
Kelangsungan Hidup Bayi Prematur.... Tidak Hanya Sebatas Inkubator
26 Jan 2018
Author: dr. Afiah Salsabila
26 Agu 2025
Topik: Stunting, Perawakan Pendek, Ilmiah
Stunting masih menjadi masalah gizi yang signifikan pada populasi anak di Indonesia. Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 menunjukkan bahwa prevalensi stunting nasional sebesar 19,8 %. Walaupun sudah turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, namun masih belum mencapai target utama, yaitu 14,2% sebelum tahun 2029. [1,2] Untuk mencapai target ini, perlu dilakukan case finding yang akurat. Walaupun semangat untuk mencari kasus stunting sudah besar di layanan primer, masih banyak ditemukan kasus-kasus overdiagnosis atau underdiagnosis yang menyebabkan tatalaksana stunting yang tidak tepat sasaran. Tentunya, hal ini dapat berpengaruh pada keefektifan program-program pencegahan dan penanganan stunting yang sedang berjalan. Untuk mencegah kesalahpahaman di lapangan, berikut adalah hal-hal penting yang perlu ditekankan ketika menjelaskan perbedaan antara stunting dan perawakan pendek yang disebabkan oleh etiologi lainnya. [1]
Definisi Stunting
Stunting didefinisikan sebagai panjang atau tinggi badan menurut umur yang berada pada garis standar deviasi <-2 standar deviasi (SD) kurva pertumbuhan WHO akibat kekurangan gizi kronik. Kondisi ini memiliki dampak jangka pendek berupa meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat infeksi, serta efek jangka panjang berupa penurunan kapasitas kognitif, produktivitas, hingga peningkatan risiko penyakit degeneratif di masa dewasa .[1]
Meski demikian, penting dipahami bahwa tidak semua anak dengan perawakan pendek adalah stunting. Perawakan pendek (short stature) dapat merupakan variasi normal, seperti familial short stature atau constitutional delay of growth and puberty (CDGP), maupun patologis yang terjadi akibat gangguan endokrin, kelainan genetik, atau penyakit kronis .[3] Pembedaan ini sangat penting agar diagnosis tidak berlebihan (overdiagnosis) ataupun sebaliknya, yaitu di mana ada kasus yang terlewat (underdiagnosis). Kesalahan diagnosis dapat menyebabkan konsekuensi serius, mulai dari salah sasaran pemberian intervensi gizi hingga keterlambatan penanganan penyakit kepada anak-anak berperawakan pendek yang seyogyanya bukan stunting. [1]
Bagaimana Cara Membedakan Stunting dari Perawakan Pendek Akibat Etiologi Lainnya?
PNPK Stunting 2022 menegaskan bahwa diagnosis ditegakkan berdasarkan kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, pengukuran antropometrik, serta pemeriksaan penunjang bila ada indikasi .[1]
Anamnesis berperan penting untuk mengidentifikasi faktor risiko yang mendasari. Dokter perlu menggali riwayat prakonsepsi dan kehamilan ibu (misalnya bayi berat lahir rendah, prematur, atau pertumbuhan janin terhambat), riwayat penyakit infeksi berulang pada anak, pola pemberian ASI dan MPASI, kelengkapan imunisasi, hingga kondisi sosial ekonomi dan lingkungan rumah tangga. Riwayat keluarga juga harus ditelusuri, karena adanya orang tua atau saudara dengan perawakan pendek dapat mengarah pada kemungkinan familial short stature atau keterlambatan pubertas konstitusional (constitutional delay of growth and puberty, CDGP) .[1]
Setelah anamnesis, dilakukan pemeriksaan fisik dan antropometri. Evaluasi meliputi berat badan, tinggi atau panjang badan, lingkar kepala, serta indeks massa tubuh menurut umur. Hasil pengukuran kemudian diplot pada kurva pertumbuhan WHO 2006 untuk menilai panjang/tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U), berat badan menurut umur (BB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Diagnosis stunting ditegakkan bila PB/U atau TB/U < -2 SD. Selain itu, laju pertumbuhan (growth velocity) juga harus diperhatikan. Bila kurva pertumbuhan mendatar atau melambat, kondisi ini disebut weight faltering, yang sering menjadi tanda awal malnutrisi kronik dan mendahului terjadinya stunting .[1]
Pada tahap ini, penting untuk membedakan apakah perawakan pendek yang ditemukan memang akibat stunting karena malnutrisi atau berasal dari etiologi lain.
Stunting akibat malnutrisi biasanya ditandai dengan riwayat asupan gizi yang buruk, infeksi berulang, dan lingkungan dengan sanitasi rendah. Secara antropometri, usia berat badan lebih rendah dari usia tinggi badan, dan keduanya lebih rendah dari usia kronologis. Gambaran ini menunjukkan adanya malnutrisi kronis yang memengaruhi pertumbuhan linier .[1]
Sebaliknya, perawakan pendek non-nutrisi tidak selalu berhubungan dengan malnutrisi. Menurut Panduan Praktik Klinis IDAI, kondisi ini dapat berupa varian normal atau patologis .[3]
Pada varian normal, familial short stature ditandai dengan kecepatan tumbuh normal, usia tulang sesuai usia kronologis, serta tinggi akhir sesuai potensi genetik; sementara CDGP ditandai keterlambatan pertumbuhan sementara dengan usia tulang tertinggal, sering disertai riwayat keluarga pubertas terlambat.
Kesimpulan
Diagnosis stunting tidak boleh ditegakkan hanya dari satu kali pengukuran, melainkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, antropometri serial, dan penunjang sesuai indikasi. Langkah penting adalah membedakan stunting akibat malnutrisi dari perawakan pendek etiologi lain. [1,3] Pembedaan ini dilakukan untuk mencegah overdiagnosis, yang dapat menyebabkan pemberian intervensi gizi yang tidak perlu, sementara underdiagnosis menyebabkan anak dengan malnutrisi kronis luput dari intervensi dini. Dengan pendekatan terstandar, dokter dan ahli gizi dapat menyalurkan intervensi gizi, PKMK, atau rujukan spesialis dan subspesialis secara tepat sasaran, sehingga upaya nasional penurunan stunting dapat berjalan lebih efisien.
Daftar Pustaka