Meta PixelDiagnosis dan Tatalaksana Malaria pada Anak di Indonesia<!-- --> | Articles | <!-- -->PrimaKu - Pelopor Aplikasi Tumbuh Kembang Anak di Indonesia

Diagnosis dan Tatalaksana Malaria pada Anak di Indonesia

Author: dr. Afiah Salsabila

27 Jun 2025

Topik: Malaria, Tatalaksana, Diagnosis, Guideline

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara tropis memiliki beban tinggi terhadap penyakit yang ditularkan melalui vektor nyamuk, termasuk malaria. Meskipun terjadi penurunan angka kejadian malaria di beberapa wilayah, namun sejumlah provinsi di Indonesia masih tergolong endemis, seperti Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian wilayah Kalimantan. Sebanyak 130 juta penduduk Indonesia masih tinggal di wilayah dengan risiko tinggi malaria.(1) Secara nasional, tercatat sekitar 800.000 kasus malaria pada tahun 2021, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan beban malaria tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah India.(2)

Khusus di Kalimantan, meskipun sebagian besar wilayah memiliki transmisi rendah, terdapat area dengan transmisi tinggi seperti Kalimantan Timur. Bahkan, tingkat infeksi parasit tahunan yang diukur melalui Annual Parasite Index (API) di beberapa daerah seperti Atap dan Lubakan mencapai 59,7% dan 97,3%.(3) Oleh karena itu, dokter anak di Indonesia diharapkan tetap waspada terhadap kemungkinan infeksi malaria, terutama pada pasien anak dengan gejala demam di daerah-daerah tersebut.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan bersama WHO telah menyusun pedoman penatalaksanaan malaria yang diperbarui secara berkala. Salah satu rujukan utama saat ini adalah Buku Saku Tatalaksana Kasus Malaria (2018) yang merupakan penyesuaian dari panduan WHO 2015 dan menjadi acuan nasional.(1)


Epidemiologi dan Patogenesis Malaria

Malaria disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Di Indonesia, spesies yang paling umum adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax, disusul oleh P. malariae, P. ovale, dan P. knowlesi. (1) Data epidemiologis terbaru menunjukkan bahwa transmisi malaria bersifat heterogen antar wilayah, dengan prevalensi berkisar antara 0,02% hingga 12,07% di daerah endemis. (3)

Secara klinis, malaria berkembang dari fase pre-eritrositik, di mana sporozoit masuk ke hepatosit, kemudian berkembang menjadi skizon dan melepaskan merozoit ke dalam aliran darah. Merozoit menginfeksi eritrosit dan mengalami siklus aseksual, menyebabkan lisis eritrosit yang berkorelasi dengan gejala klinis seperti demam paroksismal, menggigil, dan anemia. Komplikasi berat seperti gangguan kesadaran, gagal ginjal, hipoglikemia, atau syok dapat terjadi bila infeksi tidak segera ditangani.(1)


Diagnosis Malaria pada Anak

Diagnosis malaria didasarkan pada kombinasi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium. Pada anamnesis, penting untuk menanyakan riwayat bepergian atau tinggal di daerah endemis, serta gejala klasik seperti demam intermiten, menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual, muntah, dan nyeri otot.(1)

Pemeriksaan fisik yang mengarah ke malaria meliputi demam >37,5°C, konjungtiva atau telapak tangan pucat, ikterus, serta pembesaran hati dan limpa. Konfirmasi diagnosis dilakukan melalui mikroskop sediaan darah tebal dan tipis, atau dengan Rapid Diagnostic Test (RDT) bila mikroskop tidak tersedia. Diagnosis pasti malaria ditegakkan bila ditemukan parasit dalam darah tepi.(1)


Tatalaksana Malaria pada Anak

Penatalaksanaan malaria pada anak bergantung pada spesies Plasmodium, derajat berat penyakit, dan kondisi klinis pasien. Secara umum, malaria dibagi menjadi dua kategori: malaria tanpa komplikasi dan malaria berat.

Pada malaria tanpa komplikasi, terapi lini pertama adalah kombinasi Dihidroartemisinin-Piperakuin (DHP) selama 3 hari ditambah Primakuin sesuai spesies Plasmodium. Dosis DHP diberikan berdasarkan berat badan, sedangkan Primakuin diberikan sebagai gametosid dan, pada P. vivax dan P. ovale, juga sebagai hipnozoitosid selama 14 hari (0,25 mg/kgBB/hari). Primakuin tidak diberikan pada bayi <6 bulan dan ibu hamil.(1)

Pada malaria berat, pasien harus dirawat inap dan diberikan Artesunat intravena 2,4 mg/kgBB pada jam ke-0, 12, dan 24, dilanjutkan setiap 24 jam hingga pasien dapat menerima terapi oral. Setelah itu, terapi dilanjutkan dengan regimen oral DHP dan Primakuin. Jika Artesunat tidak tersedia, dapat digunakan Kina intravena dengan protokol dosis sesuai usia dan berat badan.(1)

Tatalaksana juga harus mencakup pemantauan ketat tanda vital, status kesadaran, produksi urin, serta gula darah untuk mendeteksi komplikasi seperti hipoglikemia atau gagal ginjal. Evaluasi mikroskopis dilakukan hingga hasil negatif selama 3 hari berturut-turut pada rawat inap, atau hari ke-4, 7, 14, dan 28 pada rawat jalan.(1)


Kesimpulan 

Malaria masih menjadi ancaman signifikan di beberapa wilayah Indonesia, termasuk Kalimantan yang menunjukkan transmisi aktif terutama di bagian timur pulau. Dokter anak memiliki peran strategis dalam mendeteksi dan menatalaksana kasus malaria secara dini, khususnya pada anak yang tinggal atau bepergian ke daerah endemis. Diagnosis yang cepat dan akurat serta pemberian terapi sesuai pedoman nasional sangat penting untuk mencegah komplikasi dan kematian. Panduan nasional dari Kementerian Kesehatan yang mengacu pada WHO harus menjadi rujukan utama dalam praktik klinis.


Daftar Pustaka

  1. Kementerian Kesehatan RI. Buku Saku Tatalaksana Kasus Malaria. Jakarta: Direktorat P2PTVZ; 2018.
  2. World Health Organization. World Malaria Report 2021. Geneva: WHO; 2021.
  3. Sugiarto SR, Baird JK, Singh B, Elyazar I, Davis TME. The history and current epidemiology of malaria in Kalimantan, Indonesia. Malar J. 2022;21:327. https://doi.org/10.1186/s12936-022-04366-5.