tumbuh kembang anak, lho! Agar anak tidak ketergantungan screen time, hindari memberikan gadget dalam kondisi ini! Saat MakanBanyak orang tua merasa anak jadi lebih mudah makan kalau sambil nonton video. Tapi kebiasaan ini bisa menyebabkan anak tidak belajar mengenali rasa lapar dan kenyang, karena fokusnya teralih ke layar.Khususnya di usia 2–5 tahun adalah masa penting dalam perkembangan kemampuan makan mandiri dan keterampilan mengatur diri (self-regulatory skills). Di masa ini, anak mulai belajar mengenali rasa lapar dan kenyang, tapi tetap sangat bergantung pada orang tua untuk mengatur pola makan dan akses terhadap layar.Penggunaan screen time saat makan bisa menghambat proses belajar penting tersebut, karena anak menjadi kurang peka terhadap sinyal tubuhnya dan lebih fokus pada tayangan di layar. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memengaruhi kebiasaan makan, nafsu makan, hingga hubungan anak dengan makanan.Sebelum TidurTidur yang cukup dan berkualitas penting bagi anak agar mereka bisa bermain, belajar, dan berkonsentrasi dengan baik di siang hari. Namun, penggunaan layar dan teknologi digital dapat memengaruhi seberapa cepat anak tertidur dan seberapa lama mereka tidur dengan nyenyak.Salah satu penyebab utamanya adalah paparan layar menjelang waktu tidur, terutama dalam satu jam sebelum anak beristirahat. Cahaya biru yang dipancarkan dari televisi, komputer, ponsel, atau tablet bisa menekan produksi hormon melatonin, hormon yang membantu tubuh merasa mengantuk, sehingga anak menjadi lebih sulit tertidur.Selain itu, aktivitas digital seperti bermain game atau mengobrol dengan teman sering kali membuat anak tergoda untuk begadang. Bahkan setelah tertidur, notifikasi atau pesan yang masuk di malam hari bisa mengganggu kualitas tidurnya.Saat Bosan atau RewelWajar kalau MomDad merasa kewalahan ketika anak mulai rewel di tempat umum. Tapi menjadikan gadget sebagai “penenang instan” justru bisa membuat anak sulit mengelola emosi sendiri. Anak usia 3–5 tahun yang sering diberikan gadget untuk menenangkan diri memiliki kemampuan regulasi emosi yang lebih rendah dibanding anak yang belajar menenangkan diri tanpa bantuan layar.Saat sedang Bermain atau BersosialisasiHindari memberikan screen time ketika anak sedang bermain atau bersosialisasi dengan teman-temannya. Momen bermain adalah kesempatan emas bagi anak untuk belajar berkomunikasi, berbagi, bergiliran, dan memahami ekspresi emosi orang lain. Jika waktu tersebut tergantikan oleh layar, anak bisa kehilangan stimulasi sosial yang sangat penting bagi perkembangan bahasa dan keterampilan sosial-emosionalnya.Saat sedang Belajar FokusMemberikan gadget di sela waktu belajar bisa membuat anak lebih sulit berkonsentrasi dalam jangka panjang. Paparan video cepat atau game yang terus memicu dopamin membuat anak kesulitan menikmati aktivitas yang butuh fokus dan kesabaran.Gadget memang bisa jadi alat bantu yang bermanfaat, asal digunakan pada waktu dan cara yang tepat. Namun, ketika diberikan di momen seperti makan, tidur, atau saat anak rewel, gadget bisa jadi bumerang bagi tumbuh kembang anak. <ul><li>Referensi:</li><li>Roma Jusienė. Screen Use During Meals Among Young Children: Exploration of Associated Variables. Medicina (Kaunas). 2019 Oct 14;55(10):688.</li><li>Screen time and digital technology use: how it affects child and teenage sleep.&nbsp;</li><li>Ippei Takahashi, MMSc. Screen Time at Age 1 Year and Communication and Problem-Solving Developmental Delay at 2 and 4 Years. JAMA Pediatr Published Online: August 21, 2023. 2023;177;(10):1039-1046.</li><li>Manal M Alamri. Relationship Between Speech Delay and Smart Media in Children: A Systematic Review. Cureus. 2023 Sep 17;15(9):e45396.</li></ul>

Hindari Memberikan Gadget ke Anak dalam Kondisi Ini!

hindari-memberikan-gadget-ke-anak-dalam-kondisi-ini--1761298936404

Setiap anak tumbuh dengan kecepatan yang berbeda. Ada yang cepat tumbuh tinggi sejak kecil, ada juga yang tampak lebih pendek dibanding teman sebayanya. Namun, ketika perbedaan tinggi badan terasa cukup signifikan, orang tua tentu mulai khawatir, apakah anak saya mengalami gangguan pertumbuhan?Menurut ahli, penyebab anak pendek bisa sangat bervariasi. Kadang disebabkan oleh kondisi medis tertentu, kadang juga hanya karena constitutional delay. Artinya, tulang dan masa pubertas anak berkembang sedikit lebih lambat dibandingkan teman-temannya, tapi akan mengejar di waktu yang tepat atau late bloomer. Lantas, sebenarnya faktor apa saja sih yang memengaruhi tinggi badan anak?1. Faktor GenetikSalah satu penyebab paling umum dari perawakan pendek adalah faktor keturunan. Jika orang tua atau kakek-nenek memiliki tinggi badan yang relatif rendah, maka anak berpotensi memiliki tinggi serupa, kondisi ini dikenal sebagai familial short stature.Selain itu, meski dokter dapat memperkirakan tinggi target anak berdasarkan tinggi orang tua, hasil akhirnya bisa berbeda karena setiap anak memiliki potensi pertumbuhan yang unik.2. Kondisi Genetik TertentuBeberapa sindrom genetik juga dapat menyebabkan anak bertubuh pendek, seperti sindrom Turner, sindrom Noonan, atau sindrom Prader-Willi. Kondisi ini memengaruhi fungsi hormon dan perkembangan tubuh secara keseluruhan, sehingga pertumbuhan anak bisa terhambat.3. Penyakit KronisPertumbuhan anak sangat bergantung pada hormon pertumbuhan (growth hormone) yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis di otak. Jika kelenjar ini terganggu, misalnya akibat terapi radiasi pada otak saat pengobatan kanker, produksi hormon pertumbuhan bisa menurun.Selain itu, beberapa penyakit kronis juga dapat menghambat pertumbuhan, seperti penyakit celiac, gangguan tiroid (hipotiroidisme), penyakit jantung, ginjal, atau gangguan imun. Penyakit yang memengaruhi penyerapan nutrisi di saluran pencernaan juga bisa memperlambat pertumbuhan anak.4. Kekurangan Hormon PertumbuhanSebagian anak memang tidak memproduksi hormon pertumbuhan dalam jumlah cukup. Ini bisa terjadi sejak lahir jika kelenjar hipofisis tidak berkembang dengan baik. Anak dengan kondisi ini biasanya membutuhkan pengobatan hormon untuk menstimulasi pertumbuhan tubuhnya.5. Malnutrisi atau Kurang Asupan GiziAsupan gizi yang tidak memadai, baik karena kurang makanan, gangguan nafsu makan, maupun penyakit tertentu, merupakan salah satu penyebab paling umum dari keterlambatan pertumbuhan. Tubuh yang kekurangan nutrisi tidak memiliki cukup energi untuk tumbuh optimal.6. Stres PsikososialTak hanya faktor fisik, kondisi emosional anak juga bisa memengaruhi pertumbuhan. Anak yang hidup dalam lingkungan penuh stres, misalnya karena konflik keluarga, kurang kasih sayang, atau paparan kekerasan, dapat mengalami gangguan pertumbuhan akibat peningkatan hormon stres dalam tubuh. Kabar baiknya, kondisi ini bisa pulih bila anak dipindahkan ke lingkungan yang lebih aman dan suportif.PenangananPenanganan anak dengan perawakan pendek sangat bergantung pada penyebabnya. Jika penyebabnya adalah malnutrisi, dokter biasanya akan memfokuskan perawatan pada perbaikan pola makan dan asupan gizi.Pada kondisi lain, terapi hormon pertumbuhan (recombinant growth hormone) dapat direkomendasikan, terutama bila penyebabnya adalah sindrom genetik atau gangguan hormonal. Sementara untuk anak dengan constitutional delay atau “late bloomer”, dokter dapat memberikan terapi testosteron dosis rendah untuk membantu memicu pubertas dan mempercepat pertumbuhan.Tinggi badan anak memang bisa menjadi kekhawatiran besar bagi orang tua, namun penting untuk diingat bahwa setiap anak punya kecepatan tumbuh yang berbeda. Tidak semua anak pendek berarti mengalami gangguan medis. Jika anak tampak aktif, sehat, dan tumbuh sesuai grafik berat serta tinggi badan, biasanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Namun, bila tinggi anak tampak jauh di bawah kurva pertumbuhan normal, konsultasikan ke dokter spesialis anak agar penyebabnya bisa diketahui dan ditangani sejak dini. Referensi: Short Stature (Growth Disorders) in Children &gt; Fact Sheets &gt; Yale Medicine&nbsp;

Faktor-Faktor yang Bisa Menyebabkan Anak Pendek

faktor-faktor-yang-bisa-menyebabkan-anak-pendek-1761298798354

Momen saat anak tiba-tiba menolak makan alias gerakan tutup mulut (GTM) bisa bikin stres banyak orang tua. Wajar kalau MomDad khawatir, apalagi kalau berat badan si Kecil mulai menurun. Tapi, tanpa disadari, ada beberapa kebiasaan yang justru memperburuk situasi. Berikut lima kesalahan umum yang sering dilakukan orang tua saat menghadapi anak GTM dan bagaimana sebaiknya mengatasinya. 1. Memaksa Anak untuk Menghabiskan MakananBanyak orang tua berpikir bahwa anak harus menghabiskan semua makanan di piring supaya tidak mubazir. Tapi, memaksa anak makan justru berdampak buruk dalam jangka panjang. Anak yang sering dipaksa makan bisa kehilangan kemampuan alami tubuhnya untuk mengenali rasa lapar dan kenyang. Akibatnya, mereka cenderung makan berlebihan dan berisiko mengalami obesitas.Tips: Perhatikan tanda lapar dan kenyang anak. Wajar kalau suatu hari anak makan banyak, lalu keesokan harinya makannya sedikit. Kalau anak belum menghabiskan makanan, tak perlu dipaksa. Sisa makanan bisa disimpan dan ditawarkan kembali nanti ketika ia lapar.2. Menyuap Anak dengan Imbalan Makanan﻿﻿“Kalau habis makannya, nanti dapat cokelat, ya!” Pernah, kan, MomDad pakai kalimat ini?&nbsp;﻿﻿Memberi hadiah makanan agar anak mau makan terlihat efektif sesaat, tapi justru membentuk kebiasaan yang tidak sehat. Anak jadi belajar bahwa makan adalah tugas yang harus “dibayar”, bukan kebutuhan tubuh. Selain itu, mereka bisa jadi terlalu suka makanan manis atau junk food sejak dini.Tips: Hindari menggunakan makanan sebagai hadiah. Ganti dengan pujian atau pelukan hangat. Fokus pada pengalaman makan yang menyenangkan, bukan pada hadiah setelahnya.3. Terlalu Mengatur Porsi dan Jenis Makanan AnakBanyak orang tua tanpa sadar ikut campur terlalu banyak dalam urusan makan anak, mulai dari “Ayo, suap dua sendok lagi” sampai “Kalau nggak habis, nggak boleh main!”. Menurut American Academy of Pediatrics, 85% orang tua cenderung mengontrol asupan makan anaknya. Padahal, anak secara alami bisa mengatur seberapa banyak mereka butuh makan.Tips: Coba terapkan prinsip Division of Responsibility dari Satter. Orang tua menentukan apa, kapan, dan di mana anak makan, sementara anak memutuskan berapa banyak ia mau makan atau bahkan memilih untuk tidak makan sama sekali. Pendekatan ini membantu anak belajar mendengarkan tubuhnya sendiri dan menjadikan waktu makan lebih tenang.4. Memberi Gadget agar Anak Mau MakanBiar anak mau makan, banyak orang tua akhirnya memberikan ponsel atau tablet saat makan. Padahal, kebiasaan ini bisa mengganggu kesehatan pencernaan dan kebiasaan makan anak. Anak yang makan sambil menatap layar cenderung tidak fokus pada rasa lapar dan kenyang, sehingga bisa makan berlebihan atau justru kurang. Selain itu, makan dengan gadget membuat anak kehilangan momen penting untuk belajar menikmati makanan dan berinteraksi dengan keluarga.Tips: Ciptakan suasana makan yang menyenangkan tanpa distraksi. Ajak anak bicara tentang rasa atau warna makanan, nyalakan musik lembut, atau makan bersama keluarga agar waktu makan terasa positif.5. Memberikan Porsi Makan Terlalu BanyakOrang tua sering lupa bahwa anak memiliki ukuran lambung yang jauh lebih kecil dibanding orang dewasa. Menyajikan makanan dalam porsi besar justru bisa membuat anak merasa kewalahan dan kehilangan selera makan.Anak usia balita sebenarnya hanya membutuhkan makanan dalam porsi kecil tapi padat gizi, bukan banyak tapi kosong nutrisi. Idealnya, anak butuh tiga kali makan utama dan dua kali camilan sehat setiap hari. Selama pola ini terpenuhi dan anak tampak aktif tanpa tanda lapar berlebih, MomDad tak perlu khawatir.Tips: Coba pisahkan makanan di piring anak menjadi beberapa bagian kecil. Sajikan dua porsi kecil daripada satu porsi besar. Selain lebih mudah dihabiskan, anak juga tidak merasa tertekan oleh tampilan makanan yang terlalu banyak.Menghadapi anak GTM memang butuh kesabaran ekstra. Ingat, kunci utama bukan memaksa anak makan lebih banyak, tapi membantu mereka mengenal rasa lapar, kenyang, dan belajar menikmati makanan dengan nyaman. Dengan pendekatan yang penuh empati dan konsisten, waktu makan bisa kembali jadi momen menyenangkan untuk seluruh keluarga. Referensi:<ul><li>5 Common Feeding Mistakes Parents Make—and How to Fix Them&nbsp;</li><li>1st Step. Mistakes to Avoid While Inculcating Eating Habits in Toddlers. Diakses pada 22 Oktober 2025</li></ul>

5 Kesalahan Umum Orang Tua saat Menghadapi Anak GTM

5-kesalahan-umum-orang-tua-saat-menghadapi-anak-gtm-1761298587248

Rutinitas tidur adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan anak dalam urutan yang hampir sama setiap malam sebelum ia tidur. Rutinitas ini membantu anak merasa lebih tenang dan aman, sehingga ia bisa tidur lebih mudah. Meskipun rutinitas tidur berubah seiring bertambahnya usia, semua anak, termasuk remaja, manfaatkan kegiatan yang menenangkan sebelum tidur agar dapat mendapatkan tidur yang cukup dan berkualitas. Berikut adalah beberapa tips yang dapat membantu MomDad membentuk rutinitas tidur yang konsisten dan sesuai dengan usia anak. 1. Rutinitas Tidur Positif untuk Bayi, Balita, dan Anak PrasekolahRutinitas tidur yang baik bagi bayi hingga anak prasekolah membantu menenangkannya dan mempersiapkan tubuh untuk tidur. Rutinitas ini bisa dimulai sekitar 20 menit sebelum waktu tidur dan bisa mencakup aktivitas seperti mandi, menyikat gigi, hingga kegiatan tenang bersama orang tua, seperti membaca cerita.Contoh rutinitas tidur yang bisa dilakukan setelah makan malam dan mandi:<ul><li>Anak bermain dengan tenang selama 15-20 menit (misalnya bermain mainan atau mendengarkan musik).</li><li>Kemudian, MomDad dan si Kecil berbagi cerita bersama, bisa dilakukan di kursi yang nyaman atau membacakan cerita di tempat tidur.</li><li>Jika si Kecil belum tidur, bantu ia untuk masuk tempat tidur.</li><li>Peluk dan cium si Kecil sambil mengucapkan selamat tidur.</li><li>Setelah rutinitas selesai, beritahu anak bahwa saatnya tidur, matikan lampu utama dan tinggalkan ruangan.</li></ul>Rutinitas yang konsisten seperti ini bisa membantu mengurangi masalah tidur, membuat anak jarang memanggil MomDad di malam hari, dan juga memperkuat hubungan antara orang tua dan anak.2. Rutinitas Tidur untuk Anak Usia SekolahRutinitas tidur yang baik sangat membantu anak usia sekolah agar tidur lebih nyenyak. Meskipun si Kecil mungkin sudah lebih mandiri dalam kegiatan seperti menyikat gigi, ia tetap akan menikmati waktu bermain tenang, membaca, atau berbincang santai dengan MomDad.Contoh rutinitas tidur untuk anak usia sekolah:<ul><li>Anak menyelesaikan PR sebelum makan malam agar bisa bersantai sebelum tidur.</li><li>Anak mandi atau berendam.</li><li>Anak melakukan kegiatan yang menenangkan seperti menggambar, mendengarkan musik, atau bermain game (hindari layar dalam satu jam sebelum tidur).</li><li>MomDad dan si Kecil berbagi cerita di tempat tidur. MomDad bisa membacakan cerita untuk anak atau biarkan ia membacakan cerita untuk MomDad.</li><li>Peluk dan cium anak sambil mengucapkan selamat tidur.</li><li>Si Kecil atau MomDad mematikan lampu utama.</li></ul>3. Rutinitas Tidur untuk RemajaKetika anak semakin besar, rutinitas tidurnya perlu lebih fleksibel. Misalnya, anak bisa tidur lebih larut karena berbagai alasan seperti pekerjaan paruh waktu, kegiatan ekstra kurikuler, atau berkumpul dengan teman-teman. Meskipun demikian, rutinitas yang sama di setiap malam tetap dapat membantunya tidur lebih nyenyak.Contoh rutinitas tidur untuk remaja:<ul><li>Remaja mulai mengurangi penggunaan media sosial dan teknologi digital setidaknya 30 menit sebelum tidur.</li><li>Mandi atau bersantai dengan musik.</li><li>Membaca buku atau melakukan kegiatan relaksasi lainnya.</li><li>Matikan lampu utama dan tidur dengan tenang.</li></ul>Dengan rutinitas tidur yang tepat, anak tidak hanya mendapatkan tidur yang berkualitas, tetapi juga merasa lebih aman dan dihargai. Jadi, yuk mulai bangun rutinitas tidur yang menyenangkan untuk si Kecil!<a href="https://primaku.com/parenthood-institute/super-class/kelas-sleep-training" target="_blank"><img src="https://s3.ap-southeast-3.amazonaws.com/assets.primaku.com/editor/31045cd94633ce7d19310d2f9ad23039b_1761031351560.png" class="e-rte-image e-imginline e-resize" alt="Sleep-training (1).png" width="auto" height="auto" style="min-width: 0px; max-width: 1459px; min-height: 0px; max-height: 821px;"></a> Nah, untuk membantu anak tidur lebih nyenyak dan membangun kebiasaan tidur yang baik, MomDad bisa mengikuti <a class="e-rte-anchor" href="https://primaku.com/parenthood-institute/super-class/kelas-sleep-training" title="https://primaku.com/parenthood-institute/super-class/kelas-sleep-training" target="_blank">Kelas Sleep Training bersama dr. Frecillia Regina, Sp.A, IBCLC.</a> Dalam kelas ini, orang tua akan belajar strategi berbasis bukti ilmiah untuk membantu anak tidur lebih teratur dan berkualitas. <a class="e-rte-anchor" href="https://primaku.com/parenthood-institute/super-class/kelas-sleep-training" title="https://primaku.com/parenthood-institute/super-class/kelas-sleep-training" target="_blank">Klik di sini </a>untuk mengakses kelas &amp; mulai belajar! Referensi: Positive bedtime routines: babies, children and teenagers&nbsp;

Tips Sederhana Membentuk Rutinitas Tidur Anak yang Konsisten sesuai Usia

tips-sederhana-membentuk-rutinitas-tidur-anak-yang-konsisten-sesuai-usia-1761031420606

Ketika anak sakit, tidak jarang kita melihat penurunan berat badan, kulit yang tampak pucat, dan tubuh yang lebih lemas. Tak hanya itu, nafsu makan anak pun sering kali berkurang saat proses pemulihan. Sebagai orang tua, MomDad pasti ingin memberikan dukungan terbaik agar si Kecil kembali pulih dan mendapatkan kembali berat badan serta energi yang hilang. Namun, memaksa anak untuk makan terlalu banyak atau terlalu cepat mungkin bukan pendekatan yang terbaik untuk kesehatannya. Lalu, bagaimana sih cara menaikkan berat badan anak setelah ia sakit? Apa yang Terjadi setelah Anak Sakit?Setelah sakit, tubuh anak memerlukan waktu untuk pulih sepenuhnya. Pada saat ini, sistem tubuhnya, termasuk sistem pencernaan, masih lemah dan belum berfungsi dengan kapasitas penuh. Oleh karena itu, sangat wajar jika anak merasa enggan makan atau makan dalam porsi sedikit. Yang terpenting adalah menyediakan makanan yang sesuai dengan kondisi anak dan memprioritaskan nutrisi yang tepat untuk mendukung proses pemulihan. Cara Memberikan Dukungan Nutrisi untuk Anak setelah Sakit﻿﻿Untuk memberikan dukungan nutrisi setelah anak sakit, pastikan MomDad melakukan hal-hal berikut:<ul><li>﻿﻿Jaga Hidrasi</li></ul>Salah satu langkah pertama yang harus diperhatikan adalah memastikan anak cukup cairan, terutama jika si Kecil mengalami demam, diare, atau pilek. Air putih sangat penting untuk membantu tubuh tetap terhidrasi dan memulihkan sistem tubuh yang terpengaruh akibat sakit.<ul><li>Tingkatkan Asupan Protein</li></ul>Setelah sakit, tubuh anak membutuhkan lebih banyak protein untuk mempercepat pemulihan dan memperbaiki kekuatan tubuh yang lemah. Makanan yang kaya protein, seperti telur, susu, dan daging sapi, sangat penting untuk mendukung proses penyembuhan.<ul><li>Penuhi Kebutuhan Vitamin dan Mineral</li></ul>Vitamin dan mineral memainkan peran penting dalam memperkuat sistem imun anak setelah sakit. Fokus pada vitamin A, C, D, serta mineral seperti kalsium, zinc, dan zat besi untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Jus jeruk dan yogurt bisa menjadi pilihan untuk memberikan nutrisi yang dibutuhkan sekaligus membantu penyerapan vitamin dan mineral lainnya.Tips Menyajikan Makanan untuk Anak setelah SakitSaat menyajikan makanan untuk anak setelah sakit, pastikan makanan yang diberikan mudah dicerna dan ringan. Hindari memberikan makanan yang tinggi lemak atau gula berlebih yang dapat memperburuk masalah pencernaan dan menghambat proses pemulihan. Selain itu, hindari memaksakan anak untuk makan terlalu banyak sekaligus. Berikan makan dalam porsi kecil tapi sering untuk membantunya mengembalikan energi dengan bertahap.Makanan yang Baik untuk Pemulihan Anak Setelah Sakit﻿﻿Ada beberapa rekomendasi menu makanan yang bisa diberikan pada anak setelah sakit, guna memulihkan kembali energinya, seperti:<ul><li>Bubur Ikan Belut</li></ul>Belut adalah sumber protein yang sangat bergizi dan membantu memulihkan energi serta memperbaiki sirkulasi darah. Bubur ikan belut yang kaya nutrisi dan berbentuk cair sangat cocok untuk memberi nutrisi dan membantu pemulihan setelah sakit.<ul><li>Sup Ayam</li></ul>Sup ayam kaya akan protein, zat besi, dan mineral penting lainnya, yang sangat baik untuk mendukung pemulihan tubuh anak. Sup ayam juga dapat membantu anak mengembalikan kekuatan setelah sakit.<ul><li>Sup Tomat Susu</li></ul>Sup tomat dengan susu sangat baik untuk meredakan tenggorokan yang sakit, mengembalikan rasa, dan memberikan vitamin serta mineral penting untuk memperkuat sistem imun anak.Selain itu, MomDad juga bisa memberikan anak jus buah seperti jeruk, lemon, atau apel yang tidak hanya membantu menggantikan cairan tubuh, tetapi juga memberikan vitamin yang dibutuhkan untuk mendukung pemulihan.Memberikan dukungan nutrisi yang tepat sangat penting untuk membantu anak pulih setelah sakit. Pastikan MomDad memilih makanan yang mudah dicerna, mengandung banyak protein, vitamin, dan mineral, serta memperhatikan asupan cairan untuk menjaga tubuh tetap terhidrasi. Jangan memaksa si Kecil untuk makan terlalu banyak sekaligus, tetapi berikan ia makan secara bertahap.Ingat, setiap anak memiliki cara yang berbeda dalam proses pemulihan. Sabarlah dan tunjukkan dukungan MomDad dengan cara yang tepat agar si Kecil kembali pulih dan tumbuh sehat. Referensi: Post-Illness Nutrition for Children: Foods to Aid Recovery | Vinmec.&nbsp;

BB Anak Turun setelah Sakit? Ini Tips Berikan Dukungan Nutrisinya!

bb-anak-turun-setelah-sakit--ini-tips-berikan-dukungan-nutrisinya--1761114185278

Sebagai orang tua, tentu saja kita ingin yang terbaik untuk anak, termasuk dalam hal pemberian makanan. Namun, tidak jarang kita dihadapkan pada situasi di mana anak menolak makan. Dalam situasi ini, mungkin banyak yang bertanya-tanya, apakah lebih baik memaksakan anak makan (force feeding) atau mengikuti prinsip responsive feeding? Apa itu Responsive Feeding?Responsive feeding adalah pendekatan yang menekankan pentingnya mengikuti isyarat atau tanda lapar yang diberikan oleh anak. Ini berarti tidak memaksakan jadwal makan tertentu, tetapi lebih memperhatikan kapan anak menunjukkan tanda-tanda lapar dan memberi makan mereka sesuai kebutuhan.Penting untuk diingat bahwa setiap anak memiliki pola makan yang berbeda. Beberapa anak mungkin makan lebih sedikit dan lebih sering, sementara yang lain lebih jarang makan namun dalam porsi yang lebih besar. Kunci dari responsive feeding adalah memberi makan anak saat mereka menunjukkan tanda lapar, seperti mengisap tangan atau jari, mencari puting susu, atau mulai gelisah dan membuka mulut. Dengan mengenali tanda lapar ini sejak dini, MomDad bisa lebih mudah memberikan makan kepada anak.Meskipun banyak anak akhirnya akan terbiasa dengan jadwal makan yang teratur, responsive feeding lebih menghargai kebutuhan dan sinyal tubuh anak. Ini juga mengajarkan mereka untuk lebih memahami rasa lapar dan kenyang mereka sendiri sejak usia dini. Apa Itu Force Feeding?Berbeda dengan responsive feeding, force feeding adalah pendekatan yang melibatkan tekanan atau paksaan untuk membuat anak makan lebih banyak dari yang mereka inginkan atau butuhkan. Misalnya, memberi perintah seperti, "Ayo dua suap lagi" atau "Kamu nanti nggak makan dessert lho kalau makannya nggak habis." Pendekatan ini sering kali melibatkan penggunaan penghargaan atau hukuman untuk memotivasi anak makan lebih banyak.Namun, force feeding memiliki risiko yang cukup besar. Menggunakan tekanan eksternal dari orang dewasa sering kali mengabaikan sinyal alami dari anak tentang rasa lapar atau kenyang mereka. Hal ini bisa mengarah pada kebiasaan makan yang tidak sehat di masa depan, seperti mengabaikan isyarat tubuh mereka, cemas tentang makan, atau bahkan makan secara emosional (makan karena alasan selain rasa lapar). Selain itu, force feeding tidak membantu anak mengembangkan hubungan positif dengan makanan, yang justru penting untuk membentuk kebiasaan makan sehat.Mana yang Lebih Baik?Dari kedua pendekatan di atas, responsive feeding jelas lebih disarankan oleh para ahli, terutama dalam tahap tumbuh kembang anak. Responsive feeding membantu anak mengembangkan kebiasaan makan yang sehat dan mendukung kemampuan mereka untuk mengatur makanannya sendiri. Dengan mengikuti tanda lapar anak, kita membantu mereka memahami rasa lapar dan kenyang mereka, yang sangat penting untuk pembentukan pola makan yang sehat sepanjang hidup.Sebaliknya, force feeding bisa membawa dampak negatif jangka panjang pada hubungan anak dengan makanan. Anak yang terbiasa dipaksa makan bisa kehilangan kemampuan untuk mendengarkan sinyal tubuh mereka dan bisa mengembangkan kecemasan terkait makanan, yang justru bisa menimbulkan masalah kesehatan lebih lanjut.Dengan penerapan responsive feeding yang tepat, MomDad dapat membantu anak memiliki hubungan yang sehat dengan makanan dan mendukung tumbuh kembang yang optimal. Jika MomDad memiliki pertanyaan lebih lanjut, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan ahli gizi atau dokter anak yang dapat memberikan saran lebih spesifik sesuai kebutuhan anak. Referensi:<ul><li>Feeding on demand - Bottle feeding - Best Start in Life - NHS.&nbsp;</li><li>Non-Responsive Feeding: Why Does It Happen and What Does It Look Like? - Chicago Feeding Group&nbsp;</li></ul>

Anak Menolak Makan, Perlu Terapkan Responsive Feeding atau Force Feeding?

anak-menolak-makan--perlu-terapkan-responsive-feeding-atau-force-feeding--1761030308474

Anak susah naik tinggi atau berat badannya susah nambah? 🧐 Yuk cari tahu penyebabnya! Di webinar ini,&nbsp;dr. Andi Nanis Sacharina Marzuki, Sp.A (K)&nbsp;akan bahas tuntas soal gangguan pertumbuhan, faktor hormon dan gaya hidup, plus tips praktis agar tumbuh kembang anak tetap optimal! 🌱

Bayi Sulit Tidur di Malam Hari? Kenali Fase Sleep Regression di Tahapan Usia

Bayi Sulit Tidur di Malam Hari? Kenali Fase Sleep Regression di Tahapan Usia

Hindari Memberikan Gadget ke Anak dalam Kondisi Ini!

Hindari Memberikan Gadget ke Anak dalam Kondisi Ini!

Faktor-Faktor yang Bisa Menyebabkan Anak Pendek

Faktor-Faktor yang Bisa Menyebabkan Anak Pendek

5 Kesalahan Umum Orang Tua saat Menghadapi Anak GTM

5 Kesalahan Umum Orang Tua saat Menghadapi Anak GTM

Tips Sederhana Membentuk Rutinitas Tidur Anak yang Konsisten sesuai Usia

Tips Sederhana Membentuk Rutinitas Tidur Anak yang Konsisten sesuai Usia

BB Anak Turun setelah Sakit? Ini Tips Berikan Dukungan Nutrisinya!

BB Anak Turun setelah Sakit? Ini Tips Berikan Dukungan Nutrisinya!

Anak Menolak Makan, Perlu Terapkan Responsive Feeding atau Force Feeding?

Anak Menolak Makan, Perlu Terapkan Responsive Feeding atau Force Feeding?

Waspadai Gangguan Pertumbuhan: Kenali Faktor Risiko Hormon dan Gaya Hidup | Webinar PrimaKu

Waspadai Gangguan Pertumbuhan: Kenali Faktor Risiko Hormon dan Gaya Hidup | Webinar PrimaKu