Plagiocephaly: Pentingnya Deteksi Dini dan Tatalaksana yang Tepat
Oleh: dr. Afiah Salsabila
Topik: plagiocephaly, deformitas, helmet therapy
Plagiocephaly, yaitu deformasi asimetris pada tengkorak bayi, menjadi semakin sering ditemukan dalam praktik klinis, terutama sejak kampanye "Back to Sleep" diluncurkan pada tahun 1992 untuk mencegah Sudden Infant Death Syndrome (SIDS). Kampanye ini berhasil menurunkan angka SIDS lebih dari 40%, namun menyebabkan peningkatan kasus plagiocephaly hingga enam kali lipat [1]. Kondisi ini, yang umumnya terjadi pada beberapa bulan pertama kehidupan bayi, kerap menjadi kekhawatiran bagi orang tua. Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai etiologi, komplikasi, dan strategi penanganan plagiocephaly, sehingga dokter anak dapat memberikan intervensi yang tepat.
Plagiocephaly dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama: Plagiocephaly posisional dan Plagiocephaly dengan craniosynostosis. Plagiocephaly posisional merupakan jenis plagiocephaly yang disebabkan oleh tekanan eksternal pada kepala bayi, sering kali akibat posisi tidur terlentang yang tidak divariasikan. Kepala bayi yang berada dalam posisi sama pada jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan bayi untuk mengalami flattening sehingga tampak datar pada satu sisi. Plagiocephaly jenis tersebut adalh jenis yang paling sering terjadi. Sementara itu, plagiocephaly yang melibatkan craniosynostosis terjadi akibat fusi dini pada sutura tengkorak dan sering kali memerlukan intervensi bedah untuk koreksi [1,2].
Beberapa faktor risiko utama telah diidentifikasi. Bayi prematur memiliki tulang tengkorak yang lebih lunak sehingga lebih rentan terhadap deformasi. Selain itu, torticollis kongenital, kondisi di mana otot leher kaku, dapat menyebabkan kepala bayi cenderung miring ke satu sisi secara terus-menerus. [1]
Plagiocephaly dapat menyebabkan asimetri wajah, perubahan posisi telinga, defomitas rahang, dan deformitas orbita mata yang menetap [3]. Deformitas struktur-struktur kepala tersebut berpotensi memperlambat perkembangan motorik bayi [4]. Selain itu, deformasi tengkorak yang menetap hingga dewasa dapat memengaruhi kepercayaan diri individu, memberikan dampak psikososial yang tidak dapat diabaikan [3].
Deteksi dini menjadi langkah penting dalam mencegah komplikasi lebih lanjut. Selama pemeriksaan bulanan bayi, dokter anak dapat melakukan evaluasi bentuk tengkorak sebagai bagian dari evaluasi rutin. Pengukuran sederhana menggunakan diagonal caliper dapat membantu menilai tingkat deformasi. Dalam kasus kompleks, pencitraan 3D dapat digunakan untuk memastikan diagnosis [5].
Penanganan plagiocephaly sangat bergantung pada tingkat keparahannya. Terapi konservatif sering kali menjadi langkah pertama dalam penanganan. Variasi posisi tidur yang dapat membantu mendistribusikan tekanan pada kepala secara merata. Fisioterapi juga menjadi komponen penting, terutama untuk bayi dengan torticollis kongenital [6].
Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memadai, helmet therapy menjadi pilihan yang efektif. Terapi ini paling efektif jika dimulai sebelum bayi berusia enam bulan, karena sekitar 85% pertumbuhan tengkorak terjadi pada tahun pertama kehidupan [7]. Pemakaian helm harus dilakukan sekitar 20 jam per hari selama 2–6 bulan untuk mencapai hasil yang optimal. Namun, terapi ini memerlukan partisipasi aktif orang tua untuk memastikan kepatuhan dan mencegah komplikasi seperti iritasi kulit [8]. Pada kasus plagiocephaly yang melibatkan craniosynostosis, intervensi bedah sering kali diperlukan. Setelah operasi, penggunaan helm dapat membantu memaksimalkan hasil koreksi dan mendukung pertumbuhan tengkorak yang optimal [9].
Dokter anak memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran orang tua tentang plagiocephaly. Informasi mengenai pentingnya variasi posisi tidur, tummy time, dan pemantauan bentuk kepala harus disampaikan pada setiap kunjungan. Dengan pemahaman yang baik, orang tua dapat didorong untuk lebih aktif dalam pencegahan dan deteksi dini plagiocephaly.
Plagiocephaly mungkin tampak seperti kondisi sederhana, tetapi dampaknya bisa sangat signifikan jika tidak ditangani. Dengan kolaborasi yang baik antara dokter anak, fisioterapis, dan orang tua, penanganan yang efektif dapat diberikan, dan komplikasi jangka panjang dapat dicegah.
Referensi
- Jung BK, Yun IS. Diagnosis and treatment of positional plagiocephaly. Arch Craniofac Surg. 2020;21(2):80-86.
- Argenta LC, David LR, Wilson JA, Bell WO. An increase in infant cranial deformity with supine sleeping position. J Craniofac Surg. 1996;7:5-11.
- Graham JM Jr, Kreutzman J, Earl D, Halberg A, Samayoa C, Guo X. Deformational brachycephaly in supine-sleeping infants. J Pediatr. 2005;146:253-7.
- Kennedy E, Majnemer A, Farmer JP, Barr RG, Platt RW. Motor development of infants with positional plagiocephaly. Phys Occup Ther Pediatr. 2009;29:222-35.
- Zonenshayn M, Kronberg E, Souweidane MM. Cranial index of symmetry: an objective semiautomated measure of plagiocephaly. J Neurosurg. 2004;100(5 Suppl Pediatrics):537-40.
- Di Chiara A, La Rosa E, Ramieri V, Vellone V, Cascone P. Treatment of deformational plagiocephaly with physiotherapy. J Craniofac Surg. 2019;30:2008-13.
- Loveday BP, de Chalain TB. Active counterpositioning or orthotic device to treat positional plagiocephaly? J Craniofac Surg. 2001;12:308-13.
- Rogers GF. Deformational plagiocephaly, brachycephaly, and scaphocephaly. Part II: prevention and treatment. J Craniofac Surg. 2011;22:17-23.
- Ridgway EB, Berry-Candelario J, Grondin RT, Rogers GF, Proctor MR. The management of sagittal synostosis using endoscopic suturectomy and postoperative helmet therapy. J Neurosurg Pediatr. 2011;7:620-6.