Menyoroti kontroversi seputar imunisasi
Author:
Topik: bayi, Pra-sekolah
Menyoroti kontroversi seputar imunisasi
Dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K)
Sekretaris Umum Pengurus Pusat IDAI
Merebaknya kembali Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di Sumatera Barat dan Aceh pada penghujung 2014 lalu hingga menimbulkan kematian dua orang anak yang tak mendapat imunisasi sama sekali dan membuat puluhan pasien dirawat dalam ruang isolasi Difteri, membuka mata kita bahwa ada masalah dengan persepsi masyarakat terhadap imunisasi saat ini. Hal tersebut tak lepas dari gencarnya isu yang dilontarkan kelompok antivaksin di Indonesia yang menebar pendapatnya melalui berbagai tulisan baik di buku-buku, tabloid, media sosial, maupun dari seminar dan ceramah keagamaan di masjid-masjid dan majelis taklim. Pendekatan yang dilakukan kelompok ini adalah pendekatan ideologis dengan basis agama Islam. Isu yang diusung biasanya menyangkut kehalalan dan keamanan vaksin dan isu konspirasi Yahudi di balik program vaksinasi.
Pada tahun 2012 Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat sudah mengeluhkan adanya penurunan tajam cakupan imunisasi dari 93% ke 35% setelah masyarakat mengikuti ceramah tokoh antivaksin di berbagai masjid dan majelis taklim. Hal tersebut disampaikan pada peringatan ulang tahun Ikatan Dokter Anak Indonesia pada saat itu. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk menyadarkan kembali masyarakat akan pentingnya imunisasi. Namun dua tahun kemudian KLB Difteri tetap terjadi di propinsi yang masyarakatnya agamis ini. Mengingat pendekatan kaum antivaksin yang amat 'khas' menyangkut ideologi vaksinasi maka mengatasinya pun tak cukup sekedar membantah argumen mereka dengan alasan ilmiah rasional semata, namun perlu juga dipahami alasan ideologis mengapa vaksinasi amat dibutuhkan oleh umat manusia.
Pentingnya mencegah penyakit dalam Islam
Kelompok antivaksin seringkali mengabaikan aspek pencegahan terhadap penyakit dan hanya mengutamakan aspek pengobatan penyakit (kuratif) saja. Mereka menganggap bahwa tuntunan Islam dalam masalah kesehatan hanyalah perintah untuk berobat setelah jatuh sakit. Pendapat tersebut tidak benar karena Islam amat menekankan aspek pencegahan terhadap berbagai hal yang menimbulkan potensi kerusakan di masyarakat, baik itu kerusakan fisik maupun non-fisik. Misalnya larangan mendekati zina (Al Qur'an surat Al Isra 17:32). Perhatikanlah bahwa yang dilarang adalah mendekati zina, redaksinya bukan saja larangan berzina. Ini adalah contoh bagaimana Islam berusaha mencegah sedini mungkin potensi kerusakan sosial dan kesehatan di masyarakat akibat zina dengan melarang manusia untuk mendekati zina.
Aspek pencegahan pun berlaku dalam masalah penyakit secara umum. Hadits Nabi SAW tentang: "Jagalah lima hal sebelum datang lima hal: hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, dan waktu lapang sebelum sempit". Serta hadits lain yang menyebutkan bahwa "Mukmin yang kuat lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah". Kedua hadits tersebut mengisyaratkan seorang muslim harus menjaga dan melakukan aspek promotif preventif dalam bidang kesehatan. Dalam kaidah ushul fiqih dikenal istilah sadudz-dzari'ah wajibun fil Islam. Artinya mencegah kemungkinan terjadinya kemudharatan di kemudian hari hukumnya wajib dalam Islam. Penyakit termasuk salah satu kemudharatan yang bisa menimpa individu maupun komunitas masyarakat. Bagaimana cara spesifik untuk mencegah penyakit tentu diserahkan kepada ahlinya, dalam hal ini para pakar kesehatan.
Larangan untuk menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan
Seorang muslim dilarang menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan. Dalam surat Al Baqarah 2:195: "Dan janganlah menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan" serta surat An Nisa 4:29: "Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah amat sayang kepadamu". Dalam mengomentari ayat ini Syaikh DR Yusuf Al Qaradhawy seorang ulama kontemporer yang tinggal di Qatar mengatakan bahwa upaya pencegahan penyakit seperti vaksinasi yang sudah direkomendasikan oleh para ahli kesehatan amat penting diperhatikan oleh setiap muslim. Jika sudah ada cara spesifik untuk mencegah penyakit ganas dengan cara vaksinasi lalu seorang muslim menolaknya dan berakibat tertular penyakit, maka bisa dianggap sebagai menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan.
Vaksinasi sebagai salah satu ilmu kauniyah terbesar abad ini
Diawali dengan tradisi masyarakat muslim Turki pada awal abad-18 yang memiliki kebiasaan menggoreskan nanah dari sapi yang menderita penyakit cacar sapi (cowpox) kepada manusia untuk melindungi manusia dari penyakit cacar (smallpox, variola) kemudian tradisi ini dibawa ke Inggris dan diteliti serta dipublikasikan oleh Edward Jenner tahun 1798. Sejak saat itu konsep vaksinasi terus berkembang demikian pesat. Beragam jenis vaksin telah ditemukan selama dua abad. Dan masih akan banyak lagi jenis vaksin yang ditemukan.
Penelitian untuk membuat vaksin merupakan penelitian yang panjang, sangat memperhatikan aspek keamanan dan keakuratan data. Satu jenis vaksin bisa memerlukan belasan tahun untuk membuatnya. Diawali dengan uji laboratorium, kemudian uji pada hewan coba, relawan, orang dewasa, baru kemudian diterapkan pada bayi dan anak setelah terbukti produk vaksin tersebut aman dipakai. Bila terbukti sebuah vaksin menimbulkan efek simpang atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang berat dan fatal maka vaksin akan segera ditarik dari peredaran untuk diteliti ulang.
Berbagai prestasi vaksinasi pun telah dapat kita lihat dalam catatan sejarah kemanusiaan. Di antara prestasi terbesar vaksinasi adalah lenyapnya penyakit cacar pada tahun 1979. Inilah salah satu bukti manfaat ilmu kauniyah yang dipelajari manusia (apa pun agama dan rasnya). Hasil dari eksplorasi alam semesta di antaranya ilmu tentang vaksin (vaksinologi) telah menghasilkan manfaat yang luar biasa dalam bidang pencegahan penyakit pada manusia (dan juga hewan). Adalah amat keliru bila hasil penelitian selama dua abad itu kemudian ditolak dengan alasan amat sederhana: itu produk buatan manusia. Pendikotomian buatan Allah dan buatan manusia seperti pemahaman sebagian kelompok muslim yang antivaksinasi pada hakikatnya adalah pemahaman yang amat sekuler. Pemahaman yang jauh menyimpang dari intisari ajaran Islam yang sebenarnya. Bila kita memahami dengan baik posisi ilmu kauniyah maupun ilmu qauliyah adalah bersumber dari Allah SWT yang Maha Berilmu, maka tidak perlu lagi terjadi hal seperti di atas.
Pendapat para ulama mengenai vaksinasi
Kita perlu tahu bahwa vaksinasi bukan hanya dilaksanakan di Indonesia namun juga dilaksanakan di lebih dari 190 negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara muslim. Sampai saat ini tidak pernah terdengar seorang pun dari ulama-ulama di negara-negara muslim itu yang melarang diberikannya vaksinasi kepada bayi dan anak di negaranya. Sebagai contoh Syaikh Abdullah Bin Bazz seorang mufti dari Saudi Arabia membolehkan vaksinasi. DR Yusuf Al Qaradhawy ulama alumni Al Azhar dan kini tingal di Qatar pun membolehkan imunisasi. Bahkan beliau banyak menyerahkan masalah ini kepada para dokter yang menguasai ilmu vaksinologi secara mendalam dan kemudian beliau berikan fatwa terhadap apa yang diungkapkan para dokter. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia pun merekomendasikan pemberian imunisasi. Kalau para ulama di tingkat internasional saja membolehkan vaksinasi lalu mengapa ada orang yang bukan ulama malah mempermasalahkan bolehnya vaksinasi dalam Islam.
Adapun pendapat sebagian kelompok Islam yang mengatakan vaksinasi dilarang dalam Islam karena menggunakan kuman yang disuntikkan ke dalam tubuh sehingga berpotensi membahayakan tubuh, adalah pendapat yang tidak berlandaskan ilmu dan hanya berdasarkan zhan atau prasangka belaka. Mereka berpendapat begitu tanpa bekal ilmu pengetahuan yang memadai mengenai vaksin dan vaksinasi. Padahal Islam melarang umatnya untuk berprasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa. Saat ini ada sebagian orang yang bukan ahlinya namun seringkali berkomentar mengenai sesuatu yang tidak difahaminya secara mendalam. Hanya berdasarkan bacaan dari internet, bersumber dari tokoh-tokoh fiktif yang tidak pernah ada atau berdasarkan teori konspirasi. Hal ini amat disayangkan karena bertentangan dengan anjuran dan tradisi Islam yang sangat menekankan aspek kejujuran dan obyektifitas ilmiah. Salah satu contoh tradisi ilmiah dalam Islam yang tidak ada bandingannya adalah pada proses penyeleksian ketat terhadap hadits-hadits nabi. Mungkin orang-orang yang hobi menyadur rumor, berita fiktif, hoax, gosip, khususnya tentang kampanye negatif terhadap vaksinasi perlu meniru tradisi Islam dalam menyeleksi hadits shahih.
Masalah enzim babi dalam proses pembuatan vaksin
Salah satu persoalan yang sering dipermasalahkan mengenai kehalalan vaksin adalah digunakannya enzim tripsin dari babi selama pembuatan beberapa jenis vaksin tertentu. Perlu diketahui bahwa vaksin yang menggunakan enzim babi sebagai katalisator hanya sebagian kecil saja dari semua jenis vaksin yang ada. Seringkali masalahnya ada pada perbedaan persepsi. Sebagian besar orang mengira bahwa proses pembuatan vaksin itu seperti orang membuat puyer. Bahan-bahan yang ada semua dicampur jadi satu, termasuk yang mengandung babi, dan kemudian digerus menjadi vaksin. Hal semacam ini adalah persepsi keliru mengenai proses pembuatan vaksin di era modern ini. Bila prosesnya demikian sudah tentu hukum vaksin menjadi haram.
Sebenarnya proses pembuatan vaksin di era modern ini amatlah kompleks. Ada beberapa tahapan, dan tidak ada proses seperti menggerus puyer tadi. Enzim tripsin babi digunakan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang menjadi bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan kemudian dilakukan fermentasi dan diambil polisakarida pada dinding selnya sebagai antigen bahan pembentuk vaksin. Selanjutnya dilakukan proses purifikasi dan ultrafiltrasi yang mencapai pengenceran 1/67,5 milyar kali sampai akhirnya terbentuk produk vaksin. Pada hasil akhir proses sama sekali tidak terdapat bahan-bahan yang mengandung enzim babi. Bahkan antigen vaksin ini sama sekali tidak bersinggungan dengan enzim babi baik secara langsung maupun tidak.
Dengan demikian isu bahwa vaksin mengandung babi menjadi sangat tidak relevan dan isu semacam itu timbul karena persepsi yang keliru pada tahapan proses pembuatan vaksin. Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan fatwa terhadap vaksin meningitis dan polio oral serta injeksi yang pada proses pembuatannya menggunakan katalisator dari enzim tripsin babi bahwa vaksin-vaksin tersebut boleh digunakan jika belum ada alternatif lain sebagai penggantinya. Sedangkan Majelis Ulama di Eropa, Negara-negara Timur Tengah, dan Amerika bahkan mengeluarkan sertifikat halal untuk beberapa vaksin yang menggunakan enzim babi sebagai katalisator namun pada produk akhir tak dijumpai lagi adanya tripsin babi ini. Kaidah yang mereka gunakan adalah kaidah istihalah dan istihlak. Istihalah adalah hukum transformasi zat yaitu terjadinya perubahan zat dari bentuk awal ke bentuk akhir yang sama sekali berbeda. Istihlak adalah hukum pengenceran luar biasa yang membuat unsur najis bisa terkalahkan oleh unsur yang halal karena banyaknya jumlah zat halal dibanding zat najisnya.
Vaksin tanpa sertifikat halal
Isu lain yang sering dilontarkan masyarakat penolak vaksinasi adalah isu vaksin tak bersertifikat halal. Ini juga sering membuat resah masyarakat hingga akhirnya beramai-ramai menolak vaksinasi. Perlu diketahui bahwa kaidah yang sebenarnya dalam Islam adalah sebagaimana disebutkan dalam ilmu ushul fiqih: "Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (halal) sampai ada dalil yang mengharamkannya." Jadi syarat suatu zat disebut halal adalah jika tak ada unsur haram di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab di alam semesta ini benda yang halal jumlahnya jauh lebih banyak daripada benda yang haram. Jika kaidah ini dibalik menjadi: "Semua benda dianggap haram sampai punya sertifikat halal" maka ini akan sangat menyulitkan dan berlawanan dengan maksud syariat Islam yang sebenarnya.
Sertifikat halal memang baik namun tak ada sertifikat halal bukan otomatis berarti haram. Kita bisa meneliti apakah pada produk akhir vaksin ada zat yang haram. Jika tak ada maka vaksin tersebut hukumnya adalah halal. Karena sejatinya hak menentukan halal dan haram adalah hak prerogatif Allah SWT dan bukan tergantung pada selembar sertifikat semata. Sebagai muslim kita wajib memperhatikan kehalalan makanan dan obat-obatan termasuk vaksin dengan cara memastikannya bebas dari unsur haram. Oleh karenanya sebenarnya labelisasi haram bagi setiap makanan dan obat yang haram adalah suatu langkah yang lebih dekat dengan kaidah ushul fiqih seperti di atas.
Di sisi lain hukum obat dan vaksin berbeda dengan hukum makanan dan minuman. Pada makanan dan minuman tersedia banyak sekali alternatif yang bisa dipilih sehingga kita bisa memastikan pilihan kita hanya pada makanan dan minuman yang halal saja. Namun pada obat-obatan esensial dan vaksinasi yang amat penting bagi kesehatan masyarakat dapat berlaku hukum darurat. Khususnya jika obat dan vaksin tersebut termasuk zat haram namun tak ada alternatif lain sebagai penggantinya saat itu. Hal ini disebabkan suatu kaidah bahwa darurat itu membolehkan yang dilarang. Dengan demikian andai saja sebagian muslim masih menganggap bahwa vaksin itu haram maka berdasarkan hukum darurat ini vaksin tersebut tetap harus diberikan untuk mencegah berjangkitnya wabah penyakit ganas dan berbahaya di masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa cakupan imunisasi yang menurun menjadi sekitar 60% saja sudah bisa menimbulkan kembali wabah penyakit yang sebelumnya sudah menghilang di tengah masyarakat.
Penutup
Demikian uraian ringkas mengenai sebagian kontroversi seputar imunisasi yang beredar di masyarakat kita, khususnya kalangan muslim. Kita perlu memahami konteks ini agar dapat berdiskusi dengan masyarakat akan pentingnya imunisasi bagi masyarakat. Diharapkan dengan kampanye positif tentang imunisasi termasuk yang terkait dengan masalah ideologis keagamaan maka mereka yang masih ragu bisa diyakinkan bahwa vaksinasi itu halal dan aman dan tidak ada seorang pun ulama di negara-negara muslim melarang program vaksinasi ini. Semoga kegalauan masyarakat karena isu tidak bertanggungjawab dari para pegiat antivaksinasi bisa terlokalisir bila semua pihak termasuk media massa juga mampu memberi informasi yang benar.
Daftar Bacaan
1. Al Qur'an dan terjemahannya. Departemen Agama Republik Indonesia, 1971.
2. Ranuh IGNG, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko. Buku Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi ke-4. Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta 2011.
3. Al Qaradhawy Y. Halal dan haram dalam Islam. Jakarta, PT Bina Ilmu 1993.
4. Center for Disease Control http://www.cdc.gov http://www.binbaz.org.sa/mat/238 diunduh 1 Juli 2012.
5. Fatwa MUI 4 Sya’ban 1431 H/16 Juli 2010 M. Fatwa No. 06 tahun 2010 tentang penggunaan vaksin meningitis bagi jemaah haji atau umrah.
6. Jenie UA. Obat sebagai produk rekayasa biokimiawi dan rekayasa genetika serta kaitannya dengan masalah kehalalannya. Disampaikan pada Lokakarya dampak RUU Jaminan Produk Halal terhadap obat dan vaksin bagi kesehatan masyarakat. Jakarta, Bidakara, 04 Juni 2012.
7. Yanuarso PB. Pandangan Agama terhadap vaksinasi. Dalam: Trihono PP, Oswari H, Gunardi H, Hendarto A, penyunting. Simposium Imunisasi IDAI ke-3, Immunization for bright future of our children. Ikatan Dokter Anak Cabang Jakarta. 2012. H. 71-6.
Dipresentasikan pada : World Immunization Week 2015, Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Pusat Kesehatan Ibu dan Anak “KIARA” RSCM, Jakarta 22 April 2015