Infeksi Cacing pada Anak
Oleh: dr. Afiah Salsabila
Topik: Cacingan, Obat Cacing, helmintiasis
Infeksi cacing atau helmintiasis masih merupakan masalah kesehatan utama di negara berkembang termasuk Indonesia. Data epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi helmintiasis di Indonesia adalah 45% hingga 65%, dan bahkan bisa mencapai 80% di beberapa area dengan tingkat kebersihan yang rendah. Infeksi cacing memiliki beban penyakit yang besar, terutama bagi anak-anak. Infeksi ini juga berbahaya karena jika tidak ditangani segera, dapat menyebabkan obstruksi pada saluran pencernaan dan komplikasi lainnya. Maka dari itu, mengetahui cara menangani kasus helmintiasis dan komplikasi penting untuk menjaga kesehatan populasi anak.
Transmisi helmintiasis beragam berdasarkan jenis cacing yang dihadapi. Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichuria ditransmisi melalui rute fekal-oral, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus menginfeksi tubuh dari tanah dengan penetrasi ke kulit, lalu berpindah ke paru-paru, alveolus, laring, lalu usus, Schistosoma biasanya didapatkan dari kontak langsung dengan siput yang terinfeksi, dan Dipyllobothriasis menginfeksi manusia dengan konsumsi ikan yang terinfeksi dengan larva cacing tersebut. Faktor risiko terinfeksi meliputi higiene dan sanitasi lingkungan yang buruk, kebiasaan buang air besar sembarangan, serta konsumsi sayur mentah yang tidak dicuci bersih. Anak-anak umur pra-sekolah cenderung terindeksi dengan cacing yang hidup di tanah. khususnya jika tidak memakai alas kaki atau pakaian yang mumpuni.
Manifestasi klinis infeksi cacing bervariasi tergantung spesies, jumlah, dan lokasi parasit dalam tubuh. Gejala umumnya tidak khas berupa diare, konstipasi, nyeri perut, mual muntah, anemia defisiensi besi, gatal pada anus, gangguan tidur dan nafsu makan, serta kurang gizi. Pada kasus berat dapat menyebabkan obstruksi usus, kolik abdomen akut, malabsorbsi, sampai kegagalan pertumbuhan fisik. Ascaris dewasa dapat menyebabkan obstruksi usus yang dapat berprogresi menjadi volvulus dan intususepsi, khususnya di anak, serta apendisitis, kolesistitis, pankreatitis, dan perdarahan gastrointestinal. Schistosoma dapat menyebabkan obstruksi usus dan Ancylostoma, Necator, serta Trichuris dapat menyebabkan perdarahan gastrointestinal juga. Beberapa cacing memiliki mekanisme patogenesis khusus yang menyebabkan gejala khas, misalkan Wucheria bancrofti yang dapat menghasilkan elefantiasis pada penderitanya, Taenia solium yang menyebabkan gangguan sistem saraf pusat dan Diphyllobothrium latum, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin B12.
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis helmintiasis ditegakkan dengan pemeriksaan tinja baik secara mikroskopis langsung Pemeriksaan darah juga berguna untuk menilai derajat anemia pada kasus moderat-berat. Adapun terapi menggunakan obat cacing seperti albendazol, mebendazol, pirantel pamoat, ivermectin, atau levamisol sesuai indikasi. Jenis obat dan dosis obat cacing bisa dilihat pada Tabel 1. Jika terjadi obstruksi usus, maka laparotomi bisa dipertimbangkan dan bahkan diperlukan. Komplikasi yang terkait perlu ditangani dengan tepat. Tatalaksana suportif seperti pemberian zat besi dan edukasi higiene perorangan juga penting untuk mencegah reinfeksi.
Tabel 1. Jenis dan Dosis obat cacing di Indonesia
Program pengendalian kecacingan di tingkat nasional maupun daerah endemis diperlukan untuk mengurangi prevalensi dan komplikasi helmintiasis. Hal ini mencakup penyuluhan kesehatan tentang higiene sanitasi lingkungan dan perorangan, pengobatan massal daerah endemis, serta perbaikan akses air bersih dan fasilitas sanitasi di tingkat rumah tangga maupun sekolah. Pengobatan massal yang dimaksud adalah pemberian albendazol sebanyak 400 mg dosis tunggal pada anak >2 tahun hingga dewasa dan 200 mg pada anak 1-2 tahun. Dengan pendekatan kolaboratif dari berbagai pihak diharapkan kecacingan pada anak yang masih sangat tinggi dapat lebih ditekan.
Kesimpulannya, helmintiasis masih merupakan penyebab morbiditas signifikan pada anak di Indonesia. Upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara menyeluruh dan berkesinambungan sangat dibutuhkan dalam program eliminasi kecacingan. Partisipasi aktif masyarakat dan komitmen politis juga krusial untuk mensukseskan pembasmian helmintiasis.
Referensi:
Nasution RKA, Nasution BB, Lubis M, Lubis IND. Prevalence and Knowledge of Soil-Transmitted Helminth Infections in Mandailing Natal, North Sumatera, Indonesia. Open Access Maced J Med Sci. 2019 Oct 14;7(20):3443-3446. doi: 10.3889/oamjms.2019.441. PMID: 32002070; PMCID: PMC6980816. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6980816/
Al Amin ASM, Wadhwa R. Helminthiasis. [Updated 2023 Jul 17]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560525/. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560525/
KEMENKES. PERMENKES no. 15 tahun 2017 Tentang Penanggulangan Cacingan. 2017. Available from: https://peraturan.bpk.go.id/Details/111981/permenkes-no-15-tahun-2017