Inilah Langkah-Langkah Diagnosis TB yang Tepat
Author: dr. Afiah Salsabila
Topik: Diagnosis, Tuberkulosis
The World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa terdapat lebih dari 1 juta anak di bawah 15 tahun yang menderita tuberkulosis (TB); lebih dari setengah tidak didiagnosis atau dilaporkan, sehingga berisiko untuk tidak mendapatkan tatalaksana yang mumpuni untuk bisa kembali sehat. Di Indonesia, 9,7% dari seluruh penderita TB berumur 0-14 tahun, namun ada kemungkinan bahwa proporsi ini lebih rendah dari yang sebenarnya akibat diagnosis dan pelaporan yang tidak adekuat. Untuk mengoptimalisasi proses pencarian kasus dan diagnosis pasien TB pada anak, Menteri Kesehatan Republik Indonesia mengikutsertakan panduan mengenai hal tersebut pada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis 2019 (PNPK Tatalaksana TB 2019).
Kasus TB pada anak bisa ditemukan dengan dua pendekatan berikut: (1) anak dengan gejala dan tanda khas TB atau (2) anak yang terapapar kontak erat dengan pasien TB menular. Anak dengan salah satu/kedua kondisi tersebut harus dilakukan ditelaah lebih lanjut untuk diagnosis TB. Hal yang pertama kali harus dilakukan adalah anamnesis. Dokter perlu menanyakan apakah di rumah atau dekat rumah pasien ada anggota keluarga yang memiliki gejala TB, terkonfirmasi secara bakteriologis, dan/atau dalam masa pengobatan TB, serta apakah ada kontak serupa dengan orang lain di luar rumah namun sering ditemui secara rutin. Adapun gejala-gejala yang perlu diwaspadai adalah batuk lama persisten selama 2 minggu lebih, demam 2 minggu lebih atau berulang tanpa sebab jelas, penurunan nafsu makan, lesu, keringat malam, dan penurunan berat badan atau berat badan tidak naik dalam 2 bulan terakhir walaupun sudah diberikan perbaikan gizi dalam 1-2 bulan. Selain gejala-gejala di atas, perhatikan juga gejala yang ada pada bagian tubuh lain untuk menapis kemungkinan adanya TB ekstra-paru. Setelah anamnesis, lanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital, pemeriksaan kelenjar getah bening, pemeriksaan toraks dan sistemik, serta analisis tumbuh-kembang untuk melihat apakah ada gagal tumbuh atau penurunan berat badan drastis.
Data yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisik perlu ditunjang dengan pemeriksaan bakteriologis untuk bisa mendiagnosis TB pada anak. Hal ini perlu dilakukan di fasilitas kesehatan yang terbatas sekalipun. Pada dewasa, pemeriksaan bakteriologis pilihan adalah Tes Cepat Molekuler (TCM) TB, namun karena data dan rekomendasi penggunaan TCM pada diagnosis TB anak masih terbatas, diagnosis bakteriologis yang disarankan untuk keperluan tersebut masih pemeriksaan mikroskopis Bakteri Tahan Asam (BTA).
Ada tiga cara untuk memperoleh sampel bakteriologis dari anak: (1) ekspektorasi, (2) aspirasi/bilas lambung, dan (3) induksi sputum. Ekspektorasi dianjurkan untuk anak di atas 5 tahun karena hasil positif lebih tinggi pada anak umur tersebut. Bagi anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak, bisa dilakukan aspirasi/bilas lambung dengan sonde lambung. Spesimen untuk aspirasi/bilas lambung dianjurkan untuk dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari. Hasil positif yang diperoleh dari pemeriksaan mikroskopis TB menandakan adanya infeksi TB, namun perlu diperhatikan bahwa hasil negatif belum tentu menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi TB.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan pada anak jika pemeriksaan bakteriologis tidak konklusif adalah uji tuberkulin, interferon gamma release assay (IGRA), pemeriksaan foto toraks, dan pemeriksaan histopatologi. Uji tuberkulin dan IGRA adalah uji imunologis yang memeriksa apakah pasien terinfeksi oleh TB atau tidak. Jika anak positif uji imunologis namun tidak bergejala, anak dikatakan terinfeksi TB, belum sakit TB; anak baru dikatakan sakit TB jika sudah memiliki gejala. Uji tuberkulin dilakukan dengan menyuntikkan tuberkulin, yaitu derivat protein bakteri Mycobacterium tuberculosis, secara intrakutan. Setelah 48-72 jam, tempat penyuntikkan dilihat jika ada indurasi atau tidak. Pada anak imunokompeten (termasuk yang sudah pernah imunisasi BCG) hasil positif ditandai dengan indurasi sebesar > 10 mm, sedangkan pada anak imunokompromais infeksi TB sudah bisa ditegakkan jika indurasi sebesar > 5 mm. Pemeriksaan IGRA adalah tes darah yang dapat membedakan reaksi yang disebabkan oleh infeksi TB dengan BCG dan infeksi TB dengan mycobacterium atipik. Fungsinya sama dengan tes tuberkulin namun lebih mahal dan tidak tersedia secara luas.
Foto toraks perlu dilakukan untuk melihat tingkat keparahan ekstensi penyakit di paru serta jika pasien memiliki TB milier atau tidak. Gambaran radiologis yang mendukung adanya penyakit TB adalah tanda-tanda berikut: pemeriksaan kelenjar hilus/paratrakeal, konsolidasi lobar/segmental, efusi pleura, atelektasis, kavitas, kalsifikasi, tuberkuloma.
Di fasilitas kesehatan primer, diagnosis TB bisa dilakukan dengan sistem skoring. Anak dengan skor total >6 bisa didiagnosis TB klinis dan dianjurkan untuk segera diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Jika skor 6 dengan gejala, anak bisa didiagnosis dengan TB klinis dan perlu diobati dengan OAT. Jika skor TB 6, tuberkulin positif namun tanpa gejala, anak baru bisa didiagnosis dengan TB laten. Terakhir, jika skor 6 , uji tuberkulin negatif dan tidak ada kontak erat, observasi selama 2-4 minggu. Jika gejala menetap, evaluasi kembali dan rujuk ke fasilitas kesehatan lebih tinggi jika diagnosis belum konklusif. Sistem skoring bisa dilihat di Tabel 1.
Diagnosis TB pada anak tidak semudah pada dewasa, namun dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang relevan, teknik khusus untuk mendapatkan sampel yang bisa dipakai untuk BTA, dan skoring TB, diagnosis TB pada anak bisa lebih terarah. Diharapkan jika metode-metode ini diimplementasikan secara luas, penemuan kasus TB bisa meningkat dan kasus-kasus yang terlewat bisa dikurangi.
Tabel 1. Skoring TB pada Anak
Referensi:
https://www.who.int/activities/ending-tb-in-children-and-adolescents