Meta PixelDiagnosis dan Tata Laksana Keracunan Makanan akibat Bacillus Cereus, Salah Satu Biang Kerok Keracunan MBG<!-- --> | Articles | <!-- -->PrimaKu - Pelopor Aplikasi Tumbuh Kembang Anak di Indonesia

Diagnosis dan Tata Laksana Keracunan Makanan akibat Bacillus Cereus, Salah Satu Biang Kerok Keracunan MBG

Author: dr. Afiah Salsabila

7 Okt 2025

Topik: Keracunan Makanan, Makan Bergizi Gratis, Bacillus cereus

Latar Belakang

Beberapa hari silam, diberitakan bahwa telah terjadi ribuan kasus keracunan makanan di Jawa Barat dari Program Makan Bergizi (MBG). Salah satu patogen yang teridentifikasi sebagai penyebab keracunan makanan pada kasus MBG adalah Bacillus cereus (B. cereus) . Bakteri ini merupakan mikroorganisme gram-positif, aerob atau fakultatif anaerob, berbentuk batang, dan mampu membentuk spora yang resisten terhadap panas. Ketahanan sporanya menjadikan B. cereus mudah bertahan dalam makanan yang disimpan dengan suhu tidak memadai. Untuk bisa mengantisipasi potensi terjadinya kembali KLB akibat bakteri ini, pengetahuan mengenai cara diagnosis dan tata laksana infeksi akibat bakteri ini perlu dipelajari. Berikut adalah beberapa hal penting yang perlu diketahui mengenai B. cereus. [1,2]


Etiologi

B. cereus tersebar luas di lingkungan, termasuk tanah, debu, air, serta bahan pangan mentah. Kontaminasi umumnya terjadi pada makanan bertepung (nasi, pasta), daging, susu, sayuran, hingga produk olahan siap saji. Bakteri ini menghasilkan dua tipe toksin yang menjadi dasar sindrom klinis: enterotoksin penyebab diare, dan emetik toksin yang menimbulkan muntah. Infeksi biasanya berkaitan dengan pengolahan makanan yang tidak higienis, pendinginan yang lambat, atau penyimpanan makanan pada suhu ruang yang memungkinkan pertumbuhan spora menjadi sel vegetatif. [2]


Faktor Risiko

Anak-anak cenderung rentan terkena infeksi B. cereus karena masih memiliki sistem imun yang belum terlalu matang, serta masih memiliki keterbatasan kapasitas fisiologis dalam menangani toksin makanan. Faktor risiko infeksi B.cereus meliputi konsumsi makanan dari dapur umum berkapasitas besar, penyimpanan makanan pada suhu 15–50 °C, serta konsumsi makanan yang berulang kali dipanaskan. Distribusi makanan yang dilakukan secara masif yang tidak difasilitasi sistem rantai dingin yang optimal dapat meningkatkan potensi kontaminasi dan perkembangbiakan B. cereus . [1]


Patogenesis

Patogenesis B. cereus tergantung pada jenis toksin yang diproduksi. Pada sindrom diare, enterotoksin (terutama hemolisin BL, non-hemolitik enterotoksin, dan cytotoxin K) diproduksi di usus halus setelah bakteri tumbuh dari spora yang tertelan. Toksin ini meningkatkan permeabilitas usus dan menyebabkan kehilangan cairan. Pada sindrom emetik, cereulide (toksin berbentuk peptida siklik) diproduksi langsung dalam makanan yang terkontaminasi dan dikonsumsi anak. Cereulide bersifat tahan panas, resisten terhadap pH asam, dan stabil terhadap enzim proteolitik, sehingga tetap aktif meskipun makanan telah dimasak. [2,3]


Komplikasi

Mayoritas kasus B. cereus pada anak bersifat self-limited dengan gejala diare atau muntah yang mereda dalam 24 jam. Namun, komplikasi dapat muncul pada anak dengan imunitas rendah atau status gizi buruk, seperti dehidrasi berat, syok hipovolemik, hingga gangguan elektrolit. Laporan juga menunjukkan kemungkinan infeksi invasif (misalnya bakteremia, pneumonia, endoftalmitis) meskipun jarang pada anak sehat. Dalam konteks populasi besar seperti MBG, tingginya jumlah kasus dapat menimbulkan beban layanan kesehatan signifikan. [2]


Diagnosis dan Konfirmasi

Diagnosis klinis biasanya berdasarkan riwayat konsumsi makanan yang sama oleh kelompok besar dengan onset gejala cepat. Manifestasi klinis infeksi Bacillus cereus terbagi menjadi dua tipe utama sesuai toksin yang diproduksi. Pada tipe emetik, gejala dominan berupa mual hebat dan muntah berulang dalam 1–6 jam setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi, sering kali disertai nyeri perut namun jarang diare. Sementara pada tipe diare, gejala biasanya muncul 6–15 jam pascakonsumsi berupa diare berair, nyeri abdomen kolik, disertai mual dengan atau tanpa muntah. Kedua sindrom ini umumnya bersifat self-limited dan mereda dalam 12–24 jam, tetapi pada anak kecil risiko dehidrasi lebih tinggi sehingga perlu pemantauan ketat. [2]

B. cereus dapat dipastikan sebagai sumber suatu wabah keracunan makanan jika memenuhi satu atau lebih kriteria berikut:

  1. Jenis B.cereus dengan serotipe yang sama berhasil diisolasi dari sumber makanan dan feses atau muntah pasien
  2. Ditemukan B. cereus dengan serotipe yang diketahui dapat menyebabkan penyakit bawaan makanan dari makanan/feses/muntahan pasien dalam jumlah besar
  3. Terdapat isolasi B. cereus dari makanan yang dicurigai menjadi penyebab, disertai konfirmasi adanya enterotoksin melalui uji serologi (untuk toksin diare) atau uji biologis (untuk toksin diare dan emesis).

Pada infeksi ekstraintestinal, evaluasi dilakukan dengan analisis cairan tubuh. Sebagai contoh, diagnosis endoftalmitis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan gram pada cairan vitreus. Penting untuk dicatat bahwa spesies Bacillus yang ditemukan pada kultur darah sering kali dianggap sebagai kontaminan. Namun, dalam konteks klinis yang sesuai, hal tersebut harus dipandang sebagai bakteremia sejati dan bukan sekadar kontaminasi. [2]


Tatalaksana

Tatalaksana utama bersifat suportif. Rehidrasi oral maupun intravena sesuai derajat dehidrasi menjadi kunci pada anak. Antibiotik umumnya tidak diperlukan pada kasus keracunan makanan akibat B. cereus karena sifatnya yang self-limited. Walaupun demikian, bakteri bisa bersifat lebih invasif hingga dapat menyebabkan komplikasi ekstraintestinal seperti endoftalmitis dan bakteremia. Dalam kasus-kasus tersebut, antibiotik bisa dipertimbangkan. Jika hendak memberikan antibiotik pada pasien dengan infeksi B.cereus, hindari penggunaan antibiotik beta-laktam karena bakteri ini memproduksi beta-lactamase dan pilih vancomycin, gentamicin, chloramphenicol, atau carbapenem. Selain itu, antiemetik atau antipiretik dapat diberikan secara simptomatik. [2]


Pencegahan

Untuk mencegah keracunan Bacillus cereus, makanan harus dimasak hingga suhu internal yang aman (daging ≥63 °C selama minimal 15 detik, sayur/buah ≥57 °C), disajikan panas di atas 57 °C, dan tidak dibiarkan pada suhu ruang lebih dari 2 jam. Pendinginan makanan matang harus cepat, dari 57 °C ke 21 °C dalam 2 jam pertama lalu ke ≤5 °C dalam total waktu maksimal 6 jam. Pastikan makanan beku disimpan dalam keadaan tetap beku. Cairkan makanan beku pada suhu ≤5 °C, ≤21 °C pada air mengalir, atau langsung saat dimasak. Makanan yang dipanaskan ulang wajib mencapai suhu internal 74 °C selama minimal 15 detik, namun toksin yang sudah terbentuk tidak selalu terinaktivasi oleh proses ini, sehingga makanan yang dicurigai terkontaminasi sebaiknya dibuang. Produk matang dapat disimpan maksimal 7 hari di display toko pada suhu ≤5 °C dengan label yang jelas. Prinsip utama adalah menjaga rantai suhu dengan benar dan menerapkan “when in doubt, throw it out”. [4]


Kesimpulan dan Penutup

Bacillus cereus merupakan patogen yang perlu diperhatikan dalam pengawasan keamanan pangan anak, terutama di tengah pelaksanaan program makan gratis berskala nasional. Dengan kemampuan bertahan melalui spora dan produksi toksin resisten panas, bakteri ini dapat menyebabkan kejadian keracunan massal dengan gejala muntah atau diare. Meskipun sebagian besar kasus bersifat self-limiting, anak-anak berisiko mengalami dehidrasi berat yang berpotensi fatal jika tidak ditangani. Untuk mengkonfirmasi diagnosis infeksi B.cereus, perlu dilakukan isolasi bakteri dari makanan atau feses. Tatalaksana utama adalah terapi suportif berupa rehidrasi. Bagi dokter anak, kewaspadaan terhadap kasus B. cereus sangat penting agar dapat melakukan identifikasi cepat, penatalaksanaan tepat, dan memberikan kontribusi dalam upaya pencegahan melalui edukasi serta advokasi keamanan pangan di level komunitas dan institusi pendidikan.


Referensi

  1. Kompas.com. Keracunan MBG akibat bakteri Salmonella dan Bacillus cereus, apa dampak pada anak? 2025 Oct 2 [cited 2025 Oct 4]. Available from: https://www.kompas.com/tren/read/2025/10/02/203000565/keracunan-mbg-akibat-bakteri-salmonella-dan-bacillus-cereus-apa-dampak-pada
  2.   McDowell RH, Sands EM, Friedman H. Bacillus Cereus. [Updated 2023 Jan 23]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2025 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459121/
  3. Dietrich R, Jessberger N, Ehling-Schulz M, Märtlbauer E, Granum PE. The Food Poisoning Toxins of Bacillus cereus. Toxins (Basel). 2021 Jan 28;13(2):98. doi: 10.3390/toxins13020098. PMID: 33525722; PMCID: PMC7911051.
  4. Schneider KR, Goodrich Schneider R, Silverberg R, Kurdmongkoltham P, Bertoldi B. Preventing Foodborne Illness: Bacillus cereus. FSHN15-06. Gainesville: UF/IFAS Extension; 2017 Apr. Available from: https://www.nifa.usda.gov/sites/default/files/resource/Preventing-Foodborne-Illness-Bacillus-cereus.pdf