
Inilah Langkah-Langkah Diagnosis TB yang Tepat
5 Okt 2023
Author: dr. Afiah Salsabila
2 Jul 2025
Topik: sifilis, Sifilis Kongenital, Neonatus
Latar Belakang
Sifilis kongenital merupakan bentuk infeksi menular seksual yang ditularkan secara transplasental dari ibu hamil kepada janin. Penyakit ini disebabkan oleh Treponema pallidum, bakteri spiroketa gram-negatif yang sangat labil terhadap suhu dan lingkungan luar tubuh. Bakteri ini menembus mukosa atau kulit lecet dan menyebar secara hematogen ke berbagai organ. T. pallidum dapat melewati sawar plasenta mulai usia kehamilan 9–10 minggu, meskipun transmisi lebih sering terjadi setelah trimester kedua. Infeksi ini memiliki implikasi serius terhadap janin, termasuk lahir mati, keguguran, dan komplikasi multisistem pada neonatus. (1)
Meskipun telah ada upaya peningkatan deteksi dini melalui program skrining sifilis antenatal di Indonesia cakupannya masih terbatas. Laporan bulan Januari-Desember 2024 dari Tim Kerja HIV dan PIMS KEMENKES RI (2) menunjukkan bahwa dari total estimasi ibu hamil nasional, hanya 63% (3.062.080) yang menjalani pemeriksaan sifilis. Dari jumlah tersebut, 4.340 (0,1%) ibu hamil dinyatakan positif sifilis. Namun, hanya 83% yang mendapatkan pengobatan. Tak hanya itu, terdapat 320 bayi usia <1 tahun yang dilaporkan dengan sifilis, tetapi hanya 152 bayi (48%) yang menerima tatalaksana. (2) Data ini menunjukkan bahwa sifilis masih menjadi tantangan besar dalam sistem pelayanan kesehatan ibu dan anak di Indonesia.
Faktor Risiko dan Manifestasi Klinis
Faktor risiko utama sifilis kongenital adalah infeksi sifilis aktif pada ibu yang tidak didiagnosis atau tidak diobati selama kehamilan. Risiko penularan vertikal tertinggi terjadi pada fase infeksi primer dan sekunder, mencapai >70%, sementara pada fase laten dini sekitar 40%, dan pada fase laten lanjut hanya 10%. (3) Faktor lain meliputi keterlambatan akses ANC, rendahnya cakupan skrining laboratorium di fasilitas primer, serta ketidakpatuhan terhadap pengobatan.
Secara klinis, manifestasi sifilis kongenital dapat dibagi menjadi dua kelompok: dini dan lanjut. Manifestasi dini (terjadi dalam dua tahun pertama kehidupan) mencakup hepatosplenomegali, anemia hemolitik, ruam makulopapular, rhinitis serosa ("snuffles"), ikterus kolestatik, dan pseudoparalisis Parrot akibat osteokondritis. Pseudoparalisis Parrot adalah kondisi di mana bayi tampak tidak menggerakkan salah satu lengan atau tungkai karena nyeri pada tulang yang mengalami inflamasi, bukan karena gangguan saraf. Manifestasi lanjut (setelah usia dua tahun) mencakup deformitas gigi Hutchinson, keratitis interstisial, tuli sensorineural, dan saddle nose. (3) Namun, lebih dari separuh neonatus lahir tanpa gejala, sehingga diagnosis sangat bergantung pada skrining maternal dan evaluasi serologis neonatus. (4)
Diagnosis
Diagnosis sifilis kongenital pada bayi bergantung pada dua jenis tes, yaitu tes treponemal dan tes non-treponemal. Tes non-treponemal, seperti VDRL atau RPR dilakukan untuk mendeteksi antibodi IgG dan IgM terhadap fosfolipid (lecithin, kolesterol, kardiolipin) yang dilepaskan saat kerusakan sel akibat infeksi T. pallidum. Bayi diklasifikasikan sebagai reaktif jika memiliki titer ≥4 kali dari ibu. (3,5) Sementara itu, tes treponemal seperti TPHA digunakan untuk konfirmasi. Tes treponemal dapat mendeteksi antibodi spesifik terhadap antigen T. pallidum dan sangat sensitif untuk mendiagnosis sifilis primer. (5)
Terdapat dua pendekatan diagnostik berdasarkan urutan tes yang dilakukan: algoritma tradisional dan reverse algorithm, atau algoritma terbalik. Pendekatan tradisional mendahulukan uji nontreponemal sebagai skrining awal, kemudian baru diikuti oleh uji treponemal untuk konfirmasi. (3) Sebaliknya, reverse algorithm dimulai dengan uji treponemal, dilanjutkan dengan uji nontreponemal dan, jika perlu, uji treponemal kedua. (1) Reverse algorithm mulai lebih banyak diadopsi karena memiliki keunggulan dalam sensitivitas, terutama dalam mendeteksi infeksi laten, namun implementasinya masih terbatas pada rumah sakit rujukan atau fasilitas dengan laboratorium yang memadai. (1) Di Indonesia, pendekatan tradisional lebih umum digunakan, sesuai dengan pedoman nasional, karena alat uji nontreponemal lebih tersedia dan murah. (3)
Berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan hasil tes treponemal dan non-treponemal, sifilis kongenital dibagi dalam empat kategori diagnosis menurut CDC dan WHO:
Tata Laksana
Pada kategori confirmed/proven congenital syphilis, maka tatalaksana yang direkomendasikan adalah penisilin kristalin G intravena 50.000 unit/kg/dosis tiap 12 jam selama 7 hari pertama kehidupan, lalu setiap 8 jam hingga hari ke-10. Alternatifnya adalah penisilin prokain G intramuskular 50.000 unit/kg/hari selama 10 hari. Bila terdapat keterlambatan pemberian >1 hari, terapi harus diulang dari awal. (1)
Pada kategori highly probable congenital syphilis, maka bayi juga memerlukan tatalaksana penuh dengan salah satu regimen di atas, selama 10 hari. Terapi ini diberikan meskipun tidak terdapat manifestasi klinis, karena risiko infeksi laten yang tinggi. (1)
Untuk kategori possible congenital syphilis, yaitu bayi yang tampak sehat tanpa gejala dan memiliki data laboratorium yang tidak cukup untuk diagnosis, tetapi lahir dari ibu dengan riwayat terapi yang meragukan, maka pengobatan dapat berupa benzatin penisilin G 50.000 unit/kg dosis tunggal intramuskular. Namun, bila terdapat kendala dalam penegakan diagnosis dan risiko infeksi dipertimbangkan tinggi, maka regimen penuh 10 hari tetap dianjurkan. (1)
Sedangkan pada kategori unlikely congenital syphilis, maka terapi tidak diperlukan. Bayi cukup dipantau secara serologis setiap 2–3 bulan hingga titer nonreaktif. (1)
Pemantauan serologis lanjutan tetap penting pada semua kategori, terutama untuk bayi yang menerima pengobatan. Pemeriksaan nontreponemal (VDRL/RPR) dilakukan tiap 3 bulan hingga titer menjadi nonreaktif. Apabila titer tidak menurun ≥4 kali dalam waktu 6–12 bulan atau justru meningkat, maka infeksi persisten atau reinfeksi perlu dipertimbangkan dan pengobatan tambahan harus diberikan. (4)
Kesimpulan
Sifilis kongenital adalah penyakit infeksi yang dapat dicegah namun tetap menjadi masalah di Indonesia akibat keterbatasan cakupan skrining maternal dan terapi yang tidak adekuat. Deteksi dini melalui skrining ibu hamil serta pemahaman dokter anak terhadap diagnosis dan penatalaksanaan bayi terpapar sangat penting. Pemilihan algoritma diagnosis disesuaikan dengan kapasitas layanan. Optimalisasi pendekatan tradisional di layanan primer dan integrasi reverse algorithm di rumah sakit rujukan akan memperkuat sistem pencegahan dan penanggulangan sifilis kongenital di Indonesia.
Daftar Pustaka