
Frambusia di Indonesia
Author: dr. Afiah Salsabila
19 Okt 2024
Topik: Frambusia, Yaws, Antibiotik, Kesehatan Kulit, Permasalahan Kulit
Patogenesis dan Patofisiologi Frambusia
Frambusia adalah infeksi bakteri kronis yang disebabkan oleh Treponema pallidum pertenue. Bakteri tersebut memiliki karakteristik serupa dengan bakteri penyebab sifilis, namun tidak ditularkan secara seksual. Patogenesis penyakit ini dimulai ketika bakteri masuk melalui kontak kulit ke kulit. Setelah masuk, bakteri menyebar ke jaringan terdekat, menyebabkan respons inflamasi yang memicu perkembangan lesi primer. Penyakit ini lebih sering menyerang anak-anak, terutama di lingkungan dengan sanitasi yang buruk dan akses terbatas ke perawatan medis.
Secara patofisiologis, frambusia berkembang melalui tiga tahap klinis:
- Tahap Primer: Muncul lesi kulit tunggal berbentuk papul, yang menyerupai buah frambozen (raspberry), pada area yang terinfeksi. Lesi ini tidak nyeri, tetapi sangat menular.
- Tahap Sekunder: Lesi menyebar ke seluruh tubuh, sering kali disertai dengan lesi pada telapak tangan dan kaki serta rasa sakit pada tulang dan sendi. Jika tidak ditangani, infeksi dapat menyebabkan deformitas tulang.
- Tahap Tersier: Ditandai dengan komplikasi berat, seperti kerusakan pada kulit, tulang, dan jaringan lunak, yang dapat menyebabkan kecacatan permanen jika pengobatan tidak diberikan.
Perjalanan Penyakit Frambusia
Frambusia seringkali berkembang secara lambat. Gejala pada tahap awal mungkin tidak terasa serius, namun jika dibiarkan tanpa pengobatan, penyakit ini bisa menjadi progresif dan mengakibatkan komplikasi yang lebih serius. Penyakit ini cenderung menyerang anak-anak berusia 2-15 tahun. Faktor risiko utamanya meliputi kebersihan yang buruk, lingkungan padat penduduk, dan terbatasnya akses ke pelayanan kesehatan.
Beberapa wilayah di Indonesia seperti endemik di beberapa daerah seperti Papua, Nusa Tenggara, dan wilayah-wilayah terpencil lainnya memiliki status endemik frambusia. Situasi ini menunjukkan perlunya penanganan kesehatan masyarakat yang efektif untuk mengurangi transmisi dan mencegah konsekuensi jangka panjang bagi anak-anak.
Diagnosis dan Tatalaksana
Diagnosis frambusia biasanya dimulai dengan pemeriksaan klinis, di mana dokter dapat mengenali lesi khas yang muncul pada kulit. Untuk memastikan diagnosis, tes serologi seperti rapid plasma reagin (RPR) dan tes spesifik Treponema pallidum dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap bakteri penyebab infeksi. Di beberapa kasus, deteksi berbasis PCR juga dapat dilakukan untuk mendiagnosis infeksi dengan lebih akurat.
Pengobatan yang paling efektif untuk frambusia adalah pemberian satu dosis injeksi benzatin penisilin G, yang dapat menyembuhkan penyakit sepenuhnya. Dosisnya diberikan berdasarkan usia: 600.000 unit untuk anak usia di bawah 6 tahun, 1,2 juta unit untuk anak-anak usia 6 hingga 14 tahun, dan beberapa sumber melaporkan dosis serupa, yaitu 1,2 juta unit, untuk orang dewasa. Dosis ini lebih rendah dibandingkan yang digunakan untuk sifilis Namun, bagi pasien yang alergi terhadap penisilin, antibiotik alternatif seperti azitromisin dengan dosis 30 mg/kg dapat digunakan. Pengobatan dini dan tepat waktu sangat penting untuk mencegah komplikasi dan memutus rantai penularan.
Relevansi Frambusia bagi Anak di Indonesia
Anak-anak menjadi kelompok paling rentan terkena frambusia karena sering beraktivitas di lingkungan yang berpotensi terkontaminasi. Kondisi kebersihan yang buruk dan kurangnya akses terhadap air bersih juga meningkatkan risiko infeksi. Oleh karena itu, intervensi berbasis komunitas seperti kampanye kebersihan dan pengobatan massal di daerah endemis sangat diperlukan.
Peran Dokter Anak dalam Pengendalian Frambusia
Dokter anak berperan sebagai garda terdepan dalam penanganan frambusia dengan memberikan diagnosis dini dan pengobatan yang tepat. Seorang dokter anak harus peka terhadap tanda-tanda klinis frambusia, terutama pada anak-anak dengan lesi kulit yang mencurigakan. Selain itu, dokter anak juga bertanggung jawab untuk melaporkan kasus yang dicurigai kepada dinas kesehatan setempat guna tindakan surveilans dan penanganan lebih lanjut.
Edukasi mengenai pencegahan frambusia juga penting untuk dilakukan oleh dokter anak. Dokter anak perlu menyampaikan informasi kepada orang tua dan komunitas tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, menghindari kontak langsung dengan lesi kulit orang lain, dan segera mencari pengobatan medis bila muncul tanda-tanda infeksi.
Upaya Pemerintah dan Dukungan Internasional
Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan WHO dan organisasi kesehatan lainnya untuk mengurangi prevalensi frambusia melalui peningkatan program surveilans, pengobatan massal, dan pelatihan tenaga kesehatan di daerah endemis. WHO juga menyediakan alat diagnostik dan sumber daya untuk mendukung eliminasi frambusia sebagai bagian dari target global untuk menghapus penyakit tropis terabaikan pada tahun 2030
Kesimpulan
Frambusia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama di daerah pedalaman yang memiliki keterbatasan sumber daya. Meskipun penyakit ini dapat diobati dengan antibiotik, pencegahan dan deteksi dini sangat penting untuk menghentikan penyebarannya. Kolaborasi antara pemerintah, organisasi kesehatan, dan tenaga medis, terutama dokter anak, sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan eliminasi frambusia di Indonesia.
Referensi:
- Maxfield L, Corley JE, Crane JS. Yaws. [Updated 2023 Jul 10]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526013/
- WHO. Strengthening the NTD surveillance system: WHO support for yaws case investigation in Gunung Kidul and Fakfak districts/ 2023 October 2. Available from: https://www.who.int/indonesia/news/detail/02-05-2023-strengthening-the-ntd-surveillance-system--who-support-for-yaws-case-investigation-in-gunung-kidul-and-fak-fak-districts
- WHO. Indonesia launches final push to eliminate lymphatic filariasis, leprosy and yaws. 2024 October 24. Available from: https://www.who.int/indonesia/news/detail/10-10-2024-indonesia-launches-final-push-to-eliminate-lymphatic-filariasis--leprosy-and-yaws