
Flu Singapura Mengintai Saat Covid Belum Usai, Cegah dan Tangani dengan Cara yang Tepat!
30 Jun 2022
Author: dr. Afiah Salsabila
15 Agu 2025
Topik: Anafilaksis, Riwayat Alergi, Panduan
Anafilaksis adalah reaksi alergi akut yang bersifat sistemik dan dapat mengancam nyawa. Penyakit ini melibatkan banyak sistem organ secara simultan yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan, kardiovaskular, atau gastrointestinal dengan progresi yang sangat cepat. Reaksi ini sering kali terjadi setelah paparan terhadap alergen tertentu seperti makanan, obat-obatan, atau sengatan serangga. Meskipun jarang, kematian akibat anafilaksis masih terjadi, dan peningkatan jumlah kasus anafilaksis menekankan pentingnya deteksi dan penanganan yang tepat. Data epidemiologi global menunjukkan angka kejadian anafilaksis berkisar antara 50 hingga 112 per 100.000 orang per tahun. Pada anak, angka kejadian anafilaksis dapat bervariasi antara 1 hingga 761 per 100.000 orang per tahun. Menurut WAO, kasus rekurensi anafilaksis pada pasien mencapai 26,5 hingga 54% selama masa follow-up, yang menandakan perlunya pemantauan jangka panjang.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis anafilaksis pada anak sangat bervariasi, namun umumnya melibatkan beberapa sistem organ. Gejala kulit sering kali berupa urtikaria (gatal-gatal) atau angioedema (pembengkakan pada wajah atau tubuh), sementara gejala pernapasan termasuk sesak napas, dan suara mengi. Gangguan pada sistem kardiovaskular dapat meliputi hipotensi dan pingsan, sedangkan pada sistem gastrointestinal, anak dapat mengalami nyeri perut yang parah, muntah, atau diare. Dalam beberapa kasus, gejala dapat muncul dengan cepat dan berkembang menuju gagal nafas dan kematian.
Kriteria Diagnosis Anafilaksis
Menurut panduan WAO 2020, diagnosis anafilaksis dapat dilakukan jika setidaknya salah satu dari kedua kriteria berikut dipenuhi:
Kriteria 1: Awitan penyakit secara akut (menit hingga beberapa jam) dengan keterlibatan kulit, mukosa, atau keduanya (misalnya, ruam gatal, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan setidaknya satu dari gejala berikut:
a. Gangguan pernapasan (misalnya, sesak napas, mengi, stridor, penurunan peak expiratory flow (PEF), hipoksia
b. Penurunan tekanan darah atau gejala terkait disfungsi organ (misalnya, hipotonia [kolaps], sinkop, inkontinensia)
c. Gejala gastrointestinal berat (misalnya, nyeri perut kram, muntah berulang), terutama setelah terpapar alergen non-makanan
Kriteria 2: terdapat awitan akut hipotensi, bronkospasme, atau keterlibatan laring setelah terpapar alergen yang diketahui atau sangat mungkin untuk pasien tersebut (dalam waktu menit hingga beberapa jam), meskipun tanpa keterlibatan kulit yang khas.
Tatalaksana Anafilaksis
Tatalaksana anafilaksis pada anak dapat dibagi menjadi dua langkah utama: langkah pertama adalah pengelolaan gawat darurat, dan langkah kedua adalah intervensi lanjutan setelah anak mendapatkan tata laksana awal.
Langkah Pertama – Penanganan Darurat
Penanganan anafilaksis dimulai dengan memastikan adanya protokol darurat tertulis untuk pengenalan dan tata laksana anafilaksis yang sudah dilatih sebelumnya. Kemudian, segera hilangkan atau hentikan paparan terhadap pencetus, misalnya menghentikan obat atau terapi yang dicurigai menjadi pemicu. Lakukan penilaian awal kondisi pasien yang mencakup patensi jalan napas, pernafasan, sirkulasi, status mental, serta kondisi kulit dan berat badan.
Segera panggil tim resusitasi atau layanan medis darurat jika tersedia. Epinefrin intramuskular adalah obat lini pertama dan harus diberikan sesegera mungkin di bagian anterolateral paha, dengan dosis yang bisa dilihat pada Tabel 1. Dosis dapat diulang setiap 5–15 menit bila gejala belum membaik.
Setelah pemberian epinefrin, letakkan pasien dalam posisi terlentang atau dengan kaki terangkat; pada pasien dengan sesak atau muntah, posisikan sesuai kenyamanan pasien dalam bernafas. Berikan oksigen aliran tinggi jika diperlukan, dan segera pasang akses intravena untuk pemberian cairan isotonik. Bila kondisi memburuk, lakukan resusitasi jantung paru (RJP) sesuai indikasi. Pantau tanda vital, fungsi pernapasan, dan kesadaran secara berkala hingga kondisi stabil.
Tabel 1. Dosis Epinefrin untuk Anafilaksis Berdasarkan Usia
Langkah Kedua – Intervensi Lanjutan
Setelah anak mendapatkan penanganan pertama dengan epinefrin, langkah kedua melibatkan pemantauan lebih lanjut. Pemantauan dilakukan untuk mengevaluasi respons terhadap pengobatan, terutama jika ada gejala yang menetap atau kembali muncul. Terapi tambahan dapat mencakup pemberian cairan intravena jika terdapat syok, obat bronkodilator seperti salbutamol jika terdapat mengi, serta antihistamin untuk meredakan gejala kulit. Meskipun kortikosteroid dapat digunakan, beberapa studi menunjukkan bahwa obat ini tidak memberikan manfaat yang signifikan pada pengobatan anafilaksis akut. Kortikosteroid lebih sering digunakan untuk mencegah reaksi ikutan yang dapat terjadi 6-12 jam sejak awitan pertama (biphasic reaction). Perlu ditekankan bahwa terapi-terapi tambahan ini tidak menggantikan peran epinefrin sebagai tata laksana utama untuk menangani reaksi anafilaktik.
Pencegahan dan Manajemen Jangka Panjang
Setelah episode anafilaksis, penting untuk melakukan evaluasi lebih lanjut untuk mengidentifikasi alergen penyebab reaksi. Pasien harus dirujuk ke spesialis alergi imunologi untuk pemeriksaan lebih lanjut dan untuk menentukan penyebab pasti dari reaksi tersebut. Program edukasi mengenai penggunaan epinefrin auto-injector (EAI) juga harus diberikan kepada pasien dan keluarganya, termasuk informasi tentang cara penggunaan EAI dalam kondisi darurat.
Kesimpulan dan Penutup
Anafilaksis pada anak adalah kondisi medis yang serius dan dapat mengancam jiwa. Oleh karena itu, dokter anak perlu memiliki pengetahuan yang baik tentang gejala, diagnosis, dan tatalaksana yang tepat sesuai dengan panduan internasional, seperti yang tercantum dalam pedoman WAO. Pedoman ini menggarisbawahi pentingnya pengenalan dini dan penanganan cepat anafilaksis, supaya pemberian epinefrin intramuskular dapat dilakukan sesegera mungkin. Selain itu, identifikasi alergen penyebab serta edukasi pasien dan keluarga mengenai penggunaan EAI harus dilakukan. Meskipun epinefrin tetap menjadi pilihan utama, terapi tambahan dengan antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan dalam kasus tertentu, meskipun data mengenai efektivitasnya dalam pengelolaan anafilaksis akut masih terbatas.
Daftar Pustaka
Cardona V, Ansotegui IJ, Ebisawa M, et al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidance 2020. World Allergy Organ J. 2020;13:100472.
30 Jun 2022
26 Sep 2023
27 Jun 2024
20 Jul 2025