Gangguan Makan pada Remaja
Oleh: dr. Afiah Salsabila
Topik: Gangguan Makan, Anorexia Nervosa, Bulimia Nervosa, Eating disorder
Dengan meningkatnya paparan remaja terhadap media yang mengglorifikasi sosok ramping, semakin banyak remaja yang mengaitkan penurunan berat badan dengan harga diri. Konsekuensinya, semakin banyak upaya yang dilakukan oleh remaja, khususnya remaja perempuan, untuk menurunkan berat badan. Terkadang, usaha ini berlebih sehingga pola makan menjadi sangat restriktif. Seperti yang diketahui, pola makan yang terlalu restriktif dapat menyebabkan malnutrisi dan gangguan fisiologi tubuh. Hal in terjadi pada penderita anoreksia nervosa. Penelitian mengenai angka anoreksia nervosa di Indonesia masih sangat minim. Namun, ada sebuah survei menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden yang merupakan remaja perempuan dari Indonesia, tidak puas dengan penampilan mereka dan sekitar 25% dari mereka melakukan restriksi asupan makan, olahraga berlebih, dan melakukan emotional eating. Maka dari itu, anoreksia nervosa perlu dicurigai pada remaja yang mengalami malnutrisi, khususnya jika keluarganya berkecukupan secara ekonomi.
Anoreksia nervosa adalah gangguan makan yang ditandai dengan ketakutan yang berlebih akan mengalami berat badan meningkat, badan yang sangat kurus, citra tubuh (body image) yang terganggu (biasanya tidak mengakui bahwa tubuhnya sudah sangat kurus), perilaku kompensatorik untuk mencegah berat badan bertambah, dan preokupasi pada makanan dan berat badan. Pada perempuan, anorexia nervosa bisa bermanifestasi sebagai amenorea, yaitu tidak adanya siklus menstruasi tiga kali berturut-turut. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) mengelompokkan anoreksia nervosa menjadi dua tipe: (1) tipe restriksi dan (2) tipe binge eating/purging. Pasien anoreksia nervosa tipe restriksi menurunkan berat badan dengan puasa atau olahraga berlebih, sedangkan yang dengan tipe binge/purge, berusaha untuk mengkompensasi episode makan berlebih dengan muntah yang disengaja dan pemakaian diuretik atau laksatif.
Faktor risiko anoreksia nervosa adalah obesitas ketika masa kecil, jenis kelamin perempuan, gangguan mood, dan sifat-sifat tertentu seperti impulsivitas dan perfeksionisme. Pelecehan seksual dan komentar mengenai tubuh dari orang-orang terdekat seperti teman dan keluarga juga sangat berpengaruh pada terbentuknya kondisi ini. Tak hanya faktor psikologis dan sosial, terjadinya anoreksia nervosa juga dipengaruhi oleh faktor genetik dan biologis. Pasien anoreksia nervosa cenderung memiliki defisit dopamine dan serotonin; dopamine berperan dalam fungsi perilaku makan dan reward, sedangkan serotonin berperan dalam kontrol impuls dan neurotisisme.
Pada pasien dengan kecurigaan anoreksia nervosa, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang relevan perlu dilakukan untuk menggali faktor risiko, riwayat medis, riwayat pengobatan, pola makan, keadaan mental, dan komplikasi yang mungkin telah terjadi pada pasien (misalkan osteopenia, rambut mudah putus, konstipasi, bradikardia, hipotermia, infertilitas, dan atrofi otot). Suicidal ideation juga perlu ditanyakan karena kasus kematian pada anoreksia nervosa tak hanya terjadi karena komplikasi medis, namun juga karena bunuh diri. Sebagai dokter, pemeriksaan penunjang yang perlu dipesankan adalah darah lengkap, panel koagulasi, profil metabolik, vitamin D, TSH, urine (termasuk beta-hCG untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan pada perempuan), dan tingkat testosterone pada laki-laki. EKG juga direkomendasikan untuk melihat apakah ada aritmia yang mengancam nyawa atau tidak.
Tatalaksana anoreksia nervosa memerlukan tim multidisipliner yang mengikutsertakan dokter psikiatri anak dan dokter anak untuk menanganinya. Tim ini perlu fokus dalam memfasilitasi proses rehabilitas nutrisi dan psikoterapi pada pasien. Pasien anoreksia yang perlu dirawat di rumah sakit adalah pasien yang memiliki komorbiditas dengan gangguan jiwa lain, memiliki risiko bunuh diri yang tinggi, tidak memiliki sistem dukungan yang adekuat (misalkan memiliki masalah keluarga), tinggal jauh dari rumah sakit, tidak stabil secara medis, dan memiliki perilaku purging yang persisten.
Tatalaksana medis dilakukan dengan koreksi elektrolit dan peningkatan asupan makan secara perlahan. Jika pasien masih sulit makan, bisa diberi makan lewat nasogastric tube (NGT). Komplikasi yang perlu diperhatikan adalah refeeding syndrome, sekelompok gejala yang terjadi akibat ketidakseimbangan elektrolit setelah pemberian nutrisi dalam jumlah yang terlalu banyak setelah periode panjang tanpa asupan makanan.
Walaupun jumlah anoreksia nervosa di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun ada kemungkinan bahwa jumlahnya meningkat. Perlu studi lebih lanjut mengenai hal ini. Sementara itu, dokter perlu waspada terhadap adanya anoreksia nervosa di kalangan anak dan remaja Indonesia sehingga dapat mengenalinya dan memberi penatalaksanaan yang sesuai jika menemukannya.
Referensi:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK567717/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459148/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC10378758/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK564513/