
Himbauan IDAI Tentang Peningkatan Kewaspadaan Terhadap Kasus Difteri
20 Des 2017
Author: dr. Afiah Salsabila
8 Jul 2025
Topik: Hantavirus, leptospirosis, Ilmiah, Zoonosis
Latar Belakang
Pada 19 Juni 2025 lalu, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES RI) melaporkan 8 kasus terkonfirmasi hantavirus tipe Haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS). Berita ini diikuti dengan ditemukannya kasus-kasus tambahan di 4 provinsi yaitu Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara. (1,2)
Infeksi hantavirus jarang dilaporkan pada anak dibandingkan dengan orang dewasa. Walaupun demikian, populasi anak tidak luput dari potensi untuk terinfeksi oleh penyakit ini dan mengalami beragam komplikasi yang dapat disebabkannya, seperti acute kidney injury (AKI), trombositopenia, dan gejala sistemik lainnya. Karena adanya peningkatan kasus hantavirus yang belakangan ini terjadi, penting bagi dokter anak untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit ini.
Epidemiologi dan Etiologi
Hantavirus merupakan virus RNA beramplop dari famili Hantaviridae yang ditularkan melalui rodensia, atau lebih luas dikenal sebagai binatang pengerat, sebagai reservoir utama. Penularan ke manusia biasanya terjadi secara tidak langsung melalui inhalasi aerosol yang terkontaminasi ekskreta tikus. (4)
Jenis-jenis hantavirus diklasifikasikan berdasarkan lokasi geografisnya dan manifestasi klinis yang disebabkannya. Berdasarkan sistem ini, terdapat dua kelompok hantavirus: 1) Old World hantaviruses seperti Hantaan virus (HTNV), Dobrava-Belgrade virus (DOBV), Seoul virus (SEOV) yang menyebabkan hemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS), dan 2) New World hantaviruses (seperti Andes virus) yang menyebabkan hantavirus cardiopulmonary syndrome (HCPS). Tipe DOBV dan HTNV memiliki tingkat virulensi tinggi dengan mortalitas hingga 15%, sedangkan SEOV, yang memiliki distribusi global melalui tikus Rattus norvegicus, biasanya menyebabkan penyakit derajat sedang. (4)
Patogenesis dan Faktor Risiko
Infeksi hantavirus bersifat sporadik dan berkaitan erat dengan lingkungan yang dihuni oleh binatang pengerat yang terinfeksi. Bencana alam seperti banjir, sanitasi buruk, dan rumah tinggal lembap menjadi faktor yang meningkatkan risiko paparan. Anak-anak yang tinggal di daerah padat atau pedesaan tanpa kontrol populasi tikus yang baik lebih rentan terpapar.
Mekanisme utama kerusakan jaringan melibatkan peningkatan permeabilitas endotel yang dipicu oleh aktivasi sistem imun, khususnya sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-6. Respons imun yang berlebihan dapat menyebabkan kebocoran vaskular, trombositopenia, dan gangguan organ seperti ginjal dan paru. (4)
Perjalanan Penyakit
Perjalanan klinis HFRS klasik umumnya terbagi dalam lima fase: febril, hipotensif, oligurik, poliurik, dan konvalesen. Skema perjalanan penyakit hantavirus dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perjalanan penyakit Hantavirus
Fase febril berlangsung selama tiga hingga tujuh hari dengan gejala demam tinggi, nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri otot. Gejala perdarahan ringan seperti petekie di palatum dan injeksi konjungtiva dapat muncul.
Fase hipotensif yang terjadi sesudahnya dapat berlangsung dari beberapa jam hingga dua hari. Penurunan tekanan darah dapat terjadi secara cepat, bahkan menyebabkan syok yang memerlukan penanganan agresif. Satu dari tiga kematian akibat HFRS terjadi pada fase ini.
Fase oligurik ditandai oleh penurunan tajam fungsi ginjal. Pasien menunjukkan penurunan volume urin, peningkatan ureum dan kreatinin, serta ketidakseimbangan elektrolit. Dialisis sementara dibutuhkan pada kasus berat. Fase ini bisa berlangsung hingga satu minggu dan merupakan fase dengan risiko komplikasi tertinggi.
Setelah itu, fase poliurik menandai awal pemulihan fungsi ginjal, ditandai dengan peningkatan produksi urin hingga beberapa liter per hari. Meskipun fase ini merupakan tanda klinis membaik, kehilangan cairan dapat menimbulkan dehidrasi sekunder.
Fase konvalesen ditandai dengan perbaikan klinis dan laboratorium secara bertahap. Pemulihan penuh biasanya terjadi dalam hitungan minggu hingga bulan, meskipun beberapa pasien dapat mengalami hipertensi residual atau proteinuria persisten. (4)
Pada anak-anak, perjalanan penyakit cenderung mirip, meskipun presentasi awal dapat kurang khas. Studi di Romania melaporkan delapan anak laki-laki berusia 11 hingga 18 tahun yang terdiagnosis HFRS, sebagian besar dengan keluhan utama muntah, nyeri perut, dan AKI. Tujuh dari mereka terinfeksi DOBV, satu oleh HTNV. Tiga anak menjalani hemodialisis, dan satu pasien menjalani biopsi ginjal yang menunjukkan nefritis interstisial. Seluruh pasien pulih tanpa komplikasi jangka panjang. (3)
Diagnosis
Diagnosis infeksi hantavirus pada anak harus dipertimbangkan bila terdapat kombinasi demam akut, trombositopenia, dan gangguan fungsi ginjal, terutama dengan riwayat paparan lingkungan berisiko tinggi, misalkan adanya paparan tinggi dengan tikus atau lokasi yang baru saja mengalami banjir. Pemeriksaan laboratorium umumnya menunjukkan leukositosis, trombositopenia, dan peningkatan ureum serta kreatinin. Urinalisis menunjukkan proteinuria dan hematuria. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan serologi, seperti ELISA, untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap hantavirus. (3) Walaupun demikian, pemeriksaan serologis tidak selalu tersedia, sehingga mengenali penyakit ini melalui presentasi klinis pasien masih menjadi bagian penting dari diagnosis.
Hantavirus dan leptospirosis memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan, baik dari segi klinis maupun pemeriksaan penunjang. Keduanya merupakan zoonosis yang ditularkan oleh tikus, sering ditemukan di daerah dengan sanitasi buruk atau bencana banjir, serta dapat menyebabkan gejala sistemik yang tumpang tindih seperti demam, mialgia, nyeri kepala, muntah, dan gangguan ginjal. Namun, secara klinis, leptospirosis cenderung lebih sering menimbulkan ikterus, gangguan kesadaran, dan manifestasi perdarahan seperti hemoptisis dan purpura, sedangkan hantavirus lebih dominan menimbulkan dispnea dan gagal napas akut (seperti Hantavirus Pulmonary Syndrome). Dari sisi pemeriksaan penunjang, leptospirosis menunjukkan peningkatan bilirubin total dan direct yang lebih signifikan, leukositosis, serta peningkatan C-reactive protein (CRP) dan kreatinin yang lebih tinggi dibandingkan hantavirus.
Sejumlah alat telah dikembangkan untuk yang dapat membantu klinisi dalam membedakan hantavirus dengan leptospirosis. Contohnya adalah MICE scoring system, yang mencakup lima parameter laboratorium (WBC, total bilirubin, CRP, kreatinin, dan CK), dengan skor ≥3 menunjukkan prediksi leptospirosis dengan sensitivitas 93,5% dan spesifisitas 92,9%. (5) Parameter-parameter dalam sistem skoring ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sistem Skoring MICE. Skor total ≥3 mengindikasikan kemungkinan besar leptospirosis
Selain itu, beberapa ilmuwan lain telah mencoba untuk membuat model prediksi berbasis regresi logistik. menggunakan data demografis, klinis, dan risiko lingkungan untuk membedakan hantavirus dan leptospirosis. Mereka menemukan bahwa model ini memiliki akurasi 88,7%, sensitivitas 89,4%, dan spesifisitas 88%.(6) Kedua metode ini masih dalam tahap penelitian lebih lanjut dan belum sepenuhnya diimplementasikan secara luas dalam praktik klinis, sehingga diagnosis tetap harus dikonfirmasi dengan uji serologis bila tersedia.
Tatalaksana
Hingga kini, belum tersedia antivirus atau vaksin yang disetujui untuk hantavirus, baik untuk pencegahan maupun terapi. Oleh karena itu, tatalaksana bersifat suportif dan difokuskan pada stabilisasi kondisi pasien, pemantauan ketat, dan perawatan intensif bila diperlukan.
Pada fase awal, terapi cairan intravena diberikan dengan hati-hati agar tidak menyebabkan overload cairan, terutama menjelang fase poliurik. Hemodialisis dilakukan pada pasien dengan AKI berat, hiperuremia, hiperkalemia, atau asidosis metabolik yang tidak membaik. Transfusi trombosit dapat diberikan bila jumlah trombosit turun drastis disertai perdarahan. Selama fase konvalesen, pasien perlu dipantau untuk kemungkinan hipertensi atau gangguan ginjal residu. (3,4)
Pencegahan dan Edukasi
Pencegahan infeksi hantavirus berfokus pada pengendalian lingkungan dan edukasi masyarakat. Penting untuk menjaga kebersihan rumah, terutama di daerah pascabanjir atau lingkungan padat tikus. Masyarakat harus dianjurkan untuk membersihkan gudang, dapur, dan bangunan lama dengan disinfektan sebelum digunakan, serta mengenakan masker dan sarung tangan saat melakukannya. Edukasi kepada orang tua mengenai risiko paparan tikus dan pentingnya sanitasi lingkungan menjadi langkah krusial dalam mencegah infeksi pada anak. (1,2)
Kesimpulan
Infeksi hantavirus merupakan penyakit yang jarang ditemukan pada anak, tetapi dapat menimbulkan manifestasi klinis yang berat. Dalam konteks Indonesia, di mana banjir dan urbanisasi menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyebaran tikus, dokter anak perlu mempertimbangkan hantavirus, khususnya HFRS dalam diagnosis banding anak dengan gagal ginjal akut dan trombositopenia. Deteksi dini, tatalaksana suportif yang tepat, serta edukasi masyarakat merupakan kunci dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit ini.
Daftar Pustaka
Mocanu A, Cajvan AM, Lazaruc TI, Lupu VV, Florescu L, Lupu A, et al. Hantavirus Infection in Children—A Pilot Study of Single Regional Center. Viruses. 2023;15(4):872.
Avšič-Županc T, Saksida A, Korva M. Hantavirus infections. Clin Microbiol Infect. 2015;21(1):e6–e16.
Rabelo MRG, Amâncio NFG, Ramos SB. Prediction model to discriminate leptospirosis from hantavirus. Rev Assoc Med Bras (1992). 2021;67(8):1102–8. doi:10.1590/1806-9282.20210257.
Kaya S, Yılmaz G, Aydın M, Aksoy F, Koksal I. The “MICE” scoring system in differentiating the identical twins leptospirosis and hantavirus infection. Infection. 2019;48(2):213–22. doi:10.1007/s15010-019-01366-7.