Meta PixelDampak Perubahan Iklim terhadap Alergi pada Anak<!-- --> | Articles | <!-- -->PrimaKu - Pelopor Aplikasi Tumbuh Kembang Anak di Indonesia

Dampak Perubahan Iklim terhadap Alergi pada Anak

Author: dr. Afiah Salsabila

13 Jun 2025

Topik: Iklim, climate change, Perubahan Iklim, Riwayat Alergi, Rhinitis Alergi, Asma, dermatitis atopik

Pendahuluan

Perubahan iklim kini diakui sebagai ancaman besar terhadap kesehatan manusia. Salah satu konsekuensi perubahan iklim yang sedang dipelajari adalah efeknya pada penyakit alergi. Dari penemuan-penemuan terbaru terkait hal ini, ditemukan bahwa perubahan iklim memengaruhi pola cuaca, konsentrasi polutan udara, dan penyebaran alergen seperti serbuk sari dan jamur. Ketiga faktor ini berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi dan keparahan penyakit alergi seperti asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopik pada anak-anak. (1–3)


Peningkatan Produksi dan Potensi Alergen Serbuk Sari

Salah satu dampak utama perubahan iklim adalah peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO₂) di atmosfer. Meningkatnya kadar CO2 ini menyebabkan pertumbuhan tanaman menjadi lebih cepat dan produksi serbuk sari meningkat, baik dalam jumlah maupun potensi alergennya. Beberapa tanaman, seperti Ambrosia menghasilkan hingga 61% lebih banyak serbuk sari per tanaman ketika CO₂ atmosfer digandakan, dan serbuk sari yang dihasilkan di area urban dengan polusi tinggi memiliki potensi alergi lebih besar dibandingkan dengan area rural. (1)

Selain itu, musim serbuk sari mengalami pergeseran menjadi lebih awal dan lebih panjang. Misalnya, penelitian di Eropa menunjukkan bahwa musim serbuk sari Parietaria, zaitun, dan cemara dapat berlangsung lebih dari dua bulan lebih lama dibandingkan sebelumnya. Pada anak-anak yang sensitif, hal ini berarti paparan terhadap alergen akan terjadi lebih sering dan dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga memperparah gejala alergi. (2)


Alergen Jamur dan Paparan dalam Ruangan

Perubahan iklim juga meningkatkan frekuensi badai, banjir, dan kelembaban udara yang tinggi, kondisi yang sangat mendukung pertumbuhan jamur di lingkungan dalam dan luar ruangan. Jamur seperti Alternaria, Cladosporium, dan Aspergillus telah dikaitkan dengan peningkatan rawat inap karena asma. Studi di Kanada menunjukkan bahwa pada hari badai, angka masuk rumah sakit akibat asma pada anak-anak meningkat lebih dari 15%—dan bukan karena serbuk sari, tetapi karena spora jamur. (1)

Jamur dalam ruangan, yang tumbuh setelah kebocoran air atau kelembaban tinggi akibat perubahan cuaca ekstrem, juga meningkatkan kejadian eksaserbasi asma. Pada anak-anak, terutama yang tinggal di perumahan padat dengan sirkulasi udara buruk, paparan ini sangat sulit dihindari dan berisiko jangka panjang. (1)


Interaksi Polusi Udara dan Perubahan Iklim

Perubahan iklim dan polusi udara berinteraksi secara sinergis memperburuk kondisi alergi. Ozon permukaan dan partikel halus (PM2.5) meningkat akibat suhu tinggi dan pembakaran bahan bakar fosil. Studi global memperkirakan bahwa sekitar 9–33 juta kunjungan ke ruang gawat darurat akibat asma disebabkan oleh ozon dan 5–10 juta oleh PM2.5, dengan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) menyumbang lebih dari separuh beban global ini. (2)

Anak-anak yang tinggal di lingkungan urban dengan tingkat polusi tinggi dan keanekaragaman hayati rendah memiliki paparan lebih besar terhadap alergen, tetapi respons imun yang lebih lemah dibandingkan anak-anak yang tinggal di lingkungan rural. Hal ini menyebabkan peningkatan risiko alergi dan memperparah gejalanya. (2)


Konsep Exposome dan Kerentanan Anak

Konsep “exposome”, yaitu totalitas paparan lingkungan sepanjang hidup, semakin relevan dalam konteks perubahan iklim. Perubahan eksposom yang dipicu oleh iklim memengaruhi paparan terhadap serbuk sari, polutan, suhu ekstrem, kelembaban, dan mikrobiota usus. Semua faktor ini dapat mengubah sistem imun anak, meningkatkan peradangan, dan mempermudah terjadinya sensitisasi alergi. (3)

Anak-anak, terutama yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah, sangat rentan terhadap dampak ini karena mereka lebih mungkin tinggal di lingkungan yang padat, kurang ventilasi, dan memiliki akses terbatas terhadap fasilitas kesehatan. Ketimpangan ini memperparah beban penyakit alergi yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. (3)


Tantangan Klinis dan Kebutuhan Strategi Adaptasi

Dalam konteks klinis, perubahan iklim membuat manajemen alergi pada anak menjadi lebih kompleks. Misalnya, pemanjangan musim serbuk sari memerlukan penyesuaian dalam pemberian imunoterapi dan perencanaan pengobatan. Selain itu, diperlukan kebijakan kesehatan masyarakat yang mempertimbangkan musim alergi yang berubah-ubah dan kualitas udara yang memburuk. (1,2)

Strategi mitigasi seperti pengurangan emisi gas rumah kaca dapat memberikan manfaat langsung terhadap kesehatan. Sementara itu, strategi adaptasi meliputi peringatan dini musim alergi, peningkatan kualitas ventilasi rumah dan sekolah, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan dampak iklim terhadap kesehatan anak. (2,3)


Kesimpulan

Perubahan iklim memperburuk penyakit alergi pada anak melalui peningkatan produksi dan potensi alergen, perubahan musim serbuk sari dan spora jamur, serta peningkatan polusi udara. Anak-anak sangat rentan terhadap perubahan ini, terutama yang berasal dari lingkungan urban dan keluarga berpendapatan rendah. Pemahaman terhadap interaksi antara perubahan iklim, exposome, dan alergi sangat penting dalam merancang intervensi klinis dan kebijakan kesehatan yang lebih efektif di masa depan.


Daftar Pustaka

  1. D’Amato G, Chong-Neto HJ, Monge Ortega OP, et al. The effects of climate change on respiratory allergy and asthma induced by pollen and mold allergens. Allergy. 2020;75(9):2219–2228. doi:10.1111/all.14476.
  2. Singh AB, Kumar P. Climate change and allergic diseases: An overview. Front Allergy. 2022;3:964987. doi:10.3389/falgy.2022.964987.
  3. Amini H, Amini M, Wright R. Climate Change, Exposome Change, and Allergy: A Review. Immunol Allergy Clin North Am. 2024;44(1):1–13. doi:10.1016/j.iac.2023.09.003.