
Kapan Anak Dikatakan Mengalami Pubertas?
22 Jul 2017
Author: Tim PrimaKu
21 Okt 2025
Topik: Responsive Feeding, Force Feeding, Teknik Makan Anak, Tips Parenting
Sebagai orang tua, tentu saja kita ingin yang terbaik untuk anak, termasuk dalam hal pemberian makanan. Namun, tidak jarang kita dihadapkan pada situasi di mana anak menolak makan. Dalam situasi ini, mungkin banyak yang bertanya-tanya, apakah lebih baik memaksakan anak makan (force feeding) atau mengikuti prinsip responsive feeding?
Apa itu Responsive Feeding?
Responsive feeding adalah pendekatan yang menekankan pentingnya mengikuti isyarat atau tanda lapar yang diberikan oleh anak. Ini berarti tidak memaksakan jadwal makan tertentu, tetapi lebih memperhatikan kapan anak menunjukkan tanda-tanda lapar dan memberi makan mereka sesuai kebutuhan.
Penting untuk diingat bahwa setiap anak memiliki pola makan yang berbeda. Beberapa anak mungkin makan lebih sedikit dan lebih sering, sementara yang lain lebih jarang makan namun dalam porsi yang lebih besar. Kunci dari responsive feeding adalah memberi makan anak saat mereka menunjukkan tanda lapar, seperti mengisap tangan atau jari, mencari puting susu, atau mulai gelisah dan membuka mulut. Dengan mengenali tanda lapar ini sejak dini, MomDad bisa lebih mudah memberikan makan kepada anak.
Meskipun banyak anak akhirnya akan terbiasa dengan jadwal makan yang teratur, responsive feeding lebih menghargai kebutuhan dan sinyal tubuh anak. Ini juga mengajarkan mereka untuk lebih memahami rasa lapar dan kenyang mereka sendiri sejak usia dini.
Apa Itu Force Feeding?
Berbeda dengan responsive feeding, force feeding adalah pendekatan yang melibatkan tekanan atau paksaan untuk membuat anak makan lebih banyak dari yang mereka inginkan atau butuhkan. Misalnya, memberi perintah seperti, "Ayo dua suap lagi" atau "Kamu nanti nggak makan dessert lho kalau makannya nggak habis." Pendekatan ini sering kali melibatkan penggunaan penghargaan atau hukuman untuk memotivasi anak makan lebih banyak.
Namun, force feeding memiliki risiko yang cukup besar. Menggunakan tekanan eksternal dari orang dewasa sering kali mengabaikan sinyal alami dari anak tentang rasa lapar atau kenyang mereka. Hal ini bisa mengarah pada kebiasaan makan yang tidak sehat di masa depan, seperti mengabaikan isyarat tubuh mereka, cemas tentang makan, atau bahkan makan secara emosional (makan karena alasan selain rasa lapar). Selain itu, force feeding tidak membantu anak mengembangkan hubungan positif dengan makanan, yang justru penting untuk membentuk kebiasaan makan sehat.
Mana yang Lebih Baik?
Dari kedua pendekatan di atas, responsive feeding jelas lebih disarankan oleh para ahli, terutama dalam tahap tumbuh kembang anak. Responsive feeding membantu anak mengembangkan kebiasaan makan yang sehat dan mendukung kemampuan mereka untuk mengatur makanannya sendiri. Dengan mengikuti tanda lapar anak, kita membantu mereka memahami rasa lapar dan kenyang mereka, yang sangat penting untuk pembentukan pola makan yang sehat sepanjang hidup.
Sebaliknya, force feeding bisa membawa dampak negatif jangka panjang pada hubungan anak dengan makanan. Anak yang terbiasa dipaksa makan bisa kehilangan kemampuan untuk mendengarkan sinyal tubuh mereka dan bisa mengembangkan kecemasan terkait makanan, yang justru bisa menimbulkan masalah kesehatan lebih lanjut.
Dengan penerapan responsive feeding yang tepat, MomDad dapat membantu anak memiliki hubungan yang sehat dengan makanan dan mendukung tumbuh kembang yang optimal. Jika MomDad memiliki pertanyaan lebih lanjut, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan ahli gizi atau dokter anak yang dapat memberikan saran lebih spesifik sesuai kebutuhan anak.
Referensi: