Diagnosis Somatic Symptom Disorder: Cara dan Hambatan yang Dapat Ditemui
Oleh: dr. Afiah Salsabila
Topik: somatic symptom disorder, somatoform, conversion disorder
Somatic symptom disorder (SSD) adalah gangguan di mana seseorang mengalami satu atau lebih gejala fisik yang disertai perilaku, emosi, dan energi berlebihan yang ditujukan pada gejala tersebut hingga menimbulkan disfungsi dan/atau rasa menderita yang signifikan. Pada anak, kondisi ini menyebabkan peningkatan angka absensi sekolah yang dapat mengganggu perkembangan sosial, emosional, dan intelektual anak. Kondisi ini juga dapat menyebabkan pemeriksaan penunjang yang berlebih. Hal tersebut tak hanya merugikan fasilitas kesehatan, namun juga bisa menyebabkan komplikasi iatrogenik pada pasien. Maka dari itu, dokter harus cermat dalam mengidentifikasi kasus SSD supaya bisa memanfaatkan fasilitas kesehatan dengan efisien dalam memberi tatalaksana pada pasien dengan kondisi tersebut.
Mendiagnosis SSD adalah hal yang tidak mudah. Sebagai patokan, SSD perlu dicurigai jika pada anamnesis terdapat penemuan berikut: anak atau orang tua mengeluhkan gejala-gejala yang tidak konsisten dengan pemeriksaan fisik/pemeriksaan penunjang, gejala cenderung refrakter dengan penanganan medis, sensitivitas tinggi terhadap efek samping obat, dan riwayat penatalaksanaan yang dilakukan oleh beberapa dokter untuk keluhan yang sama. Untuk membantu mendiagnosis SSD, dokter bisa merujuk pada kriteria diagnosis pada DSM-V. Evaluasi kejiwaan juga perlu dilakukan karena sering komorbid dengan gangguan mood seperti depresi dan ansietas. Untuk evaluasi berkala, hasil pemeriksaan fisik bisa dijadikan sebagai baseline.
Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding yang berpotensi mengancam nyawa . Namun dokter perlu berhati-hati dalam memilih pemeriksaan penunjang apa saja yang relevan; perlu ada usaha untuk membatasi pemeriksaan penunjang yang invasif pada pasien yang dicurigai memiliki SSD. Selain itu, perlu diperhatikan juga bahwa permintaan pemeriksaan penunjang yang terlalu banyak dapat meningkatkan hasil positif semu yang dapat membuat proses diagnosis menjadi rancu. Beberapa studi juga menemukan bahwa pemeriksaan diagnosis yang terlalu banyak pada pasien SSD juga tidak mengurangi kekhawatiran pada pasien.
Tujuan utama tatalaksana SSD adalah agar gejala teratasi dan dapat kembali berfungsi dengan normal; beberapa studi menggunakan penurunan absensi sekolah sebagai parameter perbaikan SSD pada anak dan remaja. Dokter yang merawat perlu menekankan bahwa gejala tidak mengancam nyawa atau tidak mengakibatkan kecacatan. Dalam penyampaiannya, dokter perlu bersikap dengan empati pada pasien dengan SSD; seringkali dokter menganggap bahwa pasien “berbohong” hingga tidak menganggap bahwa apa yang dirasakan pasien merupakan keluhan yang valid hingga dokter menyikapi pasien SSD dengan tidak ramah. Hal ini bisa memperburuk kondisi pasien SSD karena pasien hanya akan mencari pertolongan medis ke tenaga kesehatan lain, menyebabkan tatalaksana semakin simpang siur.Jika SSD tidak membaik, pasien bisa dikonsulkan ke ahli psikiatri. Obat-obatan yang biasanya dipakai sebagai bagian dari tatalaksana SSD adalah selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) dan serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI). Penelitian menunjukkan bahwa obat-obatan tersebut secara signifikan memperbaiki kondisi pasien SSD dibandingkan dengan plasebo .
SSD adalah kondisi yang tidak mudah untuk didiagnosis. Penatalaksanaannya pun perlu kerjasama antara pemberi pelayanan medis dan psikiatri. Diperlukan rasa empati supaya dokter bisa lebih peka terhadap kondisi ini. Dengan demikian pasien bisa mendapatkan terapi yang tepat dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Referensi:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28188588/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532253/
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32398323/