Sekilas Tentang Stunting di Indonesia
Untuk mewujudkan Generasi Emas 2045, salah satu permasalahan utama yang perlu diatasi adalah stunting. Stunting merupakan kondisi di mana pertumbuhan linear dan perkembangan otak anak terhambat akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. [1] Anak dikatakan mengalami stunting apabila Z skor tinggi badan menurut usia berada 2 standar deviasi (SD) di bawah median growth chart WHO, atau jika panjang/tinggi badan menurut usia lebih rendah dari standar nasional. Bila stunting terjadi pada masa 1000 hari pertama kehidupan, anak berisiko tumbuh menjadi individu dengan kemampuan kognitif, berbahasa, motorik-sensorik, dan performa akademis yang buruk. Oleh karena itu, penting untuk mendeteksi dan menangani stunting sejak dini sebelum terjadinya komplikasi yang ireversibel. [1,2]
Di Indonesia, angka stunting pada anak di bawah usia 5 tahun menunjukkan penurunan, dari 24,4% (SSGI 2021) menjadi 21,6% (SKI 2023). Meskipun demikian, Indonesia masih belum mencapai target WHO, yaitu prevalensi stunting di bawah 20%. [1,3,4] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) telah menyusun Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Stunting (PNPK Stunting). Penatalaksanaan stunting mencakup tiga aspek yaitu jadwal tidur teratur, aktivitas fisik teratur, dan tatalaksana nutrisi dengan pemberian asupan protein dan energi yang cukup (rasio protein-energi (PER) 10-15% per hari). Menurut PNPK stunting, pada anak-anak yang mengalami stunting dan anak-anak dengan risiko stunting (weight faltering dan length deceleration), dapat diberikan tatalaksana nutrisi berupa Pangan untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK). [5]
Klik di sini untuk baca artikel Peranan Kalori dan Protein dalam Mengatasi Malnutrisi pada Anak
Sekilas Tentang PKMK untuk Stunting
PKMK merupakan produk pangan yang diolah untuk memenuhi kebutuhan gizi suatu kondisi medik khusus. PKMK dirancang untuk melengkapi atau menggantikan asupan gizi dari makanan biasa ketika kebutuhan gizi tidak terpenuhi melalui diet normal. PKMK hanya dapat diberikan atas indikasi medik oleh dokter. Di indonesia, penggunaan PKMK diatur oleh berbagai regulasi untuk memastikan keamanan dan efektivitas pemberiannya. Berikut beberapa kebijakan PKMK dalam manajemen stunting:
1.BPOM 24/2020
PKMK dapat digunakan untuk mendukung nutrisi anak yang berisiko gagal tumbuh, gizi kurang atau gizi buruk dengan memberikan produk siap konsumsi yang memiliki densitas energi minimal 0,9 kkal/ml. [6]
2. Kepmenkes RI No. HK.01.07/MENKES/1928/2022
PNPK stunting merekomendasikan pemberian PKMK khususnya pada anak stunting yang disertai red flags, yaitu apabila anak mengalami kondisi yang tidak memungkinkan mengonsumsi ASI atau MPASI dan memiliki faktor risiko seperti bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR), lahir sangat prematur, alergi protein susu sapi, dan kelainan metabolisme bawaan. [5]
3. Permenkes 29/2019
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 29 Tahun 2019 mengatur tentang jenis-jenis PKMK yang digunakan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan khusus gizi anak-anak dengan berbagai kondisi medis, termasuk stunting. Berikut beberapa indikasi medis pemberian PKMK [7]:
a) Anak dengan gagal tumbuh, gizi kurang dan gizi buruk:
Diberikan PKMK dengan kandungan energi lebih besar dari 0,9 kkal/mL.
b) Bayi lahir sangat prematur (masa gestasi <32 minggu) dan BBLSR (<1500 gram), diberikan PKMK berupa:
- Formula prematur dengan ketentuan kandungan energi minimal 24 kkal/30 ml, atau
- Pelengkap gizi air susu ibu (human milk fortifier).
c) Anak dengan alergi protein susu sapi:
Dapat diberikan PKMK berupa formula berbasis susu sapi dengan protein terhidrolisat ekstensif atau asam amino bebas.
d) Anak dengan kelainan metabolisme bawaan:
PKMK berupa formula dengan komposisi makronutrien dan mikronutrien yang sesuai dengan kelainan metabolisme bawaan yang diderita.
4. Standard for Infant Formula and FSMP Intended for Infants - CXS 72-1981 FAO & WHO
Formula PKMK tanpa sukrosa dan fruktosa (zero sucrose) lebih sesuai dengan rekomendasi WHO dan FAO, terutama untuk menghindari risiko intoleransi fruktosa herediter. [8]
Manajemen Pemberian PKMK pada Anak Stunting
Stunting dimulai dengan malnutrisi atau perlambatan kenaikan berat badan (weight faltering) yang terjadi sejak dalam kandungan dan berlanjut setelah lahir.5 Tabel 1 menunjukkan kenaikan berat badan normal sesuai usia yang dapat ditemukan di buku KIA atau Kartu Menuju Sehat (KMS).9 Strategi tatalaksana stunting meliputi pemberian nutrisi kejar tumbuh untuk memperbaiki weight faltering dan dilanjutkan hingga mencapai kecepatan pertumbuhan linear yang optimal. Intervensi nutrisi pada anak dengan stunting mengikuti langkah-langkah asuhan nutrisi pediatrik, yaitu asesmen, penentuan kebutuhan nutrisi, penentuan cara pemberian, penentuan jenis makanan, serta pemantauan dan evaluasi.5,10
Penilaian status nutrisi anak didasarkan pada anamnesis, antropometri, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Kebutuhan nutrisi anak pada umumnya mengikuti Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang tertera pada Tabel 2. Anak dengan malnutrisi kronis mungkin membutuhkan asupan energi melebihi 120-150 kkal/kg/hari untuk mencapai kenaikan berat badan yang diharapkan. Rumus untuk menghitung kebutuhan kalori anak adalah AKG sesuai usia dikalikan dengan berat badan ideal. Sebagai contoh, mari kita hitung kebutuhan kalori Rido, seorang anak berusia 10 bulan dengan berat badan 7 kg dan panjang badan 72 cm. Menurut kurva pertumbuhan, tinggi badan Rido sesuai dengan anak usia 9 bulan. Target berat badan ideal Rido adalah sekitar 8,8 kg. Rekomendasi asupan kalori untuk anak usia 10 bulan adalah 110 kkal/kg/hari, sehingga kebutuhan kalori kejar tumbuh Rido adalah 8,8 kg x 110 kkal/kg/hari = 880 kkal/hari. [5,10]
Selanjutnya adalah pemilihan rute pemberian, yang dapat berupa oral, enteral, atau parenteral. Bila tidak ada indikasi medis khusus, pilihan utama selalu rute oral. Anak dengan stunting dapat diberikan jenis makanan PKMK secara penuh atau sebagai tambahan makanan dengan sumber protein hewani berkualitas tinggi, terutama dengan skor penyerapan asam amino (Digestible Indispensable Amino Acid Score, DIAAS) ≥100. [5,11]
Jenis PKMK yang umumnya diberikan untuk kejar tumbuh adalah energy- and nutrient-dense formula (ENDF) atau formula padat energi. Widjaja et al. menemukan kenaikan signifikan berat badan dan pertumbuhan linear pada anak dengan pemberian formula padat energi. [12] Di India, dilaporkan dua kasus anak dengan growth faltering yang berhasil mencapai kenaikan berat badan optimal dengan pemberian ENDF. Berbeda dengan susu formula standar, umumnya ENDF memiliki kandungan nutrien yang lebih tinggi, dengan kalori 50% lebih tinggi (100 kkal/100 mL), protein 73% lebih tinggi (2,6 g/100 mL atau PER setidaknya 10,4%), dan konsentrasi vitamin serta mikronutrien lainnya. Komposisi ENDF dapat dilihat pada Tabel 3. [13]
Clarke SE, et al. membandingkan pemberian ENDF dan formula tinggi kalori (energy-supplemented formula, ESF). Anak yang diberikan ENDF mendapatkan lebih banyak protein (42%) dan mikronutrien (15-40%) dibandingkan anak yang diberikan ESF. Selain itu, anak yang diberikan ESF memiliki konsentrasi ureum darah 50% lebih rendah selama penelitian, menandakan asupan PER yang suboptimal pada ESF. Penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk intervensi nutrisi pada anak dengan growth faltering, penambahan komposisi kalori sebaiknya disertai dengan penambahan protein dan mikronutrien, tidak hanya kalori saja. [14]
Salah satu tantangan pemberian PKMK ialah memastikan asupan kalori tidak melebihi kebutuhan anak. Oleh karena itu, anak yang diberikan PKMK sebagai intervensi nutrisi stunting sebaiknya dilakukan pemantauan berkala setiap 2 minggu. Selain untuk memastikan pemenuhan kebutuhan gizi, pemantauan juga dilakukan untuk memastikan akseptabilitas dan toleransi PKMK oleh anak. [5]
Klik di sini untuk baca lebih lanjut tentang Pemantauan Akseptabilitas dan Toleransi Pemberian PKMK.
Kesimpulan
Pemberian PKMK dengan kandungan tinggi energi dan protein (PER ≥10%) sebagai manajemen nutrisi anak dengan stunting dapat mendukung tercapainya pertumbuhan linear optimal. [5]Penerapannya harus berdasarkan penilaian status nutrisi komprehensif dan sesuai dengan regulasi di Indonesia.
Artikel ini merupakan hasil kerjasama antara PrimaPro dengan Abbot Nutrition. Untuk mengetahui lebih lanjut seputar Abbot Nutrition, silahkan klik link ini.
Referensi
1. World Health Organization. Reducing stunting in children: equity considerations for achieving the Global Nutrition Targets 2025. 2018;
2. Soliman A, De Sanctis V, Alaaraj N, Ahmed S, Alyafei F, Hamed N, dkk. Early and Long-term Consequences of Nutritional Stunting: From Childhood to Adulthood. Acta Bio Medica Atenei Parm. 2021;92(1):e2021168.
3. Munira SL. Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022. Jakarta: Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2023.
4. Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan. Survei kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dalam angka: data akurat kebijakan tepat. Jakarta: Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI; 2023. 926 hlm.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/1928/2022 tentang pedoman nasional pelayanan kedokteran tata laksana stunting. Jakarta: Kemenkes RI; 2022.
6. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Peraturan badan pengawas obat dan makanan nomor 24 tahun 2020 tentang perubahan kedua atas peraturan badan pengawas obat dan makanan nomor 1 tahun 2018 tentang pengawasan pangan olahan untuk keperluan gizi khusus. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia; 2020.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 29 Tahun 2019 tentang penanggulangan masalah gizi bagi anak akibat penyakit. Jakarta: Kemenkes RI; 2019.
8. WHO, FAO. Codex Alimentarius: International Food Standards. Standard for Infant Formula and Formulas for Special Medical Purposes Intended for Infants. CXS 72-1981. Geneva: WHO; 2023.
9. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis penggunaan kartu menuju sehat (KMS) balita. Jakarta; 2021. 34 hlm.
10. Homan GJ. Failure to Thrive: A Practical Guide. Am Fam Physician. 2016 Agu 15;94(4):295–9.
11. Bailey HM, Stein HH. Can the digestible indispensable amino acid score methodology decrease protein malnutrition. Anim Front Rev Mag Anim Agric. 2019 Sep 28;9(4):18–23.
12. Widjaja NA, Hamida A, Purnomo MT, Satjadibrata A, Sari PP, Handini LS, dkk. Effect of high-calorie formula on weight, height increment, IGF-1 and TLC in growth faltering children: A quasi-experimental study. Heliyon. 2024 Apr 15;10(7):e28834.
13. Kareem ZU, Panuganti SK, Bhatia S. Case Report: Energy- and Nutrient-Dense Formula for Growth Faltering: A Report of Two Cases From India. Front Nutr. 2021 Feb 26;8:588177.
14. Clarke SE, Evans S, Macdonald A, Davies P, Booth IW. Randomized comparison of a nutrient-dense formula with an energy-supplemented formula for infants with faltering growth. J Hum Nutr Diet Off J Br Diet Assoc. 2007 Agu;20(4):329–39.