Anafilaksis: Apa yang Harus Dilakukan Jika Terjadi?
Oleh: dr. Afiah Salsabila
Topik: syok, anaphylactic shock, kegawatan, Alergi makanan, Alergi ASI, Tatalaksana
Syok anafilaktik merupakan kondisi medis darurat yang dapat terjadi dengan cepat dan mengancam nyawa. Kondisi ini disebabkan oleh reaksi alergi yang kuat terhadap suatu zat tertentu, yang dapat mencakup makanan, obat-obatan, atau gigitan serangga. Artikel ini akan membahas pengertian, gejala, penyebab, dan penanganan syok anafilaktik.
Syok anafilaktik adalah respons alergi yang sangat serius dan cepat terhadap suatu alergen. Reaksi ini bisa terjadi akibat proses yang dimediasi oleh IgE maupun tidak. Mekanisme non-Ig-mediated biasanya melibatkan aktivasi sistem komplemen. Mekanisme-mekanisme tersebut mengakibatkan pelepasan zat kimia, seperti histamin, yang menyebabkan berbagai gejala yang dapat berkembang sangat cepat, termasuk kesulitan bernapas, penurunan tekanan darah, dan bahkan kegagalan organ. Gejala syok anafilaktik dapat bervariasi, tetapi biasanya mencakup kesulitan bernapas atau perasaan sesak, pembengkakan wajah atau bagian lain dari tubuh, ruam atau gatal-gatal pada kulit, nyeri perut atau mual, penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan pingsan. Kriteria diagnosis anafilaksis dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria diagnosis klinis anafilaksis
Jika seseorang diduga mengalami syok anafilaktik, tindakan pertolongan pertama adalah melakukan penilaian ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure). Jika gejala cocok dengan diagnosis kriteria di atas, maka beri suntik epinefrin 1:1000 secara intramuskular dengan dosis 0.01 mg per kg (atau sekitar 0.15 mg ) pada anak dengan berat badan <25 kg dan 0.3 mg dengan berat badan 25 kg ke atas. Dosis maksimalnya adalah 0.3 mg. Di saat yang bersamaan, jauhkan pasien dari pencetus yang menyebabkan anafilaksis. Jika gejala dominan mengganggu jalan napas, dudukkan pasien dengan tungkai kaki dalam posisi elevasi. Jika gejala dominan mengganggu sirkulasi (hipotensi), posisikan pasien dalam posisi supine dan elevasikan tungkai kaki. Setelah itu, berikan pasien oksigen 10 liter/menit dengan non-rebreathing mask. Jika ada hipotensi atau gejala napas yang dialami berat, berikan pasien bolus kristaloid melalui jalur intravena. Jika pasien mengi, berikan pasien nebulisasi agonis Beta2 misalkan salbutamol. Menurut penelitian-penelitian terbaru, antihistamine dan glukokortikoid memiliki peran yang terbatas bagi pasien anafilaksis. Bahkan, ada penelitian yang menyimpulkan bahwa glukokortikoid tidak memberi kelebihan sama sekali bagi penurunan risiko anafilaksis bifasik (reaksi yang berulang tanpa paparan baru setelah gejala anafilaksis pertama reda). Setelah diberikan tatalaksana akut, pasien perlu diobservasi. Jika ada reaksi bifasik, maka bisa diberikan epinefrin lagi dengan dosis yang sama seperti sebelumnya.
Setelah pasien sudah diberikan tatalaksana akut, pasien perlu dikelola secara jangka panjang. Pada pengelolaan jangka panjang, pasien perlu diberikan edukasi untuk menghindari apa yang menjadi faktor penyebab reaksi anafilaksis yang dimilikinya. Untuk mengkonfirmasi alergen yang dicurigai, pasien bisa diminta untuk kontrol 3-4 minggu kemudian, sekalian untuk melakukan skin test atau tes serum IgE allergen-specific. Pasien juga perlu diedukasi mengenai gejala apa saja yang bisa muncul ketika anafilaksis sehingga bisa cepat mendiagnosisnya dan mencari pertolongan medis jika terjadi lagi di kemudian hari.
Syok anafilaktik adalah kondisi medis yang serius dan memerlukan penanganan segera. Penting untuk memahami gejalanya, tindakan pertolongan pertama yang diperlukan, dan langkah-langkah pencegahan. Dengan kesadaran yang lebih besar terhadap kondisi ini, diharapkan dapat meningkatkan respons cepat dan memperbaiki hasil bagi mereka yang mengalami syok anafilaktik.
Referensi:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33204386/
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34343358/