Meta PixelOppositional Defiant Disorder pada Anak<!-- --> | Articles | <!-- -->PrimaKu - Pelopor Aplikasi Tumbuh Kembang Anak di Indonesia

Oppositional Defiant Disorder pada Anak

Author: dr. Afiah Salsabila

19 Jun 2025

Topik: Gangguan Perilaku, Oppositional Defiant Disorder, ADHD, Diagnosis, Ilmiah

Ketika seorang anak menunjukkan perilaku bermasalah seperti sering membantah, marah, atau bersikap menantang terhadap figur otoritas, sering kali respons awal yang muncul adalah menyalahkan anak. Namun, penting bagi dokter anak untuk mempertimbangkan kemungkinan adanya gangguan psikiatri, salah satunya adalah Oppositional Defiant Disorder (ODD) sebagai salah satu kontributor perilaku tersebut. Kondisi ODD merupakan salah satu gangguan perilaku yang dapat berdampak serius terhadap perkembangan sosial, akademik, dan emosional anak. Mengingat interaksi awal pasien pediatri kerap terjadi dengan dokter spesialis anak, dokter spesialis anak memegang peranan penting dalam deteksi dini, edukasi keluarga, dan merujuk pasien untuk evaluasi dan intervensi psikiatri anak bila diperlukan. Maka dari itu, kesadaran terhadap keberadaan ODD penting untuk mencegah keterlambatan diagnosis dan menurunnya kualitas hidup anak. (1)


Definisi dan Diagnosis

Kondisi ODD didefinisikan sebagai pola perilaku yang meliputi suasana hati mudah marah atau tersinggung, perilaku argumentatif atau menantang, dan sifat pendendam yang berlangsung setidaknya selama enam bulan. Diagnosis ditegakkan bila gejala terjadi secara konsisten dan menyebabkan gangguan signifikan pada fungsi sosial, sekolah, atau keluarga anak. (2) Menurut DSM-5, gejala ODD diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: mood mudah marah, atau iritabel, perilaku argumentatif atau menantang, dan sifat pendendam. Untuk bisa diklasifikasikan sebagai pasien ODD, gejala-gejala tersebut harus lebih sering muncul dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Diagnosis ditegakkan jika perilaku terjadi setidaknya sekali seminggu (dua kali untuk sifat pendendam) pada anak berusia lima tahun ke atas. (2)


Faktor Risiko dan Neuropsikopatologi

Berbagai faktor dapat meningkatkan risiko ODD, seperti faktor genetik, neurobiologis, dan lingkungan. Secara genetik, ODD memiliki heritabilitas hingga 61%. Salah satu penemuan yang menarik adalah faktor risikonya sering tumpang tindih dengan ADHD dan conduct disorder (CD). (2) Studi neuroimaging pada pasien ODD menunjukkan keterlibatan area prefrontal cortex, amigdala, dan insula dalam disregulasi emosi dan perilaku. Selain itu, anak dengan ODD menunjukkan kadar kortisol yang rendah dan disregulasi sistem saraf otonom, yang mengindikasikan sensitivitas stres yang rendah. (2)

Secara psikososial, risiko ODD meningkat pada anak dengan pola asuh inkonsisten, paparan kekerasan dalam rumah tangga, stres keluarga kronis, atau kemiskinan. (3) Sering kali terdapat interaksi antara faktor genetik dan lingkungan, seperti dalam kasus anak dengan gen MAOA aktivitas rendah yang mengalami kekerasan, yang memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan perilaku agresif. (2)


Dampak ODD dan Komorbiditas

ODD berdampak signifikan terhadap kualitas hidup anak. Anak dengan ODD kesulitan membentuk hubungan sosial, mengalami konflik di sekolah, serta menghadapi masalah dengan figur otoritas. (3) Komorbiditas dengan ADHD terjadi pada hampir separuh kasus, dan memperburuk derajat disfungsi sosial dan akademik. (4) Kehadiran ODD pada anak dengan ADHD dikaitkan dengan tingkat depresi dan kecemasan yang lebih tinggi, serta risiko lebih besar untuk berkembang menjadi conduct disorder pada remaja. (4)


Tatalaksana dan Akses Layanan

Anak dengan ODD memerlukan penanganan multidisiplin, dengan pilar utama berupa terapi psikososial. Parent Management Training (PMT) merupakan intervensi utama, di mana orang tua dilatih untuk menerapkan teknik penguatan positif, disiplin konsisten, dan komunikasi efektif. Terapi kognitif-perilaku (CBT) juga bermanfaat, terutama pada anak usia sekolah yang lebih besar. Pendekatan lain seperti family therapy dan terapi berbasis sekolah juga dapat diterapkan tergantung konteks. (2)

Farmakoterapi tidak menjadi lini pertama, namun dapat dipertimbangkan bila terdapat agresivitas berat atau komorbid seperti ADHD. (2) Akses terhadap layanan psikiatri anak masih menjadi tantangan di Indonesia. Oleh karena itu, peran dokter anak sangat penting dalam mengenali gejala awal, mengedukasi orang tua, dan menjembatani rujukan ke psikiater konsultan anak dan remaja atau psikolog klinis. Jaringan layanan kesehatan jiwa anak yang lebih luas dan kolaboratif diperlukan untuk menjawab kebutuhan ini.


Kesimpulan

Oppositional Defiant Disorder merupakan gangguan psikiatri yang sering kali terabaikan, tetapi berdampak besar terhadap kualitas hidup anak. Dokter anak sebagai salah satu kontak awal pasien pediatri dalam sistem layanan kesehatan memegang peran strategis dalam deteksi dini dan penanganan awal ODD. Melalui edukasi, kolaborasi dengan spesialis kesehatan jiwa, dan advokasi sistem rujukan yang efektif, anak dengan ODD dapat memperoleh penanganan yang tepat dan komprehensif.


Daftar Pustaka

  1. Eskander N. The Psychosocial Outcome of Conduct and Oppositional Defiant Disorder in Children With Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Cureus. 2020;12(8):e9521. https://doi.org/10.7759/cureus.9521
  2. Ghosh A, Ray A, Basu A. Oppositional defiant disorder: current insight. Psychol Res Behav Manag. 2017;10:353–67. https://doi.org/10.2147/PRBM.S120582
  3. National Center for Biotechnology Information. Oppositional Defiant Disorder. StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557443/
  4. Nock MK, Kazdin AE, Hiripi E, Kessler RC. Lifetime prevalence, correlates, and persistence of oppositional defiant disorder: results from the National Comorbidity Survey Replication. J Child Psychol Psychiatry. 2007;48(7):703-713. https://doi.org/10.1111/j.1469-7610.2007.01733.x