Meta PixelGigitan Ular pada Anak<!-- --> | Articles | <!-- -->PrimaKu - Pelopor Aplikasi Tumbuh Kembang Anak di Indonesia

Gigitan Ular pada Anak

Author: dr. Afiah Salsabila

21 Jun 2025

Topik: Gigitan Ular, Antivenom, Ular

Seorang anak laki-laki usia satu tahun dari daerah pedesaan di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dilarikan ke rumah sakit dengan kondisi palpebra bilateral bengkak dan melen. Ketika anamnesis, ibunya bercerita bahwa anaknya digigit ular 26 jam sebelum tiba di rumah sakit. Awalnya, ibunya mencoba menolong dengan menghisap luka dan mengoleskan ramuan herbal. Tak sampai sehari setelah hingga di rumah sakit, gejala anak memburuk secara signifikan: muncul pendarahan, pembengkakan wajah, dan gangguan koagulasi. Setelah dirujuk, anak tersebut menerima antivenom polyvalen (SABU) meski hanya dua vial akibat keterbatasan stok. Pasien pulih setelah empat hari rawat inap. (1)

Kasus ini tidak jarang terjadi di Indonesia. khususnya di wilayah pedesaan tropis seperti Indonesia. Diperkirakan terdapat 5 juta kasus gigitan ular per tahun di dunia, dengan 100.000 hingga 200.000 kematian. Anak-anak memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi serius karena rasio volume racun terhadap berat badan lebih besar. (1,2) Kondisi ini dapat lebih diperparah jika gigitan di wajah atau kepala memperbesar risiko envenomasi sistemik dini. (1)

Mengingat anak-anak sering menjadi korban dan kondisi dapat memburuk dengan cepat, penting bagi dokter anak, terutama yang bekerja di fasilitas kesehatan primer, untuk mampu mengenali, mendiagnosis, dan menatalaksana kasus gigitan ular secara tepat dan cepat.


Diagnosis dan Klasifikasi Gigitan Ular

Diagnosis gigitan ular pada anak bergantung pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, informasi mengenai jenis ular perlu ditanyakan karena berhubungan dengan tatalaksana. (3) Walaupun demikian, anak seringkali tidak bisa memberikan informasi lengkap, sehingga identifikasi jenis ular sangat sulit. Oleh karena itu, pendekatan sindromik berdasarkan gejala klinis dan data laboratorium sering digunakan untuk menentukan kemungkinan jenis ular dan keputusan pemberian antivenom. (4)

Membedakan gigitan ular berbisa dan tidak berbisa penting untuk menentukan urgensi penatalaksanaan. Gigitan ular berbisa umumnya menunjukkan gejala lokal berupa nyeri intens, edema progresif, dan perubahan warna kulit di sekitar luka gigitan, serta gejala sistemik seperti mual, muntah, perdarahan spontan, gangguan pernapasan, hingga penurunan kesadaran. Sebaliknya, gigitan ular tidak berbisa biasanya hanya menimbulkan reaksi lokal ringan seperti nyeri atau bengkak minimal tanpa disertai tanda-tanda sistemik. Identifikasi spesies ular, baik melalui ciri morfologi (jika ular tertangkap atau difoto), maupun pendekatan sindrom klinis berbasis gejala, menjadi metode penting dalam menentukan sifat gigitan dan perlunya pemberian antivenom. Bentuk ular-ular yang sering menjadi penyebab envenomasi akibat gigitan ular dapat dilihat pada Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3.


Naja.png

Gambar 1. Kobra Jawa (Naja sputarix). Ular ini berukuran sedang, bisa mencapai 1,5 meter. Ular ini memiliki kepala buat, warna hitam mengkilap di bagian dorsal dan ventral, dengan aksen warna terang di bagian leher. Biasanya dapat ditemukan di area terbuka seperti ladang dan persawahan. (3)



bungarus.png

Gambar 2. Welang (Bungarus fasciatus). Bentuk penampang melintang ular ini segitiga. Kepalanya dapat dibedakan dari leher. Kulit ular ini memiliki ornamentasi garis-garis tebal hitam dan putih, terkadang hitam dan kuning. Biasanya dapat ditemukan di area berhutan dengan air, rawa-rawa, sungai, dan persawahan.  (3)



rhodostoma.png

Gambar 3. Ular Tanah (Calloselesmas rhodostoma). Bentuknya tebal, bisa mencapai 70-80 meter, dengan kepala segitiga. Punggungnya berwarna coklat dengan pola segitiga Venom ular merupakan campuran kompleks protein aktif yang dapat menimbulkan efek lokal maupun sistemik pada tubuh manusia. Secara lokal, envenomasi menyebabkan nyeri hebat, pembengkakan, nekrosis jaringan, hingga gangguan pembekuan darah setempat. 


Secara sistemik, bisa ular dapat menimbulkan berbagai sindrom toksik seperti neurotoksisitas yang menyebabkan kelumpuhan otot pernapasan, hematotoksisitas yang menimbulkan koagulopati dan perdarahan spontan, serta miotoksisitas yang dapat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Beberapa spesies ular seperti Bungarus spp. dan Naja spp. dikenal memiliki bisa neurotoksik kuat, sedangkan Daboia siamensis dan Calloselasma rhodostoma lebih bersifat hematotoksik dan nefrotoksik. Perbedaan pada patofifiologi venom dari berbagai jenis ular dapat membantu dalam diagnosis dan tatalaksana.  (3)


Algoritma Tatalaksana

Tatalaksana gigitan ular pada anak terdiri atas tiga fase utama:

  1. Pertolongan pertama di masyarakat: Imobilisasi ekstremitas, hindari insisi, penyedotan, atau pemberian zat tradisional. (4)
  2. Penilaian awal di fasilitas kesehatan: Lakukan pendekatan ABCDE, dokumentasi waktu kejadian, serta evaluasi fungsi vital, gejala sistemik (ptosis, perdarahan, kelumpuhan), dan tanda-tanda infeksi atau nekrosis lokal. (4)
  3. Pemberian antivenom: Jika tersedia, SABU diberikan secara intravena pada pasien dengan gejala sistemik atau edema yang meluas. Dosis awal umumnya 2 vial, dapat diulang sesuai derajat keparahan. Reaksi alergi harus diantisipasi. (1,4)



Antivenom SABU diproduksi oleh Biofarma dan ditujukan untuk Naja sputatrix, Bungarus fasciatus, dan Calloselasma rhodostoma. Namun, efektivitas terhadap spesies lain belum sepenuhnya dikaji, sehingga keberhasilan klinis pada spesies non-target kemungkinan terjadi melalui reaktivitas silang. (1)

berseling di kanan dan kiri tubuh . Ular ini dapat menyamar dengan warna daun kering dan menetap di satu tempat dengan durasi yang lama.


Tantangan di Indonesia dan Strategi Penanganannya

Beberapa tantangan utama di Indonesia antara lain:

  • Akses terhadap antivenom: Stok terbatas, mahal, dan sulit dijangkau terutama di daerah terpencil.
  • Kurangnya fasilitas laboratorium dan transportasi: Pemeriksaan darah koagulasi sulit dilakukan secara cepat, dan rujukan ke rumah sakit tingkat lanjut bisa memakan waktu lebih dari 12 jam. (1)
  • Penggunaan pengobatan tradisional: Praktik seperti insisi, penghisapan, atau aplikasi ramuan dapat memperburuk kondisi luka dan menunda penanganan yang tepat. (4)
  • Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan kebijakan nasional yang menjamin distribusi antivenom secara merata, pelatihan dokter anak dalam manajemen gigitan ular, serta edukasi masyarakat untuk segera membawa pasien ke fasilitas medis terdekat.


Kesimpulan dan Penutup

Gigitan ular adalah kondisi yang dapat membahayakan jiwa anak dan kerap terjadi di daerah tertentu di Indonesia. Dokter anak di fasilitas pelayanan kesehatan primer harus memiliki pengetahuan dan kesiapan dalam menangani kasus ini. Dengan deteksi dini, penanganan yang cepat dan tepat, serta koordinasi rujukan yang baik, morbiditas dan mortalitas akibat gigitan ular pada anak dapat diminimalkan.

Jika Dokter menghadapi pasien dengan gigitan ular, apa langkah pertama yang akan Dokter ambil? Apakah Dokter pernah menangani kasus gigitan ular secara langsung? Kami sangat menghargai jika Dokter bersedia membagikan pengalaman atau tanggapan mengenai topik ini atau saran mengenai topik artikel berikutnya di kolom komentar.


Daftar Pustaka

  1. Liwang F, Nuraeni F, Karyanti MR. Snake bite management in a toddler: a case report in Sumbawa Besar. Paediatr Indones. 2021;61(4):171-4. doi:10.14238/pi61.4.2021.171-4.
  2. Le Geyt J, Pach S, Gutiérrez JM, et al. Paediatric snakebite envenoming: recognition and management of cases. Arch Dis Child. 2021;106(1):14-19. doi:10.1136/archdischild-2020-319428.
  3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penanganan Gigitan, Sengatan Hewan Berbisa, dan Keracunan Tumbuhan serta Jamur. Jakarta: Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI; 2023.
  4. National Center for Biotechnology Information. Snakebite Envenoming. StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557443/