5 Gangguan Tidur yang Bisa Terjadi pada Anak
Oleh: Editorial Primaku
Topik: Jam Tidur, Kurang Tidur, Kualitas Tidur, Gangguan tidur
Tidur adalah kegiatan yang sangat penting untuk anak. Pada saat tidur, tubuh memiliki kesempatan untuk menyimpan energi, meningkatkan pertumbuhan fisik, dan menopang perkembangan otak. Oleh karena itu, anak perlu mendapatkan waktu dan kualitas tidur yang adekuat. Jika anak tidak tidur dengan cukup, anak memiliki risiko untuk memiliki gangguan perilaku, kesulitan belajar, penurunan performa akademik, serta kerentanan untuk mengalami kecelakaan kendaraan bermotor. Ketidakcukupan tidur bisa diakibatkan oleh beberapa hal. Berikut adalah 5 gangguan tidur yang sering terjadi pada anak:
- 1. Obstructive Sleep Apnea (OSA)
OSA adalah terjadinya obstruksi saluran napas atas yang menganggu pola tidur dan ventilasi. Sekitar 1-5% anak memiliki OSA. Kondisi ini berhubungan erat dengan obesitas, jaringan berlebih di sekitar saluran napas atas, ukuran lumen saluran napas atas yang kecil, dan gangguan fungsi otot pelebar faring. Khususnya pada anak-anak, OSA sering disebabkan oleh pembesaran tonsil dan adenoid. Biasanya kondisi ini muncul pada umur dua hingga delapan tahun.
Gejala yang sering muncul pada OSA adalah mengorok. Namun, bukan berarti tiap anak yang mengorok memiliki OSA. Gejala lain yang dimiliki anak dengan OSA adalah posisi tidur yang tidak biasa, pernapasan paradoksikal, enuresis nokturnal, nyeri kepala pada pagi hari, dan rasa kantuk di siang hari. Biasanya anak dengan OSA juga memiliki konsentrasi yang menurun dan gangguan mood serta perilaku. Pasien dengan kecurigaan OSA perlu dilakukan polisomnografi. Tatalaksana utama OSA adalah adenotonsilektomi. Polisomnografi ulang perlu dilakukan 6-8 minggu setelah pembedahan. Anak yang obesitas juga perlu mengontrol berat badan. Jika tidak dilakukan adenotonsilektomi, continuous airway pressure (CPAP) perlu ditawarkan.
2. Parasomnia
Parasomnia adalah kejadian-kejadian yang tidak diinginkan yang biasanya terjadi ketika transisi tidur dan bangun. Kondisi ini meliputi somnabulisme (tidur berjalan), somniloquy (mengigau), kebingungan saat terbangun, teror malam, dan mimpi buruk. Parasomnia terjadi pada setengah populasi anak.
Mayoritas dari parasomnia, seperti somnabulisme, somniloquy, kebingungan saat terbangun, dan teror malam terjadi pada setengah awal waktu tidur, yaitu ketika anak tidak memiliki ingatan ketika tidur. Sebaliknya, mimpi buruk terjadi pada setengah akhir tidur dan bisa diingat ketika sudah bangun. Beberapa anak memiliki kecenderungan genetik untuk parasomnia. Namun, faktor pencetus yang lebih sering adalah tidur yang tidak cukup, gangguan yang mengakibatkan keterbangunan parsial, dan OSA. Orang tua dengan anak yang mengalami parasomnia perlu diedukasi untuk menjaga agar lingkungan aman supaya anak tidak membahayakan dirinya ketika mengalami episode parasomnia, misalkan dengan memastikan mainan tidak berserakan, mengunci pintu kamar dan jendela, dan meletakkan matras pada lantai. Tatalaksana difokuskan pada mengurangi faktor pencetus dan menambahkan waktu tidur.
3. Behavioral Insomnia of Childhood
Kondisi ini adalah insomnia yang didapat melalui kondisi lingkungan yang membuat anak tidak ingin tidur. Kondisi ini terjadi pada 10-30% anak. Behavioral insomnia bisa terjadi jika orang tua tidak meletakkan batasan yang cukup, misalkan membolehkan anak untuk tidur dengan orang tua jika anak tidak mau tidur. Untuk mencegahnya, dokter perlu mengedukasi orang tua mengenai pola tidur yang normal, sleep hygiene, dan rencana tidur yang realistis, serta batasan-batasan yang jelas, misalkan waktu tidur yang rutin dan kondisi tidur yang konsisten tiap malam bagi anak. Pada bayi, lebih baik untuk meletakkan bayi di tempat tidur ketika masih bangun dibandingkan ketika tidur. Dengan demikian, bayi terbiasa untuk menenangkan dan menyiapkan diri untuk tidur. Untuk anak yang lebih besar, bisa dilakukan teknik meletakkan anak di tempat tidur dan membiarkan anak sendiri. Setelah itu, orang tua masuk ke kamar tidur anak pada waktu-waktu tertentu secara konsisten, lalu lama-kelamaan menurunkan frekuensi memeriksa anak. Obat sedatif tidak direkomendasikan.
4.. Delayed Sleep Phase Disorder
Pada anak dengan delayed sleep disorder, siklus tidur-bangun terlambat minimal dua jam dibandingkan dengan waktu yang diterima secara umum. Kondisi ini terjadi akibat gangguan pada irama sirkadian; irama sirkadian bisa mengalami disregulasi akibat paparan cahaya ketika waktu istirahat, serta pencetus-pencetus lainnya seperti waktu makan yang telat. Pencetus lain sedang diteliti lebih lanjut. Kondisi ini biasanya terjadi pada remaja. Tatalaksana kondisi ini adalah dengan membiasakan anak untuk mempraktekkan sleep hygiene seperti mengesampingkan alat elektronik yang memancarkan cahaya seperti komputer, tablet, dan telepon genggam. Terapi cahaya terang bisa dilakukan saat satu hingga dua jam pertama bangun. Penelitian menunjukkan bahwa suplementasi melatonin (0.3 hingga 5 mg 1.5 hingga 6.5 jam sebelum tidur) efektif untuk menangani delayed sleep phase disorder.
5. Restless Leg Syndome
Kondisi ini dikarakterisasikan dengan rasa yang tidak nyaman pada tungkai kaki hingga perlu digerakkan terus menerus mulai dari malam hari. Gejala lain meliputi kesulitan untuk tidur, tidak senang dengan waktu tidur, dan growing pains. Kondisi ini dipikirkan terjadi akibat disfungsi dopamin, faktor genetik, dan defisiensi zat besi.
Gangguan tidur beragam dan begitu pula manifestasinya. dengan mengetahui
gangguan tidur apa yang dimiliki anak, tatalaksana yang sesuai bisa diberikan sehingga kualitas tidur anak lebih baik, dan pertumbuhan pun bisa lebih optimal.
Referensi:
Carter KA, Hathaway NE, Lettieri CF. Common sleep disorders in children. Am Fam Physician. 2014 Mar 1;89(5):368-77. PMID: 24695508. available from: https://www.aafp.org/pubs/afp/issues/2014/0301/p368.html