Indikasi Pemberian Zat Besi dan Vitamin C pada Anak dengan Alergi Susu Sapi
Oleh: Tim Advertorial PrimaPro
Topik: Vitamin, Vitamin C, Zat Besi
Pendahuluan
Insidens Alergi Susu Sapi (ASS) mencapai sekitar 2-7.5%, menjadikannya salah satu jenis manifestasi alergi yang cukup sering ditemukan pada anak. Alergi susu sapi disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas dan dapat menyebabkan berbagai macam gejala klinis, seperti urtikaria, dermatitis atopik, rinitis, asma, regurgitasi, mual, muntah, diare, konstipasi, perdarahan saluran cerna, maupun reaksi anafilaksis yang dapat mengancam nyawa. Perdarahan saluran cerna yang terjadi akibat ASS dapat terlihat secara kasat mata maupun secara tersembunyi, yaitu kondisi yang disebut juga sebagai fecal occult bleeding.(1) Kondisi ini tentunya dapat menyebabkan anemia serta berkurangnya penyerapan zat nutrien pada saluran gastrointestinal. Salah satu mikronutrien yang seringkali hilang dan sulit diserap adalah zat besi. Padahal, zat besi memiliki peranan penting dalam tumbuh kembang anak, terutama untuk perkembangan otak dan daya tahan tubuh anak.(2)
Selain itu, pada alergi susu sapi, tatalaksana utama adalah restriksi diet yang mengandung susu sapi. Restriksi diet dapat menyebabkan berkurangnya intake energi, protein, berbagai vitamin seperti vitamin D, vitamin A, kalsium, serta mikronutrien seperti zinc, zat besi, dan iodin.(1) Oleh karena itu, suplementasi zat besi dapat dipertimbangkan diberikan pada anak dengan alergi susu sapi untuk memenuhi kebutuhan zat besi. Vitamin C, juga telah lama diketahui sebagai nutrien yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan penyerapan zat besi.(3) Sehingga vitamin C dapat juga dipertimbangkan untuk diberikan pada anak dengan ASS yang memiliki defisiensi zat besi.
Risiko anemia pada Anak dengan ASS
Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE. Pada kelompok ini, gejala klinis timbul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam setelah konsumsi protein susu sapi, dengan gejala klinis seperti mual muntah, nyeri perut, diare, ruam kulit, bronkospasme, dan anafilaksis. Namun, sebagian lainnya tidak diperantarai IgE, melainkan oleh IgG. Gejala klinis pada kelompok ini muncul lebih lambat, yakni lebih dari 1 jam setelah mengonsumsi protein susu sapi. Gejala klinis yang muncul meliputi kolik, enterokolitis, anemia, dan gagal tumbuh. Gejala alergi susu sapi biasanya muncul pertama kali saat sebelum anak berusia satu bulan.(4)
Reaksi alergi yang terjadi menimbulkan proses inflamasi pada mukosa usus, sehingga dapat menyebabkan perdarahan. Pada proktolitis distal dapat ditemukan darah merah segar pada feses, namun perdarahan biasanya sedikit, sehingga risiko anemia lebih rendah. Sementara, pada inflamasi yang lebih proksimal, terutama pada usus halus, perdarahan seringkali lebih banyak dan dapat menyebabkan anemia. Selain itu, penyerapan zat besi, yang seharusnya terjadi pada usus halus bagian duodenum dan jejunum proksimal, dapat berkurang akibat inflamasi tersebut.(5) Bahkan, pada sebagian kasus, anemia defisiensi zat besi dapat menjadi satu-satunya gejala yang muncul pada kasus alergi susu sapi. Sebuah penelitian yang dilakukan di Taiwan menemukan bahwa 13.7% anak dengan anemia defisiensi zat besi, ternyata memiliki alergi susu sapi.(6)
Tatalaksana utama alergi susu sapi adalah melalui aspek nutrisi, yaitu menghindari segala bentuk produk susu sapi. Pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif, terapi ASI eksklusif dapat dilanjutkan. Namun, Ibu perlu menghindari konsumsi susu sapi dan segala produk turunan susu sapi seperti keju, yoghurt, dan lain-lain. Alternatif susu sapi yang dapat diberikan kepada anak dengan alergi susu sapi adalah susu formula dengan formula terhidrolisis. Susu formula terhidrolisis merupakan susu dengan konten peptida yang lebih pendek, sehingga terdapat risiko lebih minimal untuk mencetuskan alergi. Secara umum, terdapat dua jenis susu terhidrolisis, yaitu partially hydrolyzed formula (pHF) dan extensively hydrolyzed formula (eHF). Sesuai dengan rekomendasi IDAI, bagi anak dengan ASS yang memiliki gejala ringan, dapat diberikan susu eHF. Hal ini karena susu pHF ternyata masih dapat menimbulkan alergi, sehingga tidak direkomendasikan. Sementara, anak dengan gejala alergi susu klinis berat, dianjurkan untuk mengkonsumsi susu formula asam amino. Susu formula lain yang tersedia dan dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada anak dengan ASS adalah isolat protein soya yang difortifikasi dengan asam amino seperti metionin, taurin, dan carnitin. Susu golongan ini tidak mengandung susu sapi dan laktosa, sehingga dapat diberikan pada anak dengan ASS. (1,4)
Restriksi diet yang dilakukan pada anak dengan alergi susu sapi, bila tidak dilakukan secara tepat, dapat menyebabkan terjadi defisiensi makronutrien dan mikronutrien, salah satunya adalah zat besi. Sebenarnya, pada sebagian banyak kasus, proses inflamasi cenderung berhenti setelah restriksi diet dilakukan. Namun, pada sebagian kasus, seperti pada reaksi inflamasi yang tidak diperantarai IgE, proses penyembuhan mukosa dapat lebih lambat, sehingga penyerapan nutrisi terhambat, dan defisiensi besi mungkin terjadi.(5) Oleh karena itu, suplementasi zat besi perlu diberikan pada anak yang berisiko mengalami anemia, terlepas dari status alergi sapi.
Tatalaksana Defisiensi Zat Besi pada Anak dengan ASS
Risiko terjadinya defisiensi zat besi cukup tinggi pada ASS mengingat salah satu manifestasi ASS dapat berupa perdarahan saluran cerna yang bersifat kronik. Oleh karena itu, anak dengan ASS mungkin membutuhkan suplementasi besi. Meskipun demikian, sebelum memberikan suplementasi besi, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk melakukan konfirmasi adanya kondisi anemia defisiensi besi.(2,5)
Sesuai dengan rekomendasi IDAI, pemberian suplementasi besi dilakukan pada anak usia 1-5 tahun selama 3 bulan atau hingga pemulihan tercapai, dengan dosis 2 mg/kg/hari.(2) Sementara, khusus pada kasus anak dengan ASS, belum ada penelitian yang menyebutkan dosis suplementasi zat besi secara khusus. Setelah pemberian zat besi, perlu dilakukan pemantauan kadar hemoglobin, dan profil besi lain melalui pemeriksaan laboratorium.(2)
Hal utama yang menjadi perhatian adalah mungkin tidak semua anak dengan ASS memerlukan suplementasi besi. Suplementasi zat besi pada ASS dilakukan selama periode ketika kehilangan zat besi meningkat (ada perdarahan) atau ketika terjadi malabsorpsi.(5) Terlepas dengan keberadaan ASS, pada daerah dengan prevalensi anemia defisiensi besi tinggi (di atas 40%), suplementasi besi dapat diberikan. Oleh karena itu, sesuai dengan rekomendasi IDAI, skrining kadar hemoglobin secara masif perlu dilakukan setiap tahun, mulai dari usia 2 tahun hingga remaja.(2)
Peran Vitamin C dalam Mendukung Absorpsi Zat Besi
Vitamin C merupakan vitamin yang bersifat larut dalam air, dan telah terbukti dapat meningkatkan absorpsi zat besi. Absorpsi zat besi mayoritas terjadi di duodenum dan jejunum proksimal. Absorpsi zat besi akan lebih optimal pada lingkungan yang bersifat asam. Vitamin C dapat membuat lambung bersifat lebih asam.(3)
Pada anak dengan ASS, selain melakukan restriksi diet, terapi lainnya adalah memberikan susu formula alternatif yang bebas susu sapi, seperti susu terhidrolisat ekstensif, dan susu formula asam amino. Pada keadaan tidak tersedianya kedua jenis susu tersebut atau ada kendala biaya, susu formula yang mengandung isolat protein soya dapat diberikan. Untuk memenuhi kebutuhan zat besi, isolat protein soya dapat difortifikasi dengan zat besi.(4) Pada jenis susu tersebut, zat besi yang tersedia adalah golongan zat besi non-heme. Vitamin C juga terbukti dapat meningkatkan absorpsi besi non-heme.(3) Meskipun demikian, sampai saat ini belum ada rekomendasi dosis vitamin C pada kasus defisiensi zat besi pada anak dengan ASS.
Kesimpulan
Suplementasi zat besi perlu diberikan pada semua anak dengan defisiensi zat besi atau pada daerah dengan prevalensi tinggi anemia zat besi, terlepas dari status ASS. Vitamin C juga terbukti dapat meningkatkan absorpsi zat besi, sehingga dapat membantu mengatasi kondisi defisiensi zat besi. Selain itu, masih diperlukan studi lebih lanjut mengenai suplementasi besi pada anak dengan ASS.
Referensi:
- Vandenplas Y, Broekaert I, Domellöf M, Indrio F, Lapillonne A, Pienar C, Ribes-Koninckx C, Shamir R, Szajewska H, Thapar N, Thomassen RA, Verduci E, West C. An ESPGHAN position paper on the diagnosis, management and prevention of cow's milk allergy. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2023 Jul 26
- Gatot D, Idjradinata P, Abdulsalam M, Lubis B, Soedjatmiko, Hendarto, et al. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia: Suplementasi Besi untuk Anak. 1st Edition. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
- Li N, Zhao G, Wu W, Zhang M, Liu W, Chen Q, Wang X. The Efficacy and Safety of Vitamin C for Iron Supplementation in Adult Patients With Iron Deficiency Anemia: A Randomized Clinical Trial. JAMA Netw Open. 2020 Nov 2;3(11):e2023644
- Muktiarti D, Hegar B, Mulyani N, Sjarif D, Devaera Y, Yuliarti K, et al. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia: Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Susu Sapi. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.
- Vanderhoof JA, Kleinman RE. Iron Requirements for Infants with Cow Milk Protein Allergy. J Pediatr. 2015 Oct;167(4 Suppl):S36-9
- Lai FP, Yang YJ. The prevalence and characteristics of cow's milk protein allergy in infants and young children with iron deficiency anemia. Pediatr Neonatol. 2018 Feb;59(1):48-52.