Cegah Penyakit Serius dengan Lakukan Skrining pada Newborn
Author: Marisha A
Editor: dr. Dini Astuti Mirasanti Sp.A
Topik: Skrining Bayi, Skrining Hipotiroid, Skrining defisiensi G6PD
Kelahiran bayi yang sehat dan tidak kurang suatu apapun pasti menjadi rasa syukur bagi setiap orang tua. Apalagi jika bayi tampak besar dan menggemaskan. MomDad tentu boleh berbahagia, namun ada hal yang tidak boleh sampai dilewatkan, yaitu skrining bayi baru lahir. Lantas, apa sih tujuan skrining dan mengapa sangat dianjurkan untuk dilakukan?
Skrining untuk deteksi dini
Mengutip laman Kemenkes RI, dr Budihardja, DTM&H, MPH, selaku Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak mengungkapkan bahwa skrining dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan sejak awal kelahiran, sehingga jika ditemukan kelainan dapat diantisipasi sedini mungkin. Skrining biasanya dilakukan setelah bayi dilahirkan sekitar 2-5 hari sebelum pulang ke rumah.
Ada beberapa jenis skrining yang biasa dilakukan, yaitu:
1. Skrining pendengaran bayi baru lahir
Di beberapa rumah sakit, skrining ini termasuk skrining rutin, karena beberapa hal:
- Gangguan pendengaran pada bayi dan anak sulit diketahui sejak awal
- Adanya periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara, yang dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 2 tahun
- Bayi yang mempunyai gangguan pendengaran bawaan atau didapat yang segera diintervensi sebelum usia 6 bulan, pada usia 3 tahun akan mempunyai kemampuan berbahasa normal dibandingkan bayi yang baru diintervensi setelah berusia 6 bulan.
Berikut ini kriteria bayi yang lebih berisiko mengalami gangguan pendengaran:
- Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran
- Kelainan bawaan bentuk telinga dan kelainan tulang tengkorak-muka
- Infeksi janin ketika dalam kandungan (infeksi toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes)
- Sindrom tertentu seperti sindrom Down
- Berat lahir kurang dari 1500 gram
- Bayi yang mengalami kesulitan adaptasi saat lahir
- Perawatan di NICU
- Penggunaan obat-obat tertentu yang bersifat toksik terhadap saraf pendengaran
Namun, 50% bayi dengan gangguan pendengaran ternyata tidak mempunyai faktor risiko di atas, MomDad! Karena itu, skrining pendengaran direkomendasikan untuk semua bayi baru lahir. Skrining pendengaran bayi baru lahir hanya menunjukkan ada/tidaknya respons terhadap rangsangan dengan intensitas tertentu, namun tidak mengukur beratnya gangguan pendengaran ataupun membedakan jenis tuli (tuli konduktif atau tuli saraf).
Jenis skrining ini ada dua, yaitu otoacoustic emissions (OAE) atau automated auditory brainstem response (AABR). OAE dilakukan pada bayi baru lahir berusia 0-28 hari. Jika bayi melewati pemeriksaan kedua telinga dengan baik dan tidak ada faktor risiko yang dijumpai, maka tidak perlu tindak lanjut. Namun jika bayi memiliki faktor risiko, maka walaupun hasil OAE-nya baik, maka perlu diulang di usia 3 bulan. Nah, kalau hasilnya tidak baik maka dokternya akan merujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut yang harus dilakukan bertahap sampai anak bisa bicara.
2. Skrining penglihatan untuk bayi prematur
Retinopathy of prematurity (ROP) sering terjadi pada bayi prematur dan merupakan salah satu penyebab kebutaan bayi dan anak di dunia, termasuk di Indonesia. Kejadian ROP ini semakin meningkat seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup bayi prematur. Untuk itu, perlu dilakukan skrining pada bayi prematur untuk mendeteksi dini ROP, sehingga dapat dilakukan terapi yang sesuai untuk mencegah terjadinya kebutaan.
Skrining ROP sangat direkomendasikan untuk dilakukan pada bayi prematur dengan berat lahir kurang dari 1500 gram atau usia gestasi kurang dari 34 minggu. Selain itu, dokter juga akan meminta pemeriksaan ini dilakukan pada bayi yang mendapat transfusi darah selama perawatan, pemberian oksigen selama dirawat, dan jika dijumpai penyakit penyerta lain, seperti infeksi berat, kelainan jantung bawaan, perdarahan otak, dan gangguan napas.
3. Skrining Hipotiroid
Skrining ini bertujuan untuk mendeteksi dini adanya hipotiroid kongenital/bawaan. Hipotiroid kongenital yang tidak diobati sejak dini dapat mengakibatkan retardasi mental berat. Angka kejadian hipotiroid kongenital (bawaan) bervariasi antar negara, umumnya sebesar 1 banding 3000–4000 kelahiran hidup.
Mengingat gejala hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir biasanya tidak jelas, dan hipotiroid kongenital dapat memengaruhi masa depan anak dengan menyebabkan retardasi mental berat, kecuali jika mendapat terapi secara dini. Karena itu, sangat diperlukan skrining hipotiroid secara rutin pada bayi baru lahir untuk menemukan kasus hipotiroid secara dini.
Program skrining hipotiroid ini memungkinkan bayi mendapatkan terapi secara dini dan diharapkan memiliki tumbuh kembang yang lebih optimal. Skrining ini dilakukan saat bayi berusia 48-72 jam dengan cara sedikit darah diteteskan di atas kertas saring khusus, setelah bercak darah mengering dilakukan pemeriksaan kadar hormon TSH.
4. Skrining defisiensi G6PD
Kondisi kekurangan/defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) menyebabkan sel darah merah mudah pecah/lisis saat terpapar stres oksidatif, misalnya saat sedang sakit, terpapar antibiotik/obat-obatan tertentu, zat kimia tertentu seperti naphthalene. Akibatnya, seorang bayi dapat mengalami icterus/jaundice/kuning. Kuningnya seorang bayi menandakan tingginya kadar bilirubin di darah. Pada bayi baru lahir, bilirubin dapat melewati sawar darah otak dan menyebabkan akumulasi di otak sehingga menyebabkan gangguan fungsi otak, kejang, bahkan kecacatan.
Skrining defisiensi G6PD dilakukan dengan melakukan pengambilan sampel darah bayi/anak yang dicurigai mengalami defisiensi G6PD. Namun, skrining ini belum rutin dilakukan pada bayi baru lahir.
5. Skrining penyakit jantung bawaan kritis
Skrining ini bertujuan untuk menyingkirkan adanya penyakit jantung bawaan kritis yang ditemukan pada 18 bayi dari 10.000 kelahiran. Hal ini bisa mengancam nyawa dan memerlukan tindakan segera. Skrining ini dilakukan dengan memasang pulse oximeter (untuk menilai saturasi oksigen bayi) di tungkai atas dan bawah bayi berusia 24 jam atau saat bayi dipulangkan. Jika hasil positif, maka bayi perlu dirujuk untuk evaluasi penyakit jantung bawaan kritis.
Skrining bayi baru lahir yang lain belum rutin dilakukan di Indonesia. Skrining dilakukan berdasarkan riwayat keluarga, gejala klinis yang timbul seperti skrining bayi baru lahir terhadap phenylketonuria (PKU) (insidens 1:10.000), Hiperplasia adrenal kongenital (insidens 1:10.000), dan penyakit metabolik lainnya seperti Maple Syrup Urine disease (insidens 1:200.000), methylmalonic acidemia (insidens 1:48.000).
Ingin tahu tips dan informasi lainnya seputar tumbuh kembang anak? Ayo, baca artikel di aplikasi PrimaKu atau kunjungi primaku.com. Selain itu, MomDad bisa juga menonton seluruh tayangan ulang webinar di aplikasi, lho. Tak ketinggalan, follow juga akun Instagram dan TikTok PrimaKu supaya enggak ketinggalan update informasi seputar kesehatan anak dan parenting lifestyle!
Bahan bacaan:
- Dahliana JK. Skrining bayi baru lahir yang perlu diketahui orangtua. https://www.idai.or.id/artikel/klinik/pengasuhan-anak/“skrining”-pada-bayi-baru-lahir-untuk-diketahui-oleh-orangtua
- Newborn screening: critical congenital heart defects. https://www.aap.org
- https://kidshealth.org/en/parents/newborn-screening-tests.html
Artikel ini telah ditinjau oleh Prof. dr. Madarina Julia, Sp.A(K), MPH., Ph.D.