Meta PixelSensitivitas Gluten pada Anak: Memahami Spektrum Gangguan dan Pendekatan Klinis yang Tepat<!-- --> | Articles | <!-- -->PrimaKu - Pelopor Aplikasi Tumbuh Kembang Anak di Indonesia

Sensitivitas Gluten pada Anak: Memahami Spektrum Gangguan dan Pendekatan Klinis yang Tepat

Author: dr. Afiah Salsabila

20 Okt 2025

Topik: gluten, gluten-free, Gluten Sensitivity, Gluten Allergy, Ilmiah

Latar Belakang

Gluten merupakan fraksi protein kompleks yang terdapat dalam gandum, barley, dan rye, yang berperan penting dalam memberikan elastisitas dan struktur pada adonan roti dan kue. Dalam sejarahnya, gluten telah menjadi bagian penting dari diet manusia sejak domestikasi gandum ribuan tahun lalu. Namun, beberapa dekade terakhir, persepsi masyarakat terhadap gluten berubah drastis, terutama akibat maraknya tren diet bebas gluten yang dipopulerkan oleh media massa dan industri makanan. Akibatnya, muncul anggapan keliru bahwa gluten berbahaya bagi semua orang, padahal reaksi terhadap gluten hanya terjadi pada individu dengan kondisi medis tertentu seperti celiac disease, non-celiac gluten sensitivity, dermatitis herpetiformis, atau gluten ataxia. (1)

Bagi sebagian besar individu yang sehat, gluten tidak menimbulkan efek negatif. Masalah muncul pada mereka dengan predisposisi genetik atau mekanisme imun abnormal yang memicu respons inflamasi terhadap komponen gluten, khususnya fraksi gliadin. Kondisi ini dapat menyebabkan peradangan mukosa usus, gangguan penyerapan, dan manifestasi sistemik, terutama pada anak. Pemahaman yang akurat tentang berbagai bentuk gangguan yang berhubungan dengan gluten penting bagi dokter anak agar dapat menentukan diagnosis dan tatalaksana yang tepat serta menghindari pembatasan diet yang tidak perlu. (1)


Etiologi dan Patogenesis

Gangguan medis yang berkaitan dengan gluten (gluten-associated medical problems) diklasifikasikan menjadi empat entitas utama, yaitu celiac disease (CD), non-celiac gluten sensitivity (NCGS), dermatitis herpetiformis (DH), dan gluten ataxia (GA). (1)

Celiac disease merupakan penyakit autoimun yang dipicu oleh konsumsi gluten pada individu dengan predisposisi genetik tertentu, terutama mereka yang membawa alel HLA-DQ2 atau HLA-DQ8. Patogenesisnya melibatkan respons imun adaptif terhadap autoantigen tissue transglutaminase (tTG), menyebabkan kerusakan mukosa usus berupa atrofi vili, hiperplasia kripta, dan peningkatan limfosit intraepitel. (1) Manifestasi klinis dari Celiac disease meliputi diare kronis, gagal tumbuh, anemia defisiensi besi, keterlambatan pubertas, dan gangguan mineralisasi tulang. Prevalensi CD secara global diperkirakan sekitar 1%, dengan angka lebih tinggi pada anak-anak. (1,3)

Non-celiac gluten sensitivity berbeda dengan CD, NCGS tidak melibatkan mekanisme kerusakan mukosa usus yang signifikan. Pasien biasanya mengeluh kembung, nyeri perut, diare, atau gejala non-gastrointestinal seperti kelelahan dan nyeri kepala yang membaik setelah diet bebas gluten. Pemeriksaan serologi untuk CD dan biopsi duodenum menunjukkan hasil normal. Patogenesisnya belum sepenuhnya dipahami, namun diduga melibatkan aktivasi imun bawaan (innate immune response), peningkatan permeabilitas usus, disbiosis usus, serta sensitivitas terhadap komponen gandum dan sereal lain, termasuk yang berada di luar gluten itu sendiri. (1)

Dermatitis herpetiformis merupakan manifestasi kulit dari CD, dengan gambaran klinis ruam gatal kronik berupa vesikel berkelompok pada area ekstensor tubuh. Pemeriksaan imunofluoresensi langsung menunjukkan deposit granular IgA pada dermal papilla, yang menjadikannya kriteria diagnostik khas untuk kondisi ini. (1)

Gluten ataxia merupakan bentuk manifestasi neurologis akibat reaksi imun terhadap gluten yang menimbulkan kerusakan pada serebelum. Kondisi ini jarang terjadi pada anak, dan jauh lebih sering terjadi pada orang dewasa yang masuk ke usia 50 hingga 60 tahunan, tetapi penting dikenali karena dapat menyebabkan disfungsi motorik seperti disartria, gerakan mata tak terkendali, dan kehilangan koordinasi progresif pada lengan serta tungkai. (1)


Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Pendekatan diagnosis bergantung pada karakteristik klinis tiap kondisi. Jikada kecurigaan pada celiac disease di anak, lakukan pemeriksaan awal yang meliputi total IgA dan TGA-IgA.Menurut panduan ESPGHAN 2020, diagnosis CD dapat ditegakkan tanpa biopsi apabila kadar TGA-IgA ≥10 kali batas normal dan dikonfirmasi dengan EMA-IgA positif pada sampel serum kedua. Bila kadar antibodi lebih rendah, biopsi duodenum dengan minimal empat sampel dari distal duodenum dan satu dari bulb diperlukan untuk memastikan diagnosis secara histologis. Pastikan anak tidak sedang mengikuti diet bebas gluten ketika menjalani pemeriksaan-pemeriksaan tersebut. (3)

Pada NCGS, diagnosis ditegakkan secara eksklusi setelah menyingkirkan CD dan alergi gandum. Pasien dengan NCGS menunjukkan perbaikan gejala setelah eliminasi gluten selama 6–8 minggu. Pada dermatitis herpetiformis, pemeriksaan imunofluoresensi langsung menjadi kunci diagnostik. Sementara itu, gluten ataxia membutuhkan evaluasi neurologis dan pencitraan MRI untuk mendeteksi atrofi serebelum. (1)

Perbedaan dengan Alergi Gluten

Penting untuk membedakan gangguan terkait gluten dari alergi gandum (wheat allergy). Alergi gandum merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang dimediasi IgE, dengan gejala seperti urtikaria, wheezing, atau anafilaksis yang muncul segera setelah paparan gluten. Tidak terdapat mekanisme autoimun atau kerusakan mukosa usus seperti pada CD, dan diagnosis ditegakkan melalui uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik. (1)


Rekomendasi Tatalaksana

Tatalaksana utama untuk semua gangguan terkait gluten adalah diet bebas gluten (gluten-free diet, GFD). Pada celiac disease dan dermatitis herpetiformis, GFD harus dijalankan ketat seumur hidup karena konsumsi gluten sekecil 50 mg per hari dapat memicu kerusakan mukosa kembali. (2) Pemantauan kepatuhan dilakukan melalui evaluasi kadar antibodi anti-tTG setiap 6–12 bulan. (1-3)

Pada NCGS, kepatuhan terhadap diet dapat disesuaikan dengan toleransi individu, karena tidak terdapat bukti kerusakan mukosa atau autoimunitas. Setelah periode eliminasi dan perbaikan gejala, reintroduksi gluten bertahap dapat dilakukan untuk menentukan ambang toleransi pasien. (1)

Pada gluten ataxia, penerapan GFD ketat sejak dini dapat memperlambat progresivitas gangguan neurologis, meskipun perbaikan total jarang tercapai bila diagnosis terlambat. Pasien anak harus mendapatkan pemantauan nutrisi yang adekuat, termasuk asupan zat besi, folat, kalsium, dan vitamin D untuk mendukung pertumbuhan dan mencegah komplikasi defisiensi. (1)


Kesimpulan

Sensitivitas gluten pada anak mencakup spektrum kondisi imunologis dan non-imunologis yang bervariasi dalam mekanisme, manifestasi, dan tatalaksananya. Celiac disease merupakan bentuk paling sering dijumpai pada anak, sedangkan non-celiac gluten sensitivity dan manifestasi ekstraintestinal seperti dermatitis herpetiformis serta gluten ataxia perlu diingat sebagai kemungkinan diagnosis banding.

Peran dokter anak sangat penting dalam menegakkan diagnosis berbasis bukti, memastikan kepatuhan diet bebas gluten hanya pada kondisi yang memang memerlukan, dan mencegah pembatasan nutrisi yang tidak perlu. Pendekatan multidisipliner dan edukasi keluarga menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga kualitas hidup anak dengan gangguan terkait gluten.


Daftar Pustaka

  1. Akhondi H, Ross AB. Gluten-Associated Medical Problems [Internet]. Updated 2025 Jun 20. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2025 Jan–. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538505/
  2. Sahin Y. Celiac disease in children: A review of the literature. World J Clin Pediatr. 2021;10(4):53–71.
  3. Husby S, Koletzko S, et al. New Guidelines for the Diagnosis of Paediatric Coeliac Disease: ESPGHAN Advice Guide. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2020;70(1):141–156.