Diet Gluten-free untuk anak dengan ADHD: Mitos atau Fakta?
Oleh: dr. Afiah Salsabila
Topik: gluten-free, gluten, ADHD
Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) adalah gangguan neurodevelopmental yang semakin banyak ditemukan di anak umur sekolah (1.4-5%). Seorang anak bisa didiagnosis dengan ADHD jika memiliki gejala-gejala berikut: tidak bisa memusatkan perhatian pada suatu pekerjaan tertentu, tidak teliti, buru-buru mengerjakan tugas, tidak menyelesaikan tugas, tidak menyukai tugas-tugas yang memerlukan konsentrasi dalam durasi lama, tidak bisa duduk, bersuara keras, berbicara terlalu banyak dan sulit untuk bergantian dengan orang lain, serta tidak bisa menunggu giliran. Gejala ini harus menetap setidaknya selama 6 bulan. Sebagai gangguan yang memiliki etiologi multifaktorial, munculnya ADHD dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Alergi dan intoleransi makanan menjadi salah satu faktor yang dipikirkan berperan dalam patogenesis ADHD, maka intervensi nutrisi semakin dianggap penting dalam tatalaksana anak dengan ADHD. Salah satu pendekatan nutrisi bagi anak ADHD yang sering menjadi sorotan adalah diet eliminasi gluten, atau disebut juga dengan diet gluten-free (GF).
Gluten adalah salah satu protein yang terdapat dalam gandum. Pada beberapa orang, konsumsi gluten dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas dan intoleransi; jika reaksi yang dihasilkan menyebabkan perubahan anatomis berupa kerusakan villi, pasien bisa didiagnosis dengan Celiac disease (CD). Ada beberapa studi yang meneliti hubungan antara CD dan ADHD. Pada pasien CD dengan gejala-gejala neurologis seperti lelah kronis, penurunan kemampuan untuk fokus, nyeri badan, dan nyeri kepala, ada kecenderungan timbul gejala-gejala ADHD, khususnya inatensi. Patogenesis dari hubungan antara reaksi patologis terhadap gluten dan ADHD belum jelas, namun ada teori yang menjelaskan peptida-peptida hasil uraian gluten di sistem pencernaan menyebabkan dinding usus menjadi lebih permeabel. Akibatnya, peptida hasil uraian gluten menembus sawar otak darah dan menyebabkan inflamasi tingkat rendah. Mekanisme imunologik tersebut menjadi salah satu teori terbentuknya ADHD. Dari teori tersebut, muncullah hipotesis bahwa diet tanpa gluten dapat bermanfaat dalam mengurangi gejala ADHD.
Studi menunjukkan bahwa CD bisa asimtomatis pada awal patogenesis. Pada periode asimtomatis ini, gejala-gejala ADHD bisa muncul dan refrakter terhadap obat-obatan jika pasien tidak diberikan diet bebas gluten. Walaupun demikian, belum ada penelitian meta-analisis, kohort, ataupun randomized controlled trial, yang secara langsung mempelajari efek diet bebas gluten secara langsung terhadap anak dengan ADHD. Walaupun diet bebas gluten menjanjikan, namun bukti ilmiahnya dalam memengaruhi luaran ADHD belum terlalu jelas; perlu lebih banyak penelitian mengenai topik ini, khususnya untuk mengetahui apakah keuntungannya lebih besar dari risikonya sehingga bisa diketahui apakah bisa diimplementasikan sebagai bagian dari terapi standar atau tidak.
Kesimpulannya, diet bebas gluten berpotensi membantu anak dengan ADHD yang komorbid dengan hipersensitivitas/alergi gluten/CD. Walaupun bukti ilmiahnya masih sedikit, keamanannya relatif baik asalkan dilakukan dengan pengawasan ketat oleh dokter, sehingga masih aman jika dicobakan ke pasien ADHD, khususnya yang memiliki gejala yang mengarah ke alergi/intoleransi gluten.
Referensi:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3184556/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7055526/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538505/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441838/