primaku
Mitra resmi kami:
kemenkesidaibkkbn
Unduh PrimaKu di:
playstoreappstore

Bagaimana Cara Mengobati TB pada Anak?

Author: dr. Afiah Salsabila

Topik: Tatalaksana, OAT, Tuberkulosis, TBC

Indonesia menduduki peringkat kedua dalam daftar negara dengan beban tuberkulosis (TB)  terbanyak. Dengan kondisi demikian, Indonesia memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengurangi angka TB; tidak hanya untuk kesejahteraan dan kesehatan rakyat Indonesia, namun juga untuk seluruh dunia. Tanggung jawab yang besar ini tidak bisa dipenuhi jika tuberkulosis tidak ditatalaksana dengan baik. Untuk menstandarisasi proses penanggulangan TB, Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) mengeluarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis 2019 (PNPK Tatalaksana TB 2019). Panduan ini berisi semua informasi mengenai tatalaksana TB, termasuk pada anak, kelompok usia yang rentan untuk sakit TB.

Prinsip tatalaksana TB pada anak kurang lebih sama, namun melibatkan terapi farmakoterapi dengan dosis dan pemakaian yang disesuaikan. Pada pengobatan TB, terapi non-farmakologis tidak kalah penting; tatalaksana non-farmakologis pada anak juga perlu diberikan sebagai usaha untuk menjaga imunitas sehingga proses penyembuhan bisa lebih optimal. Hal ini bisa tercapai dengan pemberian gizi adekuat dan penatalaksanaan penyakit penyerta. 

Obat TB harus diberikan dalam panduan obat, tidak boleh sebagai monoterapi. Hal ini untuk mencegah resistensi. Untuk anak dengan diagnosis TB klinis BTA positif, panduan obat yang diberikan adalah Isoniazid, Rifampisin, Isoniazid, dan Ethambutol untuk 2 bulan pertama dan dilanjutkan dengan Isoniazid dan Rifampisin saja untuk 4 bulan berikutnya. Sementara itu, terapi yang diberikan pada pasien anak dengan TB klinis BTA negatif adalah paduan Isoniazid, Rifampisin, dan Pirazinamid pada 2 bulan pertama, tanpa Ethambutol (fase inisial)  lalu dilanjutkan dengan Isoniazid dan Rifampisin saja untuk 4 bulan berikutnya (fase lanjutan). Dosis yang diberikan disesuaikan dengan berat badan anak. Rincian dosis setiap obat dan regimen panduan bisa masing-masing dilihat pada tabel 1 dan 2. 

Untuk memastikan bahwa regimen obat dilakukan sesuai aturan, perlu dilakukan pemantauan oleh tenaga medis. Idealnya, anak yang menjalani pengobatan TB pada fase intensif perlu dipantau tiap 2 minggu, lalu tiap bulan pada fase lanjutan hingga terapi selesai. Yang perlu diperhatikan ketika pasien kontrol adalah tingkat keparahan gejala, kepatuhan minum obat, pengukuran berat badan, dan ada atau tidaknya efek samping pada pasien. Semua hal ini dicatat dengan kartu pemantauan pengobatan. Pada anak dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan BTA ulang pada akhir bulan ke-2, ke-5, dan ke-6. Jika pada pemantauan kondisi klinis pasien tidak kunjung membaik atau BTA tetap positif, pasien perlu dirujuk karena ada kemungkinan bahwa anak mengalami resistensi obat, komplikasi TB yang tidak biasa, bahkan hingga penyebab paru lain. Keteraturan minum obat juga berpengaruh kepada keberhasilan pengobatan TB, maka hal itu juga harus dipantau. 

Efek samping dapat terjadi setelah pemberian obat TB pada anak, namun angka kejadiannya lebih rendah daripada di pasien dewasa. Hepatotoksisitas adalah efek samping yang dapat timbul setelah pemberian isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid. Secara klinis, hepatotoksisitas ditandai dengan hepatomegali dan ikterus. Jika hal gejala-gejala tersebut muncul, pasien harus dilakukan pengukuran kadar enzim hati dan dilakukan penghentian obat TB. Ketika fungsi hati kembali normal, obat TB diberi kembali namun dengan dosis yang lebih kecil dalam rentang terapi dengan pemantauan kadar enzim hati secara berkala. Jika tidak ada gejala, pemeriksaan enzim hati tidak dilakukan secara rutin. Selagi semua itu berjalan, pasien harus dikonsultasikan ke ahli hepatologi untuk tatalaksana lebih lanjut.  Pada pasien-pasien tanpa gejala namun secara insidental ditemukan bahwa ada peningkatan enzim hati ringan (<5 kali normal), obat TB tetap harus dilanjutkan.

Pengobatan TB pada anak memakai jenis obat-obatan yang sama dengan dewasa, namun dosis dan pemakaiannya berbeda. status konfirmasi bakteriologis juga mempengaruhi regimen obat TB yang diberikan. Diharapkan dengan panduan tatalaksana TB yang jelas, implementasinya lebih seragam dan hasilnya efektif sehingga angka TB anak dapat berkurang.


Tabel 1. Dosis OAT


Tabel 2. Dosis OAT Tipe TB Berbeda

Referensi:
https://journals.asm.org/doi/10.1128/mbio.01586-16






familyfamily
Baca artikel tumbuh kembang anak di PrimaKu!
Unduh sekarang
playstoreappstore
primaku
Aplikasi tumbuh kembang anak Indonesia. Didukung penuh oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Mitra resmi kami:
kemenkesidaibkkbn
Unduh PrimaKu
playstoreappstore
© 2023 All rights reserved PRIMAKU, Indonesia
Cari kami di: