
Mencegah Anak Berperawakan Pendek
5 Feb 2018

Author: dr. Afiah Salsabila
15 Jul 2025
Topik: Neurologis, Kemampuan motorik, Motorik Kasar, Stimulasi motorik, Gangguan Perkembangan
Latar Belakang
Kelainan neuromuskular pada anak mencakup berbagai gangguan yang menyerang saraf perifer, otot, atau neuromuskular junction. Penyakit-penyakit ini dapat menyebabkan kelemahan progresif, keterbatasan aktivitas, disabilitas jangka panjang, bahkan kematian, sehingga berdampak besar terhadap kualitas hidup anak dan keluarganya. Gangguan ini tidak hanya menghambat pencapaian perkembangan motorik, tetapi juga meningkatkan kebutuhan perawatan, dukungan emosional, dan biaya medis jangka panjang. Data dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menunjukkan bahwa dari 6.813 pasien anak yang menjalani evaluasi neurologis pada tahun 2017, sebanyak 130 (2,6%) di antaranya didiagnosis dengan gangguan neuromuskular. Tipe tersering adalah neuropati perifer, Duchenne muscular dystrophy (DMD), dan spinal muscular atrophy (SMA), yang semuanya memiliki perjalanan penyakit yang kronis dan progresif serta memerlukan penanganan multidisipliner intensif. (1)
Sayangnya, diagnosis kelainan neuromuskular pada anak seringkali terlambat untuk dilakukan. Sebagai contoh, gejala awal DMD dapat bermanifestasi sebagai keterlambatan berjalan. Namun, rerata jarak antara ditemukannya gejala awal tersebut dan diagnosis DMD adalah 2 tahun lebih. (2) Keterlambatan diagnosis ini menyebabkan hilangnya kesempatan untuk melakukan intervensi dini yang dapat memperlambat progresi penyakit dan meningkatkan kualitas hidup anak dan keluarganya.
Deteksi Dini Melalui Evaluasi Motorik Kasar
Evaluasi milestone motorik kasar secara berkala merupakan cara utama untuk mendeteksi gangguan neuromuskular sejak dini. American Academy of Family Physicians (AAFP) merekomendasikan bahwa dalam setiap kunjungan well-child, dokter harus secara aktif memantau pencapaian milestone motorik kasar seperti kemampuan mengangkat kepala saat telungkup (pada usia 3 bulan), duduk tanpa bantuan (6 bulan), mampu berdiri (9–12 bulan), berjalan mandiri (15 bulan), hingga mampu berlari dan naik tangga (2 tahun). (2)
Penundaan dalam pencapaian milestone ini harus menjadi sinyal peringatan untuk dilakukan evaluasi lebih lanjut. Pendekatan “wait and see” tidak dianjurkan, karena banyak kelainan neuromuskular bersifat progresif dan waktu diagnosis sangat berpengaruh terhadap keberhasilan terapi. (2)
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik: Mengenali Tanda-Tanda Awal
Langkah pertama dalam mengevaluasi keterlambatan motorik adalah membedakan apakah penyebabnya bersifat sentral (seperti cerebral palsy) atau perifer (gangguan neuromuskular). Gangguan sentral biasanya tidak progresif, disertai peningkatan tonus otot dan refleks yang hiperaktif. Sebaliknya, gangguan neuromuskular umumnya menunjukkan kelemahan yang progresif, tonus otot menurun, dan refleks menurun atau tidak ada. (2)
Anamnesis harus menggali secara spesifik keluhan yang sering kali dilaporkan oleh orang tua, seperti: bayi terlihat “lemas”, lambat duduk atau berjalan, sering terjatuh, cepat lelah saat bermain, kesulitan berdiri dari posisi duduk atau tidur, hingga tremor atau fasikulasi lidah. Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa gejala seperti Gowers sign, pseudohipertrofi otot, dan gaya berjalan waddling banyak ditemukan pada pasien DMD, sementara hipotonia s eringditemukan pada SMA tipe 1 dan 2. (1)
Pemeriksaan Penunjang: Kapan dan Apa yang Dilakukan?
Pemeriksaan laboratorium utama yang disarankan adalah pengukuran kadar kreatin kinase (CK). Nilai CK yang meningkat secara ekstrem (lebih dari 3.000 U/L) sangat mengarah pada kerusakan otot seperti pada DMD. Sementara itu, nilai CK yang sedikit meningkat atau normal tidak menyingkirkan diagnosis gangguan neuromuskular, karena kondisi seperti SMA atau neuropati dapat memiliki CK normal. (2) Bila CK >3 kali batas atas normal, evaluasi lebih lanjut dan rujukan ke neurologi pediatrik harus segera dilakukan.
Pemeriksaan tambahan seperti elektromiografi (EMG), kecepatan hantaran saraf (KHS), serta analisis genetik dapat dilakukan sesuai ketersediaan fasilitas. Di RSCM, EMG merupakan modalitas diagnostik yang banyak digunakan, terutama untuk membedakan miopati dari neuropati dan menilai derajat kerusakan. (1) Analisis genetik dilakukan pada sebagian pasien, terutama untuk konfirmasi diagnosis DMD dan SMA.
Rujukan dan Intervensi Dini
Anak dengan keterlambatan motorik kasar yang tidak menunjukkan perbaikan setelah satu bulan intervensi dini harus segera dirujuk ke spesialis neurologi anak. Selain itu, rujukan segera juga diperlukan apabila ditemukan kehilangan milestone yang telah dicapai, adanya fasikulasi lidah, atau kadar CK >3 kali batas normal. (2)
Terapi rehabilitasi seperti fisioterapi atau terapi okupasi dapat dimulai sejak awal, bahkan sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Pendekatan multidisipliner sangat penting, dengan melibatkan tenaga medis, terapis, dan keluarga untuk memaksimalkan kemampuan fungsional anak.
Dokter anak memiliki peran sentral dalam mengenali dan menindaklanjuti keterlambatan motorik kasar. Selain melakukan observasi klinis secara cermat, dokter juga harus menggunakan alat skrining perkembangan yang valid dan mempertimbangkan pemeriksaan lanjutan seperti CK. Dengan keterbatasan akses terhadap EMG atau genetik di banyak daerah di Indonesia, pendekatan berbasis klinis dan laboratorium sederhana masih sangat relevan dan bermanfaat.
Kesimpulan
Evaluasi milestone motorik kasar merupakan langkah penting dan efektif dalam mendeteksi dini gangguan neuromuskular pada anak. Deteksi dan intervensi yang dilakukan secara tepat waktu terbukti meningkatkan prognosis dan kualitas hidup pasien. Dokter anak harus memiliki kewaspadaan tinggi terhadap keterlambatan perkembangan motorik kasar dan segera melakukan evaluasi serta rujukan bila diperlukan. Dengan pendekatan yang sistematis dan responsif, dokter anak dapat berkontribusi besar dalam mengurangi beban penyakit neuromuskular sejak usia dini.
Daftar Pustaka
