Apa yang Perlu Diketahui Orang Tua tentang Pelecehan Seksual pada Anak?
Author:
Topik: Pra-sekolah, Sekolah, Remaja
APA YANG PERLU DIKETAHUI ORANG TUA TENTANG PELECEHAN SEKSUAL PADA ANAK?
Masih hangat berita yang sangat menghebohkan tentang seorang pelajar SMP berprestasi bernama Y menjadi korban perkosaan brutal dan pembunuhan. Pelakunya sebanyak 12 pemuda yang mengaku sering menonton film porno, tidak menampakkan tanda penyesalan di wajah mereka.
Beberapa waktu yang lalu juga kita digemparkan oleh berita berita tentang pelecehan seksual yang dilakukan oleh Babe, di mana 14 anak laki-laki usia 4-14 tahun disodomi dan dicekik hingga tewas, kemudian dimutilasi untuk menghilangkan jejaknya. Kasus lainnya tentang Emon di Sukabumi yang melakukukan sodomi terhadap 120 anak, kasus pelecehan seksual di Jakarta International School, dan lain-lain.
Sebenarnya berita-berita tersebut hanyalah merupakan fenomena gunung es. Kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah sangat mengkhawatirkan. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menunjukan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak di Tanah Air meningkat 100 persen dari tahun-tahun sebelumnya. Dari 2013 ke 2014 naik 100 persen, baik mereka yang jadi korban atau pun pelaku. Dari tahun 2010 hingga tahun 2014 tercatat sebanyak 21.869.797 kasus pelanggaran hak anak, yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupatan dan kota. Sebesar 42-58% dari pelanggaran hak anak itu merupakan kejahatan seksual terhadap anak. Saking geramnya terhadap kejahatan seksual pada anak yang terus meningkat, banyak elemen masyarakat saat ini yang ingin menambahkan hukuman dari yang ada pada saat ini dengan tambahan berupa pengebirian terhadap pelaku.
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menampilkan pornografi untuk anak, melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (kecuali dalam konteks non-seksual seperti pemeriksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup kekerasan seksual pada anak meliputi: hubungan seksual, incest, perkosaan, sodomi, eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, stimulasi seksual, perabaan (molestation, fondling), memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, memaksa anak untuk melihat kegiatan seksual.
Pelaku
Sebagian besar pelaku pelecehan seksual adalah orang yang dikenal oleh korban mereka; sekitar 30% adalah keluarga dari si anak, paling sering adalah saudara laki-laki, ayah, paman, atau sepupu; sekitar 60% adalah kenalan lainnya seperti 'teman' dari keluarga, pengasuh, atau tetangga, orang asing adalah pelanggar sekitar 10% dalam kasus penyalahgunaan seksual anak.
Penyebab
Faktor penyebab tindakan kekerasan seksual pada anak diantaranya adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap hak anak, pola asuh/pendidikan karakter di rumah, kemiskinan dan lemahnya pengetahuan masyarakat, belum mempunyai sistem database tentang kekerasan terhadap anak di tingkat provinsi / kabupaten / kota untuk menskrining potensi tindakan kekerasan di suatu wilayah, penyebaran perilaku jahat antar generasi (efek endari duplikasi/ mencontoh/ meniru), ketegangan sosial (pengangguran, sakit, ukuran keluarga yang besar, kehadiran seorang yg cacat mental dalam rumah, penggunaan alkohol dan obat-obatan, isolasi sosial dan lemahnya penegakan hukum.
Sanksi
Tindakan pelecehan seksual atau kejahatan seksual seperti yang diatur pada pasal 76C, 76D, dan 76E Undang Undang Republik Indonesia No 35 tahun 2014 Perubahan atas Undang Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sanksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyakRp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah); hingga pidana penjara paling singkat 5 (lima) a(lima miliar rupiah). Dalam hal tindak pidana sebagaimana diamaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Di akhir Mei 2016, akhirnya pemerintah berencana memperberat sanksi hingga hukuman mati dan kebiri.
Kenali tanda dini anak yang mengalami pelecehan seksual
Orangtua adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan anak, sehingga harus menaruh curiga apabila terdapat perubahan perilaku yang sangat berubah. Anak yang awalnya sudah tidak mengompol sekarang menjadi sering mengompol, menjadi suka menghisap jempolnya, menjadi sering melamun, cara berjalan menjadi aneh, sewaktu mandi tidak mau dibersihkan alat kemaluannya, tidak mau memakai celana dalam, sangat ketakutan melihat orang asing dll.
Apabila menemukan hal seperti di atas, berikut ini ada hal yang bisa Anda lakukan: Dengarkan cerita anak dengan baik dan bersikap tenang. Bila cerita anak ternyata benar bahwa dia mengalami kekerasan seksual, bersikaplah tenang, jangan memarahinya atau bahkan memukulnya. Reaksi panik orangtua akan membuat anak takut.
Kemana melapor
Melaporkan kasus kekerasan seksual ini kepada lembaga-lembaga yang telah ditunjuk seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang ada di kabupaten/kota, dapat juga ke Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang aktif di bidang perlindungan anak,serta ke Kepolisian Resort (Polres) unit PPA (Unit Perlindungan Perempuan dan Anak).
Simpulan
Peningkatan kejadian pelecehan seksual pada anak sudah sampai tingkat yang sangat meresahkan masyarakat. Upaya pencegahan perlu menjadi prioritas. Disarankan dalam proses hukum anak dan keluarga mendapatkan dampingan hukum, serta mempersiapkan kondisi psikologi.
Penulis : DR.Dr. Eddy Fadlyana, Sp.A(K), M.Kes
Ikatan Dokter Anak Indonesia