Tatalaksana Gangguan Pendengaran pada Anak
Author: dr. Afiah Salsabila
Topik: Pendengaran, Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi secara dini agar bisa mendapatkan intervensi seawal mungkin untuk memastikan bahwa perkembangan fungsi berbahasa dan psikososial anak dapat dioptimalkan. Intervensi yang diberikan harus sesuai dengan etiologi dan derajat gangguan pendengaran yang dimiliki oleh anak. Artikel ini akan membahas jenis-jenis gangguan pendengaran pada anak dan tatalaksana yang tepat bagi tiap jenis gangguan tersebut.
Berdasarkan penyebabnya, gangguan pendengaran bisa dibagi menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat (terjadi setelah lahir). Gangguan pendengaran kongenital bisa dibagi lagi menjadi genetik dan non genetik. Penyebab gangguan pendengaran genetik dibagi lagi menjadi kelainan yang terisolasi atau sebagai bagian dari sebuah sindrom. Selain karena faktor genetik, etiologi gangguan pendengaran kongenital lainnya meliputi trauma obat-obatan ototoksik yang dipakai oleh ibu pada saat periode antenatal dan faktor risiko perinatal lainnya seperti prematuritas berat badan rendah dan hiperbilirubinemia. Infeksi yang diturunkan dari ibu ke anak khususnya toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, dan herpes (TORCH) juga bisa menyebabkan gangguan pendengaran kongenital.
Penyebab utama gangguan pendengaran yang didapat adalah otitis media dengan efusi, khususnya pada anak usia 2 dan 5 tahun. Otitis media efusi dapat menyebabkan gangguan pendengaran konduktif. Biasanya, otitis media efusi bisa sembuh sendiri tanpa intervensi khusus seiringnya dengan berkembangnya tuba Eustachius. Namun, pemakaian Grommet Tube bisa diberikan untuk mempercepat pemulihan. Etiologi gangguan pendengaran didapat lainnya meliputi serumen prop, kolesteatoma, otosklerosis, dan trauma. Infeksi seperti meningitis bakterial mumps, juga dapat berdampak pada gangguan pendengaran.
Jika berdasarkan mekanismenya, gangguan pendengaran dapat dibagi menjadi konduktif dan sensorineural. Tuli konduktif dapat disebabkan oleh apapun yang dapat menurunkan transmisi suara dari ruang eksternal ke koklea, misalkan serumen prop, kolesteatoma, dan lain-lain; tuli sensorineural disebabkan oleh interupsi pada transmisi suara dari koklea dan seterusnya. Komponen yang sering mengalami kerusakan pada gangguan pendengaran sensorineural adalah kerusakan pada hair cell dalam koklea atau cedera pada nervus kranialis ke-8. Hair cell sangatlah sensitif, sehingga kerusakan yang tidak terlalu banyak pun dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang berat. Derajat gangguan pendengaran ditentukan oleh rentang intensitas suara atau volume yang dapat didengar oleh pasien, antara lain:
- Sangat ringan (16-5 dB)
- Ringan 26-40 dB)
- Sedang (41- 55 dB)
- Sedang-berat (56-70 dB)
- Berat (71-90 dB)
- Sangat berat (>90 dB)
Manifestasi gangguan pendengaran dapat dideteksi dengan cara yang berbeda-beda berdasarkan umur anak. Pada neonatus, gangguan pendengaran hanya bisa diketahui melalui skrining menggunakan Otoacoustic emission (OAE) dan automated auditory brainstem response (BERA). Pemeriksaan OAE biasanya dilakukan pada neonatus yang memerlukan perawatan di neonatal intensive care unit (NICU) selama kurang dari 48 jam dan BERA dilakukan pada neonatus yang memerlukan perawatan di NICU selama lebih dari 48 jam. BERA juga dilakukan pada bayi-bayi yang tidak lulus skrining dengan OAE. Pemeriksaan OAE bekerja dengan mendeteksi getaran hair cell yang terjadi sebagai respons dari stimulus klik yang dihasilkan oleh OAE. BERA bekerja dengan prinsip yang sama, namun target pemberian stimulus klik dan perekaman sinyal elektrofisiologis adalah batang otak, bukan hair cell koklea selayaknya pada OAE; OAE hanya memeriksa fungsi hair cell, sedangkan BERA dapat memeriksa fungsi dari seluruh alur pendengaran dari telinga luar hingga batang otak.
Pada anak yang lebih besar, skrining gangguan pendengaran bisa dilakukan dengan melakukan anamnesis pada orang tua pasien. Anak-anak dengan keterlambatan berbicara, masalah perilaku, dan kecenderungan untuk mendengarkan televisi dengan volume yang tinggi perlu dicurigai memiliki gangguan pendengaran. Untuk mencari etiologi gangguan pendengaran pada anak, dokter perlu menyingkirkan etiologi-etiologi yang reversibel terlebih dahulu. Tanda-tanda etiologi reversibel berupa infeksi telinga meliputi ada atau tidaknya otorea, nyeri telinga, tinitus, dan vertigo. Jika sudah menyingkirkan etiologi reversibel, gejala dan tanda neurologis perlu diselidiki untuk mengetahui apakah ada kemungkinan gangguan pendengaran sensorineural atau tidak. Kejadian-kejadian lain yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran, seperti trauma, infeksi viral, atau obat-obatan yang mungkin ototoksik juga perlu ditanyakan.
Pemeriksaan fisik perlu dimulai dengan melakukan inspeksi pada struktur telinga luar, seperti pinna dan fokus untuk melihat apakah ada deformitas seperti mikrotia dan anotia. Pemeriksaan selanjutnya adalah otoskopi untuk melihat meatus auditorius eksternus dan gendang telinga. Area atik perlu dilihat dengan seksama untuk mencari apakah ada kolesteatoma atau tidak. Pemeriksaan neurologis yang lengkap yang juga meliputi pemeriksaan keseimbangan. Pemeriksaan pendengaran secara berkala juga bisa dilakukan pada anak sepanjang perkembangannya. Pada anak 6 hingga 8 tahun, pendengaran bisa diperiksa dengan membuat suara-suara dengan intensitas yang berbeda dan melihat apakah kepala mereka kepala anak menuju ke suara-suara yang dihasilkan. Jika anak sudah di atas 5 tahun pure tone audiometry bisa dilakukan.
Tatalaksana gangguan pendengaran tergantung oleh tipe gangguan pendengaran yang dimiliki oleh anak. Tuli konduktif akibat otitis media bisa ditangani dengan pemberian antibiotik dan miringotomy jika diindikasikan. Gangguan pendengaran sensorineural tidak bisa diatasi dengan obat. Kasus gangguan sensorineural yang tidak terlalu berat bisa diatasi dengan alat bantu dengar dan terapi wicara. Walaupun demikian, perlu diperhatikan bahwa amplifikasi suara dengan alat bantu dengar dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan nyeri pada telinga. Ada beberapa tipe alat bantu dengar yang tersedia saat ini, yaitu alat bantu dengar binaural air conduction untuk anak dengan fungsi telinga dalam yang tidak sepenuhnya rusak, alat bantu dengar bone conduction untuk tuli konduktif, dan alat bantu dengar contralateral routing of sound untuk tuli unilateral. Jika alat bantu dengar tidak efektif setelah 3 bulan pemakaian atau gangguan pendengaran memiliki derajat berat pada kedua telinga, maka bisa diberikan cochlear implant bisa direkomendasikan.
Jika gangguan pendengaran masih tidak bisa diatasi dengan alat bantu dengar atau pun cochlear implant, tatalaksana konservatif dengan tujuan menjaga perkembangan psikososial dan berbahasa bisa dilakukan. Usaha yang bisa diimplementasikan untuk membantu perkembangan berbahasa dan sosial anak dengan gangguan pendengaran adalah dengan membatasi bunyi latar (background noise) dan berbicara dengan anak di posisi depan wajah anak menggunakan intonasi yang jelas.
Dampak utama dari gangguan pendengaran adalah perkembangan psikososial dan berbahasa. Karena proses perkembangan di area tersebut sudah mulai dari sejak bayi dilahirkan, maka gangguan pendengaran perlu dideteksi secara dini dan ditatalaksana secepat mungkin. Deteksi dini dilakukan dengan OAE dan BERA khususnya pada anak dengan risiko tinggi (memerlukan perawatan di NICU), lalu di-follow-up dengan pemeriksaan pendengaran lainnya yang sesuai umur.