First Unprovoked Seizure: Apakah Perlu EEG?
Oleh: dr. Afiah Salsabila
Topik: Kejang, unprovoked seizure, epilepsy
Sebuah unprovoked seizure adalah kejang yang terjadi tanpa pencetus tertentu seperti misalkan intoksikasi, gangguan metabolisme, demam, atau trauma. Jika terjadi dua unprovoked seizure dalam jeda waktu > 24 jam jam, maka anak bisa didiagnosis dengan epilepsi. Untuk mengkonfirmasinya, pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dilakukan. Namun, apa yang harus dilakukan setelah unprovoked seizure yang pertama? Apakah perlu menunggu unprovoked seizure kedua hingga dilakukan EEG? Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai alur diagnosis dan penanganan first unprovoked seizure.
Langkah pertama dalam menangani pasien dengan keluhan kejang adalah menetapkan jika kejadian yang dilaporkan benar-benar sebuah episode kejang. Kondisi-kondisi yang sering orang awam salah-artikan sebagai kejang meliputi sinkop, psychogenic non-epileptic event (PNES), breath holding spells, reflux/Sandifer syndrome, self-gratification disorder, dan parasomnia. Untuk menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan tersebut, anamnesis yang rinci mengenai karakteristik kejadian perlu dilakukan.
Pada kejang, terdapat penurunan kesadaran dan daya respon yang berkurang. Anak dengan kejang juga menunjukkan salah satu atau lebih karakteristik berikut: kelainan aktivitas motor (kelojotan, kaku, atau kombinasi keduanya), abnormalitas sensoris, suara vokal seperti tangisan, gerutuan, pergerakan wajah stereotipik (mata mengedip-ngedip, tatapan kosong, deviasi mata), hipersalivasi, inkontinensia, dan jatuh. Durasi kejadian dan sisi yang dominan terkena gejala-gejala yang telah disebutkan juga perlu ditanyakan untuk mengetahui apakah kejang terjadi secara fokal atau menyeluruh. Kejang juga kerap didahului oleh gejala tertentu yang dinamakan gejala pre-iktal dan diikuti oleh gejala yang dinamakan gejala pasca-iktal. Gejala pre-iktal meliputi aura (penampakan cahaya atau warna, sensasi tertentu pada ulu hati, dan lain-lain), perubahan perilaku seperti berkurangnya daya respon anak, automatism, kelelahan, rewel, dan penurunan nafsu makan; gejala pasca-iktal mencakup rasa kantuk, lupa ingatan, kebingungan, nyeri kepala, nyeri otot.
Sinkop sering dikira kejang karena sama-sama menyebabkan penderita hilang kesadaran dan pada kasus-kasus tertentu terdapat gerakan-gerakan berulang yang mirip dengan gerakan stereotipik pada kejang. Namun perlu diperhatikan bahwa gerakan-gerakan berulang tersebut hanya terjadi ketika anak sudah di lantai, tidak ketika sedang berdiri. Gejala-gejala yang mendahului juga cenderung lebih ke arah stres emosional, terlalu lama berdiri, dehidrasi, kelaparan, nyeri, stimulasi sinus karotid, dan peningkatan tekanan intratorakal (misal ketika berkemih dan batuk). Kondisi lain yang menyerupai kejang adalah PNES, di mana gerakan anak mirip kejang namun sebenarnya tidak ada gangguan elektrikal pada otak, melainkan karena gangguan psikologis. Secara klinis, PNES biasanya muncul ketika ada saksi. Kejadiannya tidak datang secara tiba-tiba layaknya kejang, namun secara perlahan. Pasien juga tampak seperti dalam trance. Vokalisasi yang muncul juga kompleks (bentuk kata), tidak seperti pada kejang yang hanya gerutu atau tangisan. Mata juga dipejamkan dengan keras dan melawan jika dibuka secara pasif. Gerakan juga lebih tidak teratur, terdapat pelvic thrusting, tatapan bingung, dan durasinya lama (lebih dari 1 menit). Terkadang PNES dapat terjadi pada pasien dengan epilepsi, sehingga terkadang membedakan keduanya sulit.
Jika kejang sudah ditetapkan, pemeriksaan fisik perlu dilakukan. Tanda-tanda vital, tanda-tanda meningeal, dan neurologis lengkap juga perlu diperiksa untuk mengerucutkan etiologi kejang; apakah diakibatkan oleh pencetus tertentu atau tidak. Pemeriksaan penunjang juga perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan. Untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi, bisa dilakukan pemeriksaan darah lengkap dengan pemeriksaan hitung jenis leukosit. Pemeriksaan serum elektrolit, glukosa darah, dan kalsium dapat menyingkirkan etiologi metabolik. Jika dari pemeriksaan fisik terdapat demam dan tanda meningeal, serta leukositosis dari pemeriksaan darah, meningitis bisa dicurigai. Jika demikian, pungsi lumbal bisa dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda yang mengarah ke meningitis atau ensefalitis, maka pungsi lumbal tidak direkomendasikan. Pencitraan bisa mendeteksi kelainan pada otak yang dapat menyebabkan kejang. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa MRI bisa membantu mendiagnosis kejang khususnya jika deskripsi episode kejadian kurang jelas, khususnya pada pasien dengan kejang fokal.
Lantas, bagaimana dengan EEG? Studi menunjukkan bahwa EEG yang abnormal dapat memberi luaran prediktif terhadap kejang berulang. EEG juga dapat membantu dalam membedakan NPES dari kejang. Maka dari itu EEG sangat direkomendasikan untuk dilakukan setelah first unprovoked seizure. Namun kapan sebaiknya EEG dilakukan? EEG yang dilakukan dalam kurun waktu 48 jam sejak kejang menunjukkan lebih banyak abnormalitas daripada jika EEG dilakukan lebih lama dari itu, namun abnormalitas tersebut masih memiliki kemungkinan bahwa mereka hanyalah aktivitas pasca-iktal yang makna klinisnya tidak terlalu jelas. Maka waktu yang optimal untuk EEG belum diketahui secara pasti.
Kesimpulannya, anak dengan first unprovoked seizure perlu dievaluasi untuk memastikan jika yang dialami pasien benar-benar kejang. Hal ini dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang khususnya EEG. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang relevan juga dapat menyingkirkan kemungkinan adanya pencetus dan memastikan betul apakah kejang benar-benar sebuah unprovoked seizure. JIka hal itu sudah dipastikan, EEG bisa membantu dalam memprediksi risiko rekurensi, sehingga tim pelayanan kesehatan dapat lebih siaga dalam menangani pasien.
Referensi:
https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0883073817706028
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24730690/