Meta PixelAnak Siap Toilet Training? Perhatikan Kemampuan Kognitif & Verbalnya!<!-- --> | Articles | <!-- -->PrimaKu - Pelopor Aplikasi Tumbuh Kembang Anak di Indonesia

Anak Siap Toilet Training? Perhatikan Kemampuan Kognitif & Verbalnya!

Author: Tim PrimaKu / dr. Dini Mirasanti, Sp.A

4 Jul 2025

Topik: Toilet Training, Kognitif, Perkembangan oromotor, Tumbuh Kembang

Proses toilet training tidak hanya tentang duduk di atas potty dan buang air. Sama seperti mengendarai mobil manual yang butuh koordinasi tangan, kaki, dan pikiran, anak juga harus belajar mengoordinasikan berbagai kemampuan fisik dan kognitif. Ia perlu mengenali tubuh dan fungsinya, memahami sinyal tubuh saat ingin buang air, membayangkan tujuan (yaitu potty), membuat rencana, lalu menjalankannya sampai selesai. Semua ini membutuhkan ingatan, konsentrasi, kemampuan memahami instruksi, serta kemampuan mengungkapkan perasaan.


Kesadaran Tubuh (Body Awareness)

Langkah awal toilet training biasanya dimulai saat anak mulai bisa merasakan sensasi ingin buang air dan mengaitkannya dengan proses BAB atau BAK. Kemampuan ini biasanya muncul di usia 12–18 bulan. Di masa ini, penting untuk mulai memberi respons verbal saat anak buang air, misalnya dengan menyebutkan bahwa popoknya basah atau kotor, agar anak mulai mengenali pola dalam tubuhnya.

Anak juga mungkin mulai merasa tidak nyaman saat popoknya penuh, mencoba melepasnya, atau menolak saat dipakaikan kembali. Di usia dua tahun, banyak anak menunjukkan ketertarikan terhadap bagian tubuh, termasuk alat kelamin, dan mulai menanyakan fungsinya. Ketertarikan ini menunjukkan bahwa anak mulai siap memahami bagaimana tubuh bekerja, termasuk proses buang air. Menggunakan kata-kata sederhana untuk menyebut bagian tubuh dan aktivitasnya akan membantu anak memahami proses ini dan menjadi bagian dari pengalaman belajar. Membiarkan anak duduk di potty lalu secara tidak sengaja BAB, kemudian mendapat apresiasi, bisa menjadi pelajaran yang lebih efektif dibanding penjelasan panjang.


Merencanakan dan Bertindak

Setelah bisa mengenali sensasi tubuh, langkah selanjutnya adalah membayangkan potty saat merasa ingin buang air, lalu merencanakan bagaimana menuju ke sana dan mengingat rencana tersebut sampai selesai. Kemampuan ini membutuhkan keterampilan kognitif seperti berpikir simbolik, pemecahan masalah, dan memori, yang mulai berkembang sejak usia 1 tahun dan menjadi lebih kuat sekitar usia 2 tahun ke atas.

Misalnya, saat anak mulai menangis ketika orang tua meninggalkan ruangan di usia sekitar 12 bulan, itu menandakan bahwa ia sudah bisa membayangkan orang tuanya meski tidak terlihat. Ini juga menunjukkan bahwa otak anak mulai mampu membayangkan solusi, termasuk mencari potty ketika merasa ingin buang air.

Di usia 2 tahun, anak mungkin mulai membayangkan potty saat merasa ingin BAK atau BAB, dan tahu di mana menemukannya. Namun, ia masih perlu dukungan untuk bisa menghubungkan sinyal tubuh dengan keputusan untuk pergi ke toilet dan menyelesaikan prosesnya tanpa terdistraksi.


Kemampuan Berpikir yang Lebih Kompleks

Menjelang usia 2,5 hingga 3 tahun, kemampuan berpikir anak berkembang lebih kompleks. Memori semakin kuat, sehingga anak bisa mengingat tujuannya saat berjalan ke toilet dan bahkan mengingat pengalaman toilet sebelumnya. Imajinasi juga tumbuh pesat—anak bisa bermain pura-pura dengan boneka yang duduk di potty, misalnya. Namun, imajinasi ini juga bisa menimbulkan rasa takut baru seperti takut bunyi flush atau ketakutan dibuang ke dalam toilet.

Anak juga mulai bisa menghentikan aktivitas lain saat merasa ingin buang air, dan tetap fokus menuju potty meskipun ada hal menarik di sekitarnya. Di usia ini, kemampuan verbal sudah cukup matang untuk mengungkapkan rasa takut, bingung, atau meminta bantuan saat mengalami kesulitan.

Keberhasilan toilet training tidak hanya bergantung pada kesiapan fisik, tetapi juga kesiapan kognitif dan verbal. Inilah mengapa banyak ahli menyarankan memulai toilet training di usia 2,5 hingga 3 tahun, saat anak lebih mampu berpikir, berencana, dan berkomunikasi. Dengan memberikan stimulasi dan respons sejak dini, proses ini akan terasa lebih alami dan tidak menimbulkan stres, baik bagi anak maupun orang tua.


Referensi: