Meta PixelBahaya Tren Skincare di TikTok pada Anak dan Remaja<!-- --> | Articles | <!-- -->PrimaKu - Pelopor Aplikasi Tumbuh Kembang Anak di Indonesia

Bahaya Tren Skincare di TikTok pada Anak dan Remaja

Author: dr. Afiah Salsabila

14 Jul 2025

Topik: Skincare, Sosial Media, Tren, Ilmiah

Pendahuluan

Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat peningkatan pada fenomena penggunaan produk perawatan kulit atau skincare di kalangan anak prarameja (usia 8–12 tahun) dan remaja awal (usia 13–17 tahun) . Fenomena ini dipengaruhi oleh tingginya jumlah dan popularitas konten mengenai skincare di media sosial, seperti TikTok, yang  menonjolkan berbagai macam produk dan regimen skincare. Kebanyakan dari penonton konten-konten ini adalah remaja atau bahkan anak-anak. Mereka seringkali tergiur untuk menggunakan produk dan teknik perawatan yang mereka lihat di sosial media tanpa pemahaman adekuat tentang keamanannya. Di balik narasi "self-care" yang dikemas secara estetik dan menarik, tersimpan risiko medis yang signifikan, termasuk iritasi kulit, dermatitis kontak, hingga pengeluaran finansial yang tidak sepadan dengan efek dan konsekuensi yang dapat dihasilkan. (1–4)


Tren Skincare di TikTok

Hales dkk. (1)  melakukan studi observasional dengan membuat akun TikTok yang diatur sebagai pengguna remaja berusia 13 tahun. Menggunakan akun tersebut, mereka menganalisis 100 video TikTok yang menyajikan konten regimen perawatan kulit yang muncul pada linimasa. Video-video tersebut dikurasi berdasarkan algoritma For You Page, yang mencerminkan konten yang paling sering direkomendasikan kepada anak dan remaja pengguna TikTok. Hales dkk. (1) mengidentifikasi karakteristik pembuat konten, jumlah dan jenis produk yang digunakan, biaya keseluruhan regimen, serta kandungan bahan aktif dalam setiap produk. (1)

Studi tersebut mengungkap bahwa video-video yang ditampilkan pada For You Page akun mereka memiliki rata-rata 1,1 juta views, dengan rentang 663 hingga 17,1 juta. Setiap video mempromosikan rata-rata enam produk, mulai dari pembersih, toner, serum, hingga pelembap, dengan biaya regimen rata-rata sebesar 168 US Dollar (sekitar Rp2,5 juta). Meskipun banyak konten yang menampilkan penggunaan bahan aktif seperti eksfolian kimia dan anti-aging, hanya sekitar 26,2 persen yang menyebutkan rekomendasi penggunaan sunscreen. Selain itu, delapan dari seratus pembuat konten memiliki jerawat aktif, namun tetap mendorong penggunaan produk yang justru dapat memperburuk kondisi kulit tersebut. (1)


Risiko Dermatologis dan Kandungan Produk

Sebagian besar produk yang dianalisis mengandung bahan aktif dalam jumlah besar dan kompleks. Kandungan seperti beta hydroxy acid (BHA), alpha hydroxy acid (AHA), niacinamide, hyaluronic acid, dan panthenol ditemukan dalam berbagai produk, bahkan digunakan secara bersamaan dalam satu regimen. Studi ini menyoroti risiko iritasi kulit, khususnya dermatitis kontak iritan dan reaksi alergi, serta peningkatan sensitivitas terhadap sinar matahari akibat penggunaan AHA berlebihan dan retinoid tanpa disertai perlindungan sinar UV yang memadai . (1,2)

Beberapa bahan yang sering ditemukan, seperti fragrancetea tree oil, dan bahan-bahan lainnya yang dikenal sebagai alergen kuat dan berpotensi memicu dermatitis kontak alergi pada kulit anak yang lebih sensitif dibandingkan kulit dewasa. Salah satu kasus klinis menggambarkan seorang remaja perempuan usia 14 tahun yang mengalami dermatitis berat pada bibir akibat mengoleskan snail mucin berkali-kali setiap hari akibat mengikuti tren viral di TikTok. Reaksi inflamasi yang timbul memerlukan penanganan dengan kortikosteroid topikal dan edukasi untuk menghentikan penggunaan produk yang tidak sesuai anjuran tersebut. (4)

Selain potensi iritasi, produk-produk ini juga berbiaya tinggi. Tidak sedikit anak yang merasa memiliki tekanan untuk membeli produk-produk ini demi mendapatkan “kulit glowing” seperti yang ditampilkan para skinfluencer. Hal ini bukan hanya membebani anak dan keluarganya secara ekonomi, tetapi juga berdampak terhadap persepsi diri dan kepuasan terhadap penampilan, yang dapat menjadi cikal bakal dari gangguan citra tubuh pada usia remaja. (3)


Dampak Sosial, Etika, dan Psikososial

Pemasaran produk skincare kepada anak-anak dan remaja sangat bergantung pada algoritma media sosial yang mengedepankan visualisasi estetik dan narasi perawatan diri. Masalah etika seringkali muncul ketika terjadi pemasaran produk anti-aging kepada anak-anak yang jelas belum menunjukkan tanda-tanda penuaan. Strategi ini membentuk persepsi keliru bahwa penuaan adalah kondisi patologis yang harus dicegah sedini mungkin, padahal anak-anak justru perlu difokuskan pada perlindungan kulit dari kerusakan akibat sinar matahari, bukan penggunaan retinoid atau eksfolian berkekuatan tinggi . (2,3)

Anak-anak yang terpapar tren ini juga rentan mengalami tekanan sosial untuk mengikuti standar kecantikan yang tidak realistis. Ketika mereka membandingkan diri dengan influencer di media sosial, banyak di antara mereka yang merasa tidak cukup baik tanpa intervensi produk tertentu. Hal ini dapat memperburuk kondisi psikologis seperti kecemasan, perfeksionisme, dan rendahnya harga diri. Banyak dari konten tersebut dirancang untuk menarik emosi audiens, terutama perempuan pra-remaja, remaja, dan dewasa muda, dengan menekankan norma kecantikan yang menjunjung tinggi kulit “porcelain”, “glass”, atau “glowy”, atau dalam kata lain berwarna putih atau terang – standar kecantikan problematik yang terbentuk dari rasisme dan klasisme. (3)


Peran Dokter Anak dalam Menghadapi Tren Skincare Tiktok

Dalam menghadapi tren ini, dokter anak diharapkan berperan aktif dalam memberikan edukasi yang berbasis bukti kepada anak serta orang tua. Pendekatan edukatif sebaiknya mencakup penjelasan tentang anatomi dan fisiologi kulit anak yang berbeda dari dewasa, bahaya penggunaan produk aktif secara sembarangan, dan pentingnya perlindungan matahari yang konsisten. Diskusi harus diarahkan untuk memahami motivasi anak mengikuti tren, serta memberikan alternatif perawatan kulit yang sederhana, aman, dan sesuai usia. Penyampaiannya juga harus dilakukan dengan empati supaya informasi bisa disampaikan dengan efektif. 

Dokter juga dapat bekerja sama dengan dokter kulit untuk merancang panduan pemilihan produk bagi pasien muda yang memiliki masalah kulit seperti jerawat ringan, dengan tetap menghindari penggunaan zat iritatif tanpa indikasi yang jelas. Edukasi juga perlu mencakup literasi digital, agar anak dan orang tua mampu mengenali konten yang menyesatkan dan memahami bahwa sebagian besar video viral memiliki kepentingan komersial.


Kesimpulan

Tren skincare di TikTok telah membentuk kebiasaan baru di kalangan anak dan remaja dalam merawat kulit. Sayangnya, banyak dari rutinitas tersebut tidak sesuai kebutuhan fisiologis kulit anak, dan justru berpotensi menimbulkan iritasi, alergi, serta gangguan psikososial. Dokter anak memiliki peran penting sebagai penjaga kesehatan anak melalui edukasi yang berbasis bukti dan berorientasi pada keselamatan pasien. Di era media sosial yang serba cepat, pendekatan preventif menjadi kunci utama dalam menghadapi gelombang tren digital yang dampak positif maupun negatifnya sangat besar pada anak. 


Daftar Pustaka

  1. Hales M, Rigali S, Paller A, Liszewski W, Lagu T. Pediatric Skin Care Regimens on TikTok. Pediatrics. 2025;156(1):e2024070309. doi:10.1542/peds.2024-070309.
  2. Goff GK, Stein SL. Cosmeceuticals in the Pediatric Population Part I: A Review of Risks and Available Evidence. Pediatr Dermatol. 2025;42(3):221–227. doi:10.1111/pde.15866.
  3. Goff GK, Stein SL. Cosmeceuticals in the Pediatric Population Part II: Ethical Dilemmas and Patient Talking Points. Pediatr Dermatol. 2025;42(3):228–232. doi:10.1111/pde.15867.
  4. McCoy K, Class MM, Ricles V, et al. Kids These Days: Social Media’s Influence on Adolescent Behaviors. J Clin Aesthet Dermatol. 2024;17(5):40–42.