
Sekolah tatap muka mulai, sudah siapkah kita?
28 Jul 2021
Author: dr. Afiah Salsabila
25 Jun 2025
Topik: Sindrom Nefrotik, Tatalaksana, Guideline, IDAI
Latar Belakang
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu glomerulopati paling sering dijumpai pada populasi anak, dengan insidens global 2–7 kasus per 100.000 anak per tahun, dan prevalensi 12–16 per 100.000 anak.(1) Di Indonesia, angka insidens mencapai 6 per 100.000 anak usia <14 tahun.(1) SN ditandai oleh proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan sering disertai hiperkolesterolemia.(1)
SN dapat bersifat primer (idiopatik), yang mencakup sekitar 90% kasus pada anak, atau sekunder akibat penyakit sistemik seperti lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch-Schönlein, atau infeksi kronik.(1) Karena perbedaan etiologi menentukan pendekatan diagnosis dan terapi, maka sangat penting bagi dokter anak untuk melakukan evaluasi menyeluruh sejak awal diagnosis agar pasien dapat menerima tatalaksana yang optimal dan individual.
Etiologi Sindrom Nefrotik
Secara etiologis, SN pada anak dibagi menjadi tiga kelompok utama: 1) SN kongenital yang muncul pada usia <3 bulan; 2) SN primer atau idiopatik, yang umumnya tidak terkait penyakit sistemik dan mencakup sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), dan tipe lainnya; serta 3) SN sekunder akibat gangguan sistemik atau infeksi tertentu.(1)
Pada SN idiopatik, 80–90% kasus memiliki gambaran patologi SNKM dan menunjukkan respons baik terhadap terapi steroid.(1) Sebaliknya, GSFS yang mencakup 7–8% kasus, lebih sering bersifat resisten terhadap steroid dan berisiko progresi ke gagal ginjal kronik.(1)
Kriteria Diagnosis
Menurut Konsensus IDAI, diagnosis SN ditegakkan bila ditemukan: 1) proteinuria masif (>40 mg/m² LPB/jam atau rasio protein/kreatinin urin sewaktu >2 mg/mg), 2) hipoalbuminemia <2,5 g/dL, 3) edema, dan 4) hiperkolesterolemia >200 mg/dL. (1)
Sementara KDIGO 2025 mendefinisikan SN sebagai proteinuria masif (uPCR ≥200 mg/mmol) disertai hipoalbuminemia <30 g/L (3 g/dL) atau edema klinis.(2) KDIGO juga menyertakan definisi remisi parsial dan berbagai klasifikasi relapse, serta lebih menekankan uji protein/kreatinin pada urin spot pagi hari dibandingkan uji 24 jam.(2) Dengan demikian, perbedaan utama antara IDAI dan KDIGO terletak pada ambang batas laboratorium untuk definisi SN.
Workup Diagnostik
Evaluasi awal menurut IDAI mencakup: urinalisis lengkap, pengukuran protein/kreatinin urin pagi hari, darah lengkap, albumin, ureum, kreatinin, kolesterol, LED, serta pemeriksaan imunologi (ANA, ds-DNA, C3/C4) bila dicurigai SN sekunder seperti lupus.(1) Pemeriksaan Mantoux juga dianjurkan sebelum memulai steroid, mengingat risiko tuberkulosis laten.(1) KDIGO menambahkan pentingnya evaluasi sindromik dan riwayat keluarga untuk mempertimbangkan indikasi biopsi ginjal atau uji genetik pada kasus refrakter.(2)
Tatalaksana Umum dan Spesifik
Terapi inisial pada SN idiopatik sensitif steroid menurut IDAI dimulai dengan prednison 2 mg/kgBB/hari (maksimal 60 mg/hari) selama 4 minggu, diikuti dengan 1,5 mg/kgBB/hari secara intermittent selama 4 minggu.(1) KDIGO juga merekomendasikan rejimen yang mirip, dengan alternatif durasi 6 minggu harian diikuti 6 minggu intermittent (total 12 minggu), berdasarkan bukti efikasi yang lebih baik pada populasi tertentu.(2)
Untuk relapse, IDAI menggunakan pendekatan serupa dan membedakan relaps sering (≥2 dalam 6 bulan atau ≥4 dalam 12 bulan), dependen steroid (relaps saat tapering atau <14 hari setelah penghentian steroid), dan resisten steroid (tidak remisi dalam 4 minggu pemberian prednison dosis penuh).(1) KDIGO 2025 mengadopsi klasifikasi ini, namun menambahkan konsep late responder, serta respons terhadap terapi inhibitor calcineurin sebagai indikator stratifikasi lanjutan.(2)
Pada pasien SN relaps sering atau dependen steroid, IDAI merekomendasikan terapi imunosupresif tambahan seperti siklofosfamid, siklosporin A, levamisol, atau mikofenolat mofetil berdasarkan profil efek samping dan respons pasien.(1) KDIGO mendukung pendekatan ini dan menyediakan algoritma berbasis bukti untuk terapi glukokortikoid-sparing, termasuk penggunaan rituximab pada kasus refrakter.(2)
Pitfalls dalam Tatalaksana
Beberapa jebakan umum dalam penanganan SN anak meliputi pemberian diuretik tanpa memperhitungkan status volume intravaskular, penggunaan diet tinggi protein secara tidak selektif, serta keterlambatan rujukan pada kasus resisten steroid. Selain itu, imunisasi seringkali ditunda tanpa indikasi jelas, padahal pasien SN tetap dapat menerima vaksin inaktif selama pengobatan.(1) Penatalaksanaan yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko komplikasi jangka panjang termasuk infeksi berat, trombosis, dan gangguan pertumbuhan.
Kesimpulan
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal kronik anak yang membutuhkan perhatian klinis holistik dan komprehensif. Dengan mengenali etiologi, menerapkan kriteria diagnosis secara akurat, serta mengikuti algoritma tatalaksana yang disarankan IDAI dan KDIGO, dokter anak dapat mengoptimalkan outcome pasien. Kolaborasi dengan ahli nefrologi anak juga penting terutama pada kasus dengan komplikasi, relaps berat, atau respons buruk terhadap pengobatan lini pertama. Kesamaan prinsip dasar dalam kedua panduan memberikan landasan kuat untuk praktik klinis berbasis bukti di Indonesia.
Daftar Pustaka