
Mengenal Disleksia
28 Feb 2018

Author: dr. Afiah Salsabila
10 Okt 2025
Topik: Dyslexia, Gangguan Belajar, Perkembangan
Latar Belakang
Disleksia adalah gangguan belajar yang ditandai oleh kesulitan membaca, mengeja, dan mengenali kata-kata, meskipun kemampuan intelektual anak berada dalam batas normal. Menurut DSM-5, kondisi ini termasuk kategori specific learning disorder with impairment in reading, yang ditandai oleh kesulitan untuk akurasi, kelancaran membaca, dan melakukan decoding fonologis. (1)
Prevalensi disleksia diperkirakan antara 5–17% pada anak usia sekolah. (2) Kondisi ini berimplikasi besar pada prestasi akademik, kesehatan mental, serta kualitas hidup anak. Tanpa intervensi, anak berisiko mengalami kecemasan, depresi, rendah diri, dan kegagalan akademik. Oleh karena itu, dokter anak memiliki peran sentral dalam deteksi dini dan rujukan untuk intervensi.
Definisi dan Etiologi
Disleksia didefinisikan sebagai kesulitan membaca yang tidak sesuai dengan usia kronologis maupun kemampuan kognitif anak, dan menetap setidaknya enam bulan meski telah diberikan pengajaran membaca yang sesuai. (1)
Etiologi disleksia bersifat multifaktorial, melibatkan faktor genetik, neurobiologis, dan lingkungan. Studi pencitraan menunjukkan adanya abnormalitas pada hemisfer kiri otak, terutama pada inferior frontal gyrus, temporoparietal, dan occipitotemporal yang berperan dalam pengolahan bahasa. Faktor keturunan juga signifikan; hingga 65% anak dengan disleksia memiliki riwayat keluarga serupa. Faktor risiko lain meliputi riwayat keluarga dengan gangguan membaca, keterlambatan perkembangan bahasa pada masa prasekolah, adanya gangguan neuropsikiatri komorbid seperti ADHD atau autisme, serta keterbatasan paparan bahasa sejak dini. (2)
Patogenesis Neurobiologis
Disleksia termasuk disabilitas perkembangan karena menghambat akses anak terhadap pendidikan. Anak dengan disleksia sering mengalami keterlambatan menulis, kesulitan berhitung (diskalkulia), dan hambatan akademik lebih luas. Kondisi ini sering disalahpahami sebagai kemalasan atau kebodohan, padahal penyebabnya jelas bersifat neurobiologis yang melibatkan gangguan integrasi jaringan otak. (1,2) Pencitraan fungsional menunjukkan hipofungsi pada occipitotemporal kiri saat membaca kata, serta berkurangnya integritas white matter pada arcuate fasciculus yang menghubungkan area bahasa frontal dan temporal (2). Perubahan ini menyebabkan anak kesulitan mengaitkan huruf dengan bunyi (phoneme–grapheme mapping).
Manifestasi Klinis
Gejala klinis disleksia bervariasi sesuai usia. Pada masa prasekolah, anak dapat menunjukkan keterlambatan bicara, kesulitan mengingat nama benda sehari-hari, dan terbatas dalam memperluas kosakata dibandingkan teman sebaya. Salah satu tanda awal yang khas adalah kesulitan berima (rhyming difficulty). Misalnya, ketika diminta menyebutkan kata berima dengan “buku”, anak tidak dapat menyebutkan kata seperti “suku”. Hambatan ini menunjukkan adanya gangguan pada kesadaran fonologis, yang merupakan dasar penting dalam belajar membaca (2).
Memasuki usia sekolah dasar, manifestasi utama berupa kesulitan mengenali huruf dan bunyi, membaca kata sederhana dengan lambat, serta sering salah dalam ejaan. Anak juga kerap mengalami kebingungan dalam membedakan kata yang mirip bentuk atau bunyi. Contohnya, mereka dapat tertukar antara kata “bisa” dan “biasa”, atau membaca “rumah” menjadi “ramah”. Fenomena ini bukan akibat gangguan penglihatan, melainkan karena hambatan pemrosesan bahasa di otak (1,2).
Tulisan tangan sering tidak terbaca (dysgraphia), dan anak tampak frustrasi ketika diminta menulis kalimat. Pada usia lebih besar, meski anak mampu membaca kata-kata yang sering ditemui, mereka tetap membutuhkan waktu lebih lama, mudah lelah, dan menghindari aktivitas membaca. (2)
Gejala sekunder yang sering muncul termasuk rendahnya kepercayaan diri, kecemasan saat menghadapi tugas akademik, hingga keluhan somatik (misalnya sakit perut atau sakit kepala) yang terkait dengan kegiatan sekolah. Mitos yang sering beredar adalah bahwa disleksia identik dengan membalik huruf, padahal hal ini dapat juga terjadi pada anak <7 tahun tanpa disleksia. Fakta lain adalah disleksia bersifat persisten hingga dewasa, meskipun penderita dapat mengembangkan strategi kompensasi. (2)
Komorbiditas yang sering dijumpai meliputi ADHD (20–40%), diskalkulia (hingga 40%), serta autism spectrum disorder (±30%) (2). Identifikasi dan tata laksana komorbiditas penting untuk memperbaiki prognosis.
Rekomendasi Tatalaksana
Tatalaksana disleksia berfokus pada remediasi keterampilan membaca, akomodasi pendidikan, serta penanganan komorbiditas.
1. Remediasi
Program berbasis fonik terbukti efektif meningkatkan kemampuan membaca. Intervensi seperti Orton-Gillingham method dilakukan dengan pendekatan eksplisit, terstruktur, dan multisensoris (2).
2. Akomodasi Pendidikan
Akomodasi meliputi pemberian waktu tambahan saat ujian, ujian lisan sebagai pengganti tes tertulis, penggunaan aplikasi text-to-speech, serta akses ke buku audio. Langkah ini memungkinkan anak tetap dapat mengikuti kurikulum tanpa terhambat oleh kesulitan membaca (2).
3. Penanganan Komorbiditas
ADHD dan gangguan lain yang menyertai harus diatasi secara paralel. Farmakoterapi tidak diberikan untuk disleksia, melainkan untuk kondisi komorbid bila ada (2).
Prognosis
Prognosis disleksia sangat bergantung pada intervensi dini. Anak dengan terapi fonik terstruktur sejak usia dini dapat mencapai kemampuan membaca fungsional, meskipun tetap lebih lambat dibandingkan teman sebaya. Tanpa intervensi, disleksia cenderung menetap hingga dewasa dan berdampak pada karier, kesehatan mental, dan kualitas hidup (1,2).
Kesimpulan
Disleksia adalah kondisi disabilitas perkembangan dengan dasar neurobiologis, bukan akibat kemalasan atau kurangnya kecerdasan. Dokter anak berperan penting dalam deteksi dini, edukasi keluarga, serta fasilitasi akses ke intervensi dan akomodasi pendidikan. Dengan pendekatan multidisipliner dan dukungan adekuat, anak dengan disleksia dapat mencapai potensi maksimal baik dalam aspek akademik maupun sosial.
Referensi
