
Apakah Nutrisi Memengaruhi Efektivitas Vaksin?
20 Agu 2024
Author: dr. Afiah Salsabila
11 Agu 2025
Topik: Antihistamin, Batuk Pilek, Common Cold, Ilmiah
Penggunaan antihistamin sebagai bagian dari terapi simtomatik untuk infeksi saluran napas atas (ISPA), khususnya common cold, merupakan praktik yang masih sangat lazim di Indonesia. Sebuah studi di Jakarta menunjukkan bahwa lebih dari 82% orang tua memberikan obat batuk pilek yang dijual bebas kepada anaknya yang sedang pilek, dengan kandungan terbanyak adalah klorfeniramin maleat, yaitu antihistamin generasi pertama yang memiliki efek sedatif tinggi. (1) Obat-obatan tersebut umumnya dikombinasikan dengan antipiretik, dekongestan, ekspektoran, dan antitusif, dan dijual secara luas tanpa resep. Alasan utama pemberian adalah agar anak “cepat sembuh”, meskipun belum terdapat bukti ilmiah yang mendukung efektivitas kombinasi tersebut, khususnya pada anak usia dini. (1) Namun, penting bagi dokter anak untuk menelaah kembali dasar ilmiah di balik penggunaan antihistamin untuk common cold, serta mengevaluasi data efektivitas dan keamanannya, terutama pada populasi pediatrik yang lebih rentan terhadap efek samping obat.
Efektivitas Antihistamin untuk Common Cold
Common cold merupakan penyakit virus akut yang menyerang saluran napas atas, dengan etiologi paling sering adalah rhinovirus. Sel-sel yang terinfeksi akan melepaskan interleukin-8 (IL-8), yaitu kemokin yang sangat poten dalam menarik sel polimorfonuklear. Konsentrasi IL-8 dalam sekret pernapasan berkorelasi secara proporsional dengan tingkat keparahan gejala common cold. Mediator inflamasi seperti kinin dan prostaglandin dapat menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan sekresi kelenjar eksokrin. Faktor-faktor ini, bersama dengan stimulasi ujung saraf parasimpatis lokal, akan menimbulkan gejala khas dari common cold. Dari proses tersebut, terlihat bahwa patogenesis gejala common cold lebih dominan disebabkan oleh respons imun terhadap infeksi virus, bukan reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang dimediasi oleh IgE seperti pada rinitis alergi. Hal ini membuat penggunaan antihistamin—yang secara farmakologis ditujukan untuk menghambat efek histamin—perlu dipertanyakan sebagai terapi simtomatik pada common cold. (2)
Bukti klinis menunjukkan bahwa antihistamin, baik generasi pertama maupun kedua, tidak memberikan manfaat bermakna dalam perbaikan gejala common cold pada anak. Tinjauan Cochrane oleh De Sutter et al. (2) menganalisis 18 randomized controlled trials (RCT) yang melibatkan lebih dari 4342 peserta, termasuk 212 anak. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara antihistamin dan plasebo dalam hal perbaikan gejala seperti kongesti nasal, bersin, atau rinore pada anak. Bahkan pada dewasa, efek yang ditemukan hanya bersifat minimal dan jangka pendek (1 hingga 2 hari), serta tidak bermakna secara klinis dalam jangka menengah maupun panjang (3 hingga 10 hari).
Kajian lain juga mendukung temuan tersebut. Studi oleh Summerlin dan Eiland (3) menyoroti bahwa tidak ada bukti kuat yang mendukung penggunaan antihistamin untuk batuk atau pilek pada anak-anak, dan penggunaannya dapat dikaitkan dengan risiko efek samping serius, terutama jika digunakan di bawah usia yang direkomendasikan.
Keamanan Penggunaan Antihistamin pada Anak
Antihistamin generasi pertama seperti diphenhydramine dan chlorpheniramine memiliki efek sedatif yang kuat karena dapat melewati sawar darah otak. Efek samping yang dilaporkan antara lain sedasi, gangguan koordinasi, agitasi paradoksikal, serta efek antikolinergik seperti mulut kering dan retensi urin. (3) Bahkan, data dari FDA Amerika Serikat menunjukkan bahwa penggunaan antihistamin pada anak di bawah usia 2 tahun dapat berisiko dan beberapa kasus kematian telah dilaporkan akibat overdosis tidak disengaja atau kombinasi obat yang tidak dianjurkan. (3)
Antihistamin generasi kedua seperti cetirizine dan loratadine memiliki profil keamanan yang lebih baik, namun tetap tidak menunjukkan efektivitas dalam mengurangi gejala common cold pada anak.
Alternatif Tatalaksana Common Cold pada Anak
Karena common cold adalah penyakit yang self-limiting, fokus tatalaksana seharusnya diarahkan pada terapi suportif dan edukasi kepada orang tua. Pemberian cairan yang cukup, istirahat, serta menjaga suhu dan kelembapan ruangan merupakan pendekatan awal yang lebih dianjurkan.
Jika diperlukan, terapi simtomatik yang relatif aman dapat dipertimbangkan, seperti penggunaan larutan saline nasal untuk pilek, madu (untuk anak usia >1 tahun) batuk, dan antipiretik bila demam. Bukti menunjukkan bahwa penggunaan madu dapat memperbaiki kualitas tidur dan mengurangi frekuensi batuk malam hari lebih baik dibandingkan plasebo. (3) Sementara itu, efektivitas antihistamin, antitusif, maupun dekongestan dalam mempercepat penyembuhan atau memperbaiki gejala pilek pada anak belum memiliki bukti yang kua dan berpotensi untuk membahayakan.(1,3).
Rekomendasi dari American Academy of Pediatrics (AAP), FDA, dan European Medicines Agency juga menegaskan bahwa obat batuk dan pilek over-the-counter yang mengandung antihistamin, dekongestan, atau antitusif tidak boleh diberikan pada anak di bawah usia 2 tahun karena risiko efek samping yang melebihi potensi manfaatnya. (2,3).
Kesimpulan
Penggunaan antihistamin dalam tatalaksana common cold pada anak tidak didukung oleh bukti ilmiah yang kuat, baik dari segi efektivitas maupun keamanan. Meskipun antihistamin telah lama digunakan secara luas dalam praktik klinik dan masyarakat, data terkini menunjukkan bahwa manfaatnya minimal hingga tidak ada, sedangkan risikonya, terutama pada anak usia dini, dapat membahayakan.
Dokter anak memiliki peran penting dalam mengedukasi orang tua mengenai pendekatan rasional dalam menangani common cold, serta menghindari penggunaan obat yang tidak terbukti efektif. Terapi suportif sederhana dengan pemantauan ketat tetap menjadi pilihan terbaik untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi common cold.
Daftar Pustaka
20 Agu 2024
12 Des 2024
21 Feb 2025
5 Mar 2025