Dampak Jangka Panjang Terlambat Bicara
22 Jul 2017
Author: dr. Afiah Salsabila
8 Mei 2025
Topik: Bahaya Gadget, Gadget, Mental Anak, Kesehatan Mental
Peningkatan penggunaan media sosial di kalangan remaja menandai perubahan besar dalam cara mereka membangun hubungan sosial dan membentuk identitas diri. Namun, bersamaan dengan kemajuan ini, muncul kekhawatiran yang semakin besar terhadap dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental remaja. Berbagai penelitian telah menunjukkan adanya hubungan antara penggunaan media sosial dengan peningkatan prevalensi depresi dan gangguan cemas, terutama pada kelompok usia 10 hingga 19 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial dapat menjadi faktor risiko yang signifikan terhadap kesehatan mental remaja, khususnya jika digunakan tanpa regulasi psikososial yang memadai.
Salah satu faktor paling menentukan dalam dampak media sosial terhadap kesehatan mental bukanlah semata durasi penggunaan, tetapi lebih kepada jenis kegiatan yang dilakukan. Sebuah tinjauan sistematis yang mencakup 16 studi kuantitatif menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang bersifat pasif—seperti scrolling tanpa interaksi—berhubungan kuat dengan gejala depresi dan kecemasan. (1) Aktivitas pasif meningkatkan kecenderungan membandingkan diri secara sosial (social comparison), terutama dengan representasi ideal yang ditampilkan orang lain secara daring. Proses ini memperkuat persepsi negatif terhadap diri sendiri, yang berujung pada peningkatan rasa tidak mampu, kecemasan sosial, dan perasaan terisolasi.
Selain itu, mekanisme psikososial seperti cyberbullying dan tekanan untuk mempertahankan citra ideal secara daring juga memainkan peran penting. Dalam sebuah studi lintas negara terhadap 1.573 remaja, ditemukan bahwa sebanyak 39,3% mengalami tekanan emosional akibat interaksi di media sosial, dengan prevalensi gejala depresi lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki. (2) Faktor ini dipengaruhi oleh sensitivitas yang lebih besar terhadap tekanan sosial dan internalisasi citra tubuh yang tidak realistis, terutama pada remaja perempuan. Ketika self-worth dikaitkan erat dengan umpan balik eksternal seperti jumlah likes atau komentar, maka kekecewaan yang timbul karena interaksi yang minim dapat mengganggu regulasi emosi.
Mekanisme neuropsikologis turut menjelaskan bagaimana media sosial berdampak pada sistem reward otak. Notifikasi, likes, dan interaksi positif lainnya menciptakan pelepasan dopamin yang mendorong perilaku kompulsif. Dalam jangka panjang, ini dapat membentuk pola adiktif yang melemahkan kemampuan untuk mengatur impuls dan meningkatkan ketergantungan psikologis terhadap validasi eksternal. (1) Studi dari Arab Saudi juga mendukung temuan ini dengan menunjukkan bahwa 53% remaja menggunakan media sosial lebih dari 4 jam per hari, dan dari kelompok ini, 45% menunjukkan gejala gangguan kecemasan sedang hingga berat. (3)
Kualitas tidur juga terpengaruh oleh penggunaan media sosial yang berlebihan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Alyusuf et al. (3), remaja yang menghabiskan lebih dari 6 jam per hari di media sosial memiliki risiko 2,5 kali lipat mengalami gangguan tidur dibandingkan mereka yang hanya menggunakan selama 1–2 jam. Gangguan tidur ini tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga memperburuk gejala depresi dan kecemasan secara signifikan.
Salah satu gangguan mental yang paling konsisten dikaitkan dengan penggunaan media sosial adalah depresi. Tinjauan sistematis yang dilakukan oleh Keles et al. (1) menunjukkan bahwa 13 dari 16 studi yang dianalisis melaporkan hubungan positif yang signifikan antara penggunaan media sosial dan peningkatan gejala depresi pada remaja Selain itu, terdapat korelasi antara durasi penggunaan dan intensitas gejala: semakin lama waktu yang dihabiskan di platform sosial, semakin tinggi skor depresi berdasarkan skala standar seperti PHQ-9 dan DASS-21.
Gangguan kecemasan juga menjadi masalah yang sering muncul. Studi oleh Iqbal et al. (2) melaporkan bahwa 34,8% remaja menunjukkan gejala kecemasan sedang hingga berat akibat tekanan sosial di media sosial, sementara 27,2% mengalami gangguan tidur yang signifikan. Dalam konteks ini, muncul pula fenomena "Fear of Missing Out" (FoMO), yaitu rasa takut tertinggal dari aktivitas sosial yang ditampilkan di media sosial. FoMO memperburuk kecemasan dan mengarahkan remaja untuk terus-menerus terhubung dengan perangkat mereka, bahkan hingga larut malam, yang berdampak pada kualitas tidur dan fungsi kognitif harian.
Walaupun sebagian remaja mungkin mendapatkan dukungan emosional dari komunitas daring, terutama mereka yang mengalami isolasi sosial di lingkungan fisik, manfaat ini tidak selalu cukup untuk mengimbangi risiko yang lebih besar terhadap gangguan kesehatan mental. Studi-studi yang ditelaah mengindikasikan bahwa moderasi dan bentuk kegiatan lebih berperan dalam hasil kesehatan mental dibandingkan hanya frekuensi atau durasi penggunaan.
Dalam menghadapi isu ini, diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk tenaga kesehatan, orang tua, dan pengembang platform digital. Identifikasi dini terhadap gejala psikologis yang muncul akibat penggunaan media sosial, pemberdayaan literasi digital, serta pengembangan fitur yang mendukung kesejahteraan psikologis pengguna adalah langkah strategis yang harus segera diterapkan. Intervensi berbasis bukti harus difokuskan pada promosi penggunaan sehat media sosial alih-alih hanya membatasi akses semata.
Kesimpulannya, media sosial memiliki pengaruh yang kompleks terhadap kesehatan mental remaja. Jenis keterlibatan, tekanan sosial, serta aspek neuropsikologis berperan dalam meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan gangguan tidur. Dengan memahami jalur pengaruh ini, upaya preventif dan intervensi dapat dirancang secara lebih efektif untuk mendukung kesejahteraan psikologis generasi muda.
Daftar Pustaka
22 Jul 2017
26 Jan 2018
29 Jan 2018
28 Apr 2022