Ringkasan Jurnal: "Kekerasan terhadap Remaja di Masa Pandemi COVID-19" oleh Irene Audrey Davalynn Pane dan Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K)
Oleh: dr. Afiah Salsabila
Topik: Kekerasan, Remaja, Covid-19
Selama pandemi COVID-19, pemerintah Republik Indonesia menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Hal ini dilakukan dalam upaya membatasi penyebaran virus yang sedang terjadi pada saat itu. Salah satu perubahan yang diterapkan ketika PPKM adalah dilakukannya kegiatan pendidikan secara daring. Pendidikan secara daring membatasi interaksi sosial anak-anak secara signifikan, mengakibatkan upaya pencegahan dan pengumpulan data terkait kekerasan terhadap anak menjadi lebih sulit. Maka dari itu, Pane dan Sekartini melakukan penelitian mengenai prevalensi kekerasan terhadap remaja selama pandemi COVID-19 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Pada penelitian ini, data mengenai kekerasan anak didapatkan melalui kuesioner ICAST-C, yaitu kuesioner berisi 55 pertanyaan yang mewakili lima jenis kekerasan, yaitu paparan kejadian kekerasan, kekerasan fisik, kekerasan psikologis, penelantaran, dan kekerasan seksual. Peneliti juga memberi kuesioner yang menanyakan kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Kuesioner diberikan secara online dan dibagikan melalui grup Whatsapp kepada remaja 10-18 tahun yang bisa berbahasa Indonesia, berdomisili di Indonesia, dan memiliki gawai yang bisa dipakai untuk mengisi kuesioner secara mandiri. Peneliti berhasil mengumpulkan data dari 106 responden yang berasal dari pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Penelitian ini menemukan bahwa 67,9% total responden mengalami kekerasan dengan kelompok remaja usia 14 hingga 17 tahun yang paling banyak menjadi korban kekerasan dengan 72,3%. Pada rentang usia tersebut, terdapat peningkatan perilaku berisiko dan bertambahnya reaktivitas emosional, yang dapat menjadi faktor risiko kekerasan.
Kekerasan yang paling banyak dialami adalah penelantaran pada persentase 50,9%. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan di rumah, semakin tinggi risiko untuk mengalami penelantaran. Seiring bertambahnya waktu yang dihabiskan di rumah, semakin tinggi risiko untuk mengalami penelantaran secara materi maupun pengawasan. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini menemukan bahwa remaja yang tinggal dengan keluarga besar (nenek, paman, bibi, sepupu) mengalami kejadian kekerasan lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal dengan keluarga inti saja.
Perlu diperhatikan bahwa ketika dilakukan uji statistik chi-square antara kekerasan dan variabel-variabel yang dipikirkan sebagai faktor risiko, ditemukan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara usia anak, jenis kelamin , posisi anak, dan tingkat kepatuhan terhadap protokol kesehatan terhadap kejadian kekerasan terhadap remaja. Hal ini berbeda dengan penemuan-penemuan sebelumnya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi hal ini.
Referensi: https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/2220/pdf