
Bullying: Masalah Kesehatan yang Tidak Boleh Diremehkan
Author: dr. Afiah Salsabila
27 Agu 2024
Topik: bullying, Cyberbullying
Bullying, atau perundungan, adalah perilaku agresif berulang yang dilakukan oleh suatu pihak yang lebih kuat kepada pihak yang lebih lemah. Sekitar 1 dari 3 anak di dunia pernah mengalami bullying, menjadikan bullying sebuah fenomena yang sangat prevalen di masyarakat. Karena sering terjadi, banyak yang mewajarkannya. Padahal, WHO sudah mengklasifikasikannya sebagai masalah kesehatan besar yang berpengaruh secara signifikan pada kesehatan dan kualitas hidup anak. [1,2] Hal tersebut membuatnya menjadi suatu isu yang perlu menjadi perhatian dokter spesialis anak. Berikut adalah hal-hal yang perlu diketahui mengenai bullying sebagai seorang praktisi kesehatan.
Pada suatu kejadian bullying, biasanya terdapat 3 peran yang terlibat: korban, pelaku, dan pelaku-korban (individu yang merupakan korban sekaligus pelaku bullying). Korban dan pelaku biasanya merupakan bagian dari kelompok sebaya (peer bullying) atau bagian dari unit keluarga yang sama (bullying antara kakak-adik). Seorang anak lebih cenderung menjadi korban bullying jika dianggap “berbeda” dari anak-anak di kelompoknya. Sebagai buktinya, anak-anak dengan gangguan belajar, disabilitas, status imigran, penampilan fisik yang tidak umum, dan status minoritas (ras, agama, tingkat sosioekonomi) lebih rentan menjadi korban bullying. [2]
Bullying menyebabkan konsekuensi yang luas bagi korbannya. Korban bullying sering merasa terkucilkan dan tidak nyaman di lingkungannya, seperti sekolah. Anak yang mengalami bullying di sekolah cenderung segan untuk masuk sekolah, sehingga berdampak pada absensi dan performa akademik anak. Studi yang dilakukan di 15 negara Amerika Latin menunjukkan bahwa nilai ujian anak yang mengalami bullying 2.1% lebih rendah di pelajaran matematika dan 2.5% lebih rendah pada membaca dibandingkan dengan anak-anak yang tidak pernah di-bully. [2]
Dari segi kesehatan, korban bullying memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami masalah internalisasi (depresi, gangguan cemas), kesepian, penyalahgunaan obat-obatan, perilaku menyakiti diri sendiri, dan gangguan somatisasi. Hal-hal tersebut memiliki risiko untuk terus bertahan hingga pasien beranjak dewasa. [2] Menurut Takizawa dkk. [3], efeknya bisa bertahan hingga usia 50 tahun ke atas. Tak hanya korban, pelaku bullying juga memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami hal-hal tersebut. Selain itu, Klomek dkk. [4] juga menambahkan bahwa pelaku bullying memiliki risiko yang yang tinggi untuk melakukan penyalahgunaan obat dan kejahatan yang melibatkan tindakan kekerasan.
Dengan mengetahui seberapa besar dampak bullying pada kesehatan anak, seorang dokter perlu mempertimbangkannya sebagai salah satu kontributor dari patologi penyakit seorang anak, khususnya jika gejala yang dialami non-spesifik dan menjurus ke arah psikiatri, atau jika terdapat bukti kekerasan fisik. Jika ada kecurigaan ke arah bullying, maka dokter perlu bertanya langsung ke anak mengenai bullying yang dialami. Dokter perlu menanyakan jika pasien di-bully atau tidak, seberapa sering di-bully, dan sudah berapa lama bullying terjadi. Pastikan suasana tenang, nyaman, dan private ketika menanyakan hal-hal tersebut. Tanyakan juga informasi yang relevan seperti jenis bullying yang dilakukan. Jika ternyata anak menunjukkan tanda-tanda depresi, cemas, atau suicidal ideation, maka anak perlu segera dikonsultasikan ke psikiater. Dokter juga perlu mengajarkan ke korban bahwa bullying bukanlah salah korban. Dokter juga bisa memaparkan cara-cara untuk menghadapi pelaku bullying. Ajarkan korban untuk memberi tahu pelaku untuk tidak melakukan bullying, tinggalkan pelaku, dan melaporkan ke pihak dewasa yang bisa dipercaya seperti guru. Jika guru tidak ada respon, maka lapor ke pihak dewasa lainnya, seperti guru lain dan orang tua sendiri. [1,2]
Pada saat yang bersamaan, jika informasi mengenai peristiwa bullying sudah lengkap, arahkan orang tua untuk melaporkan bullying ke pihak yang berwenang. Jika bullying terjadi sekolah, kejadian bullying bisa dilaporkan ke guru sekolah. Tahan orang tua dari menghubungi orang tua pelaku bullying, khususnya jika ada maksud untuk langsung membalas perbuatan pelaku bullying. Sarankan orang tua untuk memberi kesempatan bagi sekolah untuk melakukan investigasi dan tindakan yang sesuai, sambil memonitor kegiatan online anak. Monitoring kegiatan online anak perlu dilakukan karena bullying juga bisa dilakukan melalui dunia maya lewat chat dan media sosial. Namun, jika bullying melibatkan kekerasan fisik yang signifikan atau pelecehan seksual, maka perlu juga dilaporkan ke pihak berwenang supaya ditindaklanjuti sebagai tindakan kriminal. [1,2]
Bullying adalah masalah kesehatan yang tidak boleh disepelekan. Dampaknya sangat signifikan pada kesehatan anak. Dokter anak memiliki peran penting sebagai salah satu responder pertama bullying karena seringkali korban bullying baru mengaku di-bully ketika bullying sudah bermanifestasi sebagai gejala fisik dan kejiwaan. Selain itu, dokter anak juga memiliki tanggung jawab untuk mengadvokasikan budaya anti-bullying di masyarakat, khususnya pada kalangan anak dan remaja. [1,2]
Referensi:
- Waseem M, Nickerson AB. Identifying and Addressing Bullying. [Updated 2023 Dec 13]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441930/
- Armitage R. Bullying in children: impact on child health. BMJ Paediatr Open. 2021 Mar 11;5(1):e000939. doi: 10.1136/bmjpo-2020-000939. PMID: 33782656; PMCID: PMC7957129.
- Takizawa R, Maughan B, Arseneault L. Adult health outcomes of childhood bullying victimization: evidence from a five-decade longitudinal British birth cohort. Am J Psychiatry 2014;171:777–84. 10.1176/appi.ajp.2014.13101401
- Klomek AB, Sourander A, Elonheimo H. Bullying by peers in childhood and effects on psychopathology, suicidality, and criminality in adulthood. Lancet Psychiatry 2015;2:930–41. 10.1016/S2215-0366(15)00223-0
- Bowes L, Joinson C, Wolke D, et al.. Peer victimisation during adolescence and its impact on depression in early adulthood: prospective cohort study in the United Kingdom. BMJ 2015;350:h2469. 10.1136/bmj.h2469