Necrotizing Enterocolitis (NEC): Tinjauan Mendalam tentang Patogenesis, Faktor Risiko, dan Pengelolaan
Oleh: dr. Afiah Salsabila
Topik: Neonatus, NEC
Necrotizing Enterocolitis (NEC) merupakan kondisi serius yang dapat menyerang bayi baru lahir. Meskipun tergolong jarang terjadi (0.3 hingga 2.4 bayi per 1000 kelahiran hidup), NEC memberikan menyumbang sebanyak 8% dari seluruh pasien yang dirawat di Neonatal intensive care unit(NICU). Karena kontribusinya yang signifikan pada perawatan bayi di NICU, maka pengelolaannya pada neonatus memerlukan perhatian yang serius.
Meskipun mekanisme pasti terjadinya NEC masih belum sepenuhnya diketahui, patogenesisnya melibatkan peradangan pada usus yang membuat organ tersebut lebih rentan terhadap serangan bakteri. Peradangan ini kemungkinan besar terjadi akibat barrier usus yang belum terbentuk dengan sempurna. Imaturitas dari lapisan usus membuat usus lebih rentan terhadap serangan bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan. Kerusakan yang terjadi dapat berujung pada nekrosis jaringan usus. Serangan bakteri juga dapat menghasilkan gas hidrogen, menyebabkan pneumatosis intestinalis dan gas vena porta, yang pada akhirnya dapat menyebabkan perforasi usus dan komplikasi serius lainnya.
NEC erat kaitannya dengan faktor-faktor risiko tertentu, termasuk prematuritas, berat badan rendah, dan pemberian susu formula. Hampir 70% dari semua kasus NEC terjadi pada bayi prematur yang lahir sebelum usia gestasi 36 minggu. Faktor genetik dan kondisi yang berkaitan dengan hipoksia, seperti gangguan jantung, juga dapat meningkatkan risiko NEC. Perubahan pada flora bakteri usus juga memainkan peran penting dalam perkembangan penyakit ini.
Proses diagnosis NEC melibatkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti radiografi abdomen. Tanda-tanda awalnya mungkin tidak jelas dan non-spesifik, tetapi keluhan seperti lemas, penurunan aktivitas, penurunan napsu makan, muntah, diare, dan perut yang semakin buncit dapat menjadi petunjuk awal. Pemeriksaan fisik melibatkan penilaian distensi abdomen, nyeri tekan, dan tanda-tanda lainnya. Pencitraan seperti foto polos abdomen menjadi kunci dalam diagnosis NEC. pemeriksaan laboratorium, termasuk kultur darah, feses, atau cairan peritoneum, dapat memberikan informasi tambahan untuk memahami kondisi pasien.
Pada tahap awal tatalaksana, pasien perlu dilakukan survei primer untuk memastikan fungsi jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi darah stabil. Setelah itu, pasien diberikan resusitasi cairan, tindakan dekompresi usus dengan selang nasogastrik, dan pemberian antibiotik spektrum luas. Jika kondisi memburuk, intervensi pembedahan, seperti laparotomi, mungkin diperlukan. Pada laparotomi, pasien dilakukan reseksi pada bagian usus yang jelas tampak nekrotik, dengan perhatian khusus pada mempertahankan ileocecal valve. Setelah reseksi, pasien dipasang stoma dengan tujuan menampung kotoran untuk sementara. Jika kondisi membaik, stoma bisa dilepas dan anastomosis pada usus bisa dilakukan pada pasien.
Prognosis NEC bervariasi tergantung pada tingkat keparahan. Mortalitas dapat mencapai 50%, dan pasien yang memerlukan pembedahan memiliki risiko kematian yang lebih tinggi. Komplikasi jangka panjang melibatkan striktur usus, sindrom usus pendek, serta masalah neurologis dan perilaku. Pencegahan NEC melibatkan praktik pemberian ASI eksklusif dan menghindari pemberian susu formula pada bayi prematur. Beberapa penelitian juga merekomendasikan pemberian probiotik, meskipun protokol ini masih dalam pengembangan.
NEC adalah penyakit yang mengancam nyawa, khususnya jika tidak ditangani dengan baik. Pengetahuan yang baik mengenai patogenesis, faktor risiko, diagnosis, pengelolaan, dan pencegahannya penting untuk bisa membuat protokol yang baik untuk meningkatkan keluaran pada pasien. Semoga artikel ini bermanfaat dan dapat membantu dalam menangani pasien dengan NEC.
Referensi:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513357/
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28096129/
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25799959/