Meta PixelPrimaKu - Pelopor Aplikasi Tumbuh Kembang Anak di Indonesia
primaku
Mitra resmi kami:
kemenkesidaibkkbn
Unduh PrimaKu di:
playstoreappstore

Diagnosis dan Klasifikasi Kusta

Oleh: dr. Afiah Salsabila

Topik: Kusta, WHO, Diagnosis, Leprosy

Pendahuluan

Kusta, atau Morbus Hansen, merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat, terutama di negara-negara yang masih gagal mengeliminasinya, seperti Indonesia. Untuk bisa memberhentikan transmisi penyakit kusta, perlu dilakukan diagnosis dini bagi para penderitanya, khususnya pada pasien-pasien anak. Diagnosis yang tepat tidak hanya membantu pengobatan individu saja, tetapi juga berkontribusi secara signifikan pada upaya eliminasi kusta secara keseluruhan. Dengan dilakukannya diagnosis dini, terapi kusta dapat diinisiasi sebelum penyakit berkembang lebih lanjut dan menyebar  kepada orang lain. Jika diagnosis dini kusta dapat diimplementasikan secara luas di Indonesia,  pengobatan yang cepat dan efektif dapat dilakukan, mendukung pencapaian eliminasi kusta di Indonesia [1]. Berikut adalah ringkasan singkat mengenai klasifikasi dan metode diagnosis kusta di Indonesia. 


Diagnosis Klinis dan Lesi Kusta

Diagnosis kusta memerlukan pemeriksaan fisik cermat terhadap lesi kulit dan saraf perifer. Lesi kulit pada kusta sering kali berbentuk hipopigmentasi atau eritema dengan batas yang tidak tegas. Pada beberapa kasus, lesi dapat berupa plak yang menebal atau nodul. Lesi ini biasanya disertai dengan hipoestesi, atau bahkan anestesi, di mana pasien mengalami penurunan atau hilangnya sensasi terhadap sentuhan, panas, atau nyeri. Evaluasi sensasi ini merupakan komponen kunci dalam diagnosis.

Saraf perifer yang terkena kusta biasanya membesar dan dapat terasa nyeri saat disentuh. Saraf yang sering terlibat meliputi nervus ulnaris, nervus medianus, nervus peroneus, dan nervus auricularis magnus. Manifestasi kerusakan saraf ini dapat berupa kelemahan otot, seperti drop foot atau claw hand, serta gangguan fungsi otonom seperti kulit yang kering akibat penurunan produksi keringat di area yang terkena.

Terkadang, pasien kusta juga dapat mengalami awitan akut yang disebut sebagai “reaksi kusta”.Reaksi kusta dibagi menjadi dua: reaksi kusta tipe 1 dan reaksi kusta tipe 2.  Pada kasus reaksi kusta tipe I, atau reaksi reversal, lesi kulit bertambah banyak dan lesi yang sudah ada bertambah aktif, biasanya ditandai dengan perubahan penampilan lesi yang menjadi lebih merah, bengkak, dan luas. Reaksi kusta tipe I Reaksi ini sering disertai dengan nyeri dan pembengkakan saraf. Reaksi tipe II, atau erythema nodosum leprosum (ENL), biasanya muncul pada pasien MB dengan gejala berupa nodul eritematosa yang nyeri, demam, dan malaise umum. Reaksi ini merupakan respons imun kompleks yang memerlukan pengobatan segera untuk mencegah komplikasi lebih lanjut [1,2].


Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Kusta

Pemeriksaan penunjang sangat penting dalam mendukung diagnosis klinis kusta, terutama untuk memastikan klasifikasi penyakit dan menentukan strategi pengobatan yang tepat. Beberapa metode pemeriksaan penunjang yang umum digunakan adalah:


  1. Pemeriksaan Bakteriologis 

Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) menggunakan kerokan kulit atau biopsi adalah metode utama untuk mendeteksi keberadaan Mycobacterium leprae. Pewarnaan Ziehl-Neelsen digunakan untuk mengidentifikasi bakteri ini. Hasil pemeriksaan BTA positif menandakan klasifikasi multibasiler (MB), sedangkan hasil negatif biasanya ditemukan pada pasien pausibasiler (PB). Kerokan kulit diambil dari lesi yang diduga memiliki kepadatan jumlah M leprae yang tinggi. Biasanya, spesimen diambil dari minimal 4 tempat yang terlihat paling eritem dan infiltratif menggunakan skalpel steril

2. Indeks Bakterial (IB) dan Indeks Morfologi (IM)

IB menunjukkan beban bakteri dalam tubuh pasien dengan menggunakan skala 0-6+. Semakin tinggi nilai BI, semakin banyak jumlah bakteri yang ditemukan. Sementara itu, IM mengindikasikan viabilitas bakteri dengan menghitung persentase basil yang masih hidup dan utuh. Pemeriksaan BI dan MI sangat penting untuk memantau efektivitas pengobatan.

3. Biopsi Kulit 

Biopsi kulit dilakukan untuk evaluasi histopatologi. Hasil pemeriksaan dapat menunjukkan infiltrasi sel inflamasi seperti makrofag, limfosit, dan bacilli M. leprae di jaringan kulit. Teknik ini membantu membedakan kusta dari penyakit kulit lainnya seperti tinea atau dermatitis.

4. Uji Lepromin 

Uji lepromin dilakukan untuk menilai respons imun pasien terhadap M. leprae. Meskipun tidak digunakan untuk diagnosis, uji ini membantu dalam menentukan prognosis penyakit. Pasien dengan hasil lepromin positif cenderung memiliki tipe tuberkuloid, sedangkan hasil negatif umumnya ditemukan pada tipe lepromatosa.

5. Pemeriksaan Saraf Perifer Evaluasi saraf perifer menggunakan pemeriksaan elektrofisiologi, biopsi saraf, atau fine needle aspiration cytology dapat membantu mendeteksi pembesaran, inflamasi, atau kerusakan saraf. Teknik ini penting pada pasien dengan gejala sensorik atau motorik yang dicurigai memiliki keterlibatan saraf perifer.


Klasifikasi Kusta

The World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan kusta  menjadi dua tipe: Pausibasiler (PB) dan Multibasiler (MB). Klasifikasi tersebut dibuat berdasarkan jumlah lesi kulit, hasil pemeriksaan bakteriologis, dan respons imunologis. Klasifikasi ini penting untuk menentukan jenis pengobatan dan durasi yang sesuai. Perbedaan antara Kusta PB dan kusta MP dapat dilihat pada Tabel 1. 


Tabel 1. Klasifikasi Kusta WHO

tabel 1 kusta.png


Kusta PB, yang ditandai oleh adanya lima atau kurang lesi kulit dan hasil basil tahan asam (BTA) negatif, dinilai lebih ringan dari kusta MB. Pasien yang memiliki kusta MB cenderung memiliki respons imun yang lebih lemah terhadap M. leprae, sehingga bakteri dapat berkembang biak dengan cepat di tubuh pasien [1].


Kesimpulan

Kusta tetap menjadi tantangan kesehatan masyarakat di Indonesia, tetapi dengan diagnosis dini dan pengobatan yang tepat, eliminasi penyakit ini dapat dicapai. Pemahaman yang baik tentang klasifikasi kusta, lesi kulit, dan reaksi kusta sangat penting bagi dokter anak dan tenaga kesehatan lainnya, karena memungkinkan mereka untuk memberikan perawatan yang optimal kepada pasien. Dengan komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk dokter, pemerintah, dan masyarakat, kita dapat menghentikan transmisi kusta dan meningkatkan kualitas hidup pasien.


Referensi

  1. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Kusta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020.
  2. Prakoeswa CRS, Lubis RS, Anum Q, et al. Epidemiology of Leprosy in Indonesia: a Retrospective Study. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2022;34(1):29-35.

familyfamily
Baca artikel tumbuh kembang anak di PrimaKu!
Unduh sekarang
playstoreappstore
primaku
Aplikasi tumbuh kembang anak Indonesia. Didukung penuh oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Mitra resmi kami:
kemenkesidaibkkbn
Unduh PrimaKu
playstoreappstore
© 2023 All rights reserved PRIMAKU, Indonesia
Cari kami di: