
Sembelit (konstipasi) pada anak
25 Jan 2018
Author: dr. Afiah Salsabila
25 Mei 2025
Topik: Konstipasi, Constipation, Rome IV Criteria, Guideline
Konstipasi merupakan keluhan gastrointestinal yang umum terjadi pada anak dan dapat memberikan beban signifikan baik pada kesehatan anak maupun sistem pelayanan kesehatan. Pengertian konstipasi mencakup kesulitan buang air besar yang ditandai dengan frekuensi BAB yang berkurang, tinja keras, nyeri saat defekasi, rasa tidak tuntas setelah BAB, hingga penggunaan manuver manual untuk membantu evakuasi tinja. Kriteria diagnostik konstipasi kronis yang banyak digunakan adalah kriteria Rome IV, yang telah diperbarui pada tahun 2016 untuk lebih spesifik mendefinisikan gangguan fungsional saluran cerna, termasuk konstipasi fungsional pada anak-anak. (1,2)
Kriteria Rome IV untuk Konstipasi Fungsional pada Anak
Menurut Rome IV, konstipasi fungsional pada anak didefinisikan dengan adanya minimal dua atau lebih gejala yang berlangsung selama setidaknya satu bulan pada anak usia di atas 4 tahun, dengan onset setidaknya 6 bulan sebelumnya, tanpa adanya penyebab organik yang jelas. Gejala utama meliputi frekuensi BAB yang kurang dari tiga kali per minggu, tinja yang keras atau berwujud kepalan, adanya rasa nyeri atau kesulitan saat BAB, rasa tidak tuntas setelah BAB, dan terkadang disertai adanya massa tinja di rektum atau kebutuhan menggunakan manuver manual untuk membantu defekasi. Pada anak usia di bawah 4 tahun, kriteria ini disesuaikan sesuai perkembangan usianya, namun inti diagnostik tetap mempertimbangkan gejala-gejala tersebut.(2)
Dalam survei yang dilakukan di Indonesia, ditemukan bahwa penggunaan kriteria Rome IV dalam diagnosis konstipasi fungsional masih belum merata, di mana sekitar 65% tenaga kesehatan (dokter anak dan dokter umum) menggunakan kriteria ini dalam praktik klinis sehari-hari. Kriteria yang paling sering digunakan adalah riwayat nyeri atau tinja keras saat defekasi dan frekuensi BAB kurang dari atau sama dengan dua kali per minggu. (2)
Mengapa Konstipasi pada Anak Perlu Menjadi Perhatian?
Konstipasi pada anak yang tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan berbagai masalah serius. Pertama, konstipasi kronis dapat menyebabkan rasa nyeri saat BAB sehingga anak menahan keinginan buang air besar, yang memperparah kondisi dengan menyebabkan tinja semakin keras dan pelebaran rektum (megarektum). Siklus ini dapat memicu masalah perilaku buang air besar dan menurunkan kualitas hidup anak serta menimbulkan kecemasan orang tua. Selain itu, konstipasi kronis dapat menyebabkan komplikasi seperti fissura ani, hemoroid, retensi tinja kronis, dan inkontinensia feses sekunder akibat megarektum. Dari segi perkembangan, konstipasi yang berulang dan disertai rasa sakit dapat mengganggu nafsu makan, pertumbuhan, dan kesejahteraan psikososial anak. (1,2)
Penting pula diketahui bahwa konstipasi fungsional adalah salah satu penyebab utama kunjungan anak ke fasilitas kesehatan, menyumbang hingga 3% kunjungan dokter umum dan sekitar 30% kunjungan ke dokter spesialis gastroenterologi anak. Oleh karena itu, pengenalan dini dan penanganan yang tepat sangat penting untuk menghindari komplikasi dan beban berkelanjutan baik pada anak maupun sistem pelayanan kesehatan. (2)
Tatalaksana Konstipasi pada Anak
Penatalaksanaan konstipasi fungsional pada anak mengikuti pendekatan bertahap dan sistematis. Langkah pertama adalah edukasi dan pemberian penjelasan kepada orang tua dan anak mengenai kondisi ini untuk mengurangi kecemasan dan meningkatkan kepatuhan terapi. Perubahan gaya hidup dan pola makan merupakan tahap awal yang esensial, termasuk meningkatkan asupan serat dari makanan, mengajarkan kebiasaan buang air besar teratur, dan mendorong aktivitas fisik yang cukup.
Meski sering disarankan, peningkatan asupan cairan hanya dianjurkan pada anak yang mengalami dehidrasi atau kekurangan cairan. Suplemen serat yang terbukti efektif adalah serat larut seperti psyllium, yang dapat meningkatkan kandungan air dalam tinja sehingga lebih lunak dan mudah dikeluarkan. Penggunaan serat harus dimulai dari dosis rendah dan ditingkatkan perlahan-lahan untuk menghindari efek samping seperti kembung atau nyeri perut. (1)
Jika langkah konservatif tidak cukup, pemberian laksatif menjadi pilihan berikutnya. Laksatif osmotik seperti lactulose dan polyethylene glycol (PEG) adalah obat lini pertama yang paling sering digunakan karena terbukti efektif dan relatif aman. Lactulose banyak digunakan di Indonesia dan dapat diberikan dengan dosis yang disesuaikan usia anak. Stimulant laxatives dapat digunakan jika laksatif osmotik tidak berhasil, meskipun harus digunakan dengan hati-hati dan di bawah pengawasan dokter karena potensi iritasi saluran cerna. (2)
Pada kasus yang lebih kompleks, seperti gangguan defekasi akibat dyssynergia otot panggul, terapi biofeedback dapat dipertimbangkan. Terapi ini membantu anak belajar mengoordinasikan otot-otot saat defekasi. Namun, fasilitas ini biasanya terbatas tersedia dan memerlukan beberapa sesi terapi secara rutin.Penggunaan enema biasanya terbatas pada kondisi tertentu dan tidak direkomendasikan sebagai terapi utama karena sifat invasif dan ketidaknyamanan yang dapat timbul. (2)
Secara keseluruhan, penatalaksanaan konstipasi fungsional pada anak harus bersifat holistik, melibatkan edukasi, perubahan gaya hidup, terapi farmakologis bertahap, dan intervensi tambahan sesuai kebutuhan klinis. Monitoring secara berkala penting dilakukan untuk mengevaluasi respons terapi dan mencegah kekambuhan. (1,2)
Kesimpulan
Konstipasi fungsional merupakan masalah klinis yang umum dan berdampak besar pada anak-anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Pemahaman dan penerapan kriteria Rome IV dalam diagnosis sangat penting untuk memastikan penanganan yang tepat dan efektif. Pendekatan tatalaksana yang sistematis mulai dari edukasi dan perubahan gaya hidup hingga pemberian laksatif dan terapi khusus akan membantu meringankan gejala, mencegah komplikasi, serta meningkatkan kualitas hidup anak dan keluarganya. Perlu upaya peningkatan edukasi tenaga kesehatan di Indonesia agar penggunaan kriteria Rome IV dan tata laksana sesuai standar dapat lebih merata diterapkan.
Referensi