
Sudahkah ibu siap menyusui? Perhatikan waktu rekomendasi dari WHO!
8 Des 2021
Author: dr. Afiah Salsabila
5 Mei 2025
Topik: Female Genital Mutilation, Sunat Perempuan, Anak Perempuan, Perempuan, WHO, Guideline
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 28 April 2025 resmi menerbitkan Guidelines for the Management of Female Genital Mutilation terbaru untuk mengakhiri praktik sunat perempuan, atau Female Genital Mutilation (FGM), serta memberikan dukungan lebih baik bagi para penyintas. [1]
Dalam rilis resminya, WHO menyoroti bahwa meski praktik FGM secara global menurun, justru terjadi peningkatan "medikalisasi" di mana tenaga kesehatan terlibat dalam pelaksanaan FGM, dengan alasan keamanan medis. WHO menegaskan bahwa tidak ada manfaat kesehatan apa pun dari FGM, bahkan prosedur yang dilakukan oleh profesional medis tetap melanggar hak asasi perempuan dan anak perempuan. [1]
WHO mengeluarkan 10 rekomendasi kunci dalam panduan ini, termasuk memperjelas bahwa semua bentuk keterlibatan tenaga medis dalam FGM harus dihentikan. Selain itu, WHO mendorong negara-negara untuk memperkuat pelayanan bagi penyintas FGM, termasuk layanan kesehatan, dukungan psikososial, dan perlindungan hukum. [1]
Di Indonesia, berdasarkan data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama UNFPA, tercatat 46,3% perempuan usia 15-49 tahun pernah menjalani sunat perempuan. Mayoritas praktik ini dilakukan secara simbolis (58,6%), namun sekitar 41,4% sesuai dengan kriteria WHO, yaitu melibatkan tindakan melukai alat kelamin perempuan. [2]
Sunat perempuan secara simbolis biasanya hanya melibatkan tindakan tanpa perlukaan fisik, seperti menggoreskan kunyit ke kelentit atau melakukan ritual tusuk tanpa menyebabkan luka. Sebaliknya, sunat perempuan sesuai kriteria WHO mencakup tindakan seperti menggores, memotong sebagian, atau seluruh bagian kelentit (klitoris) dan/atau labia minora, bahkan dalam beberapa kasus disertai penjahitan, yang dapat menyebabkan cedera permanen dan komplikasi kesehatan serius. [2]
Walaupun terlihat penurunan dibandingkan 2021, angka ini tetap mengkhawatirkan. Menurut SPHPN 2024, praktik FGM lebih tinggi di wilayah perkotaan dibandingkan pedesaan, memperlihatkan bahwa edukasi dan perubahan budaya menjadi tantangan nyata, bahkan di area dengan akses informasi lebih baik. [2]
WHO menggarisbawahi bahwa FGM tidak memberikan manfaat kesehatan, malah berisiko menyebabkan komplikasi serius seperti infeksi, gangguan reproduksi, masalah psikologis jangka panjang, hingga kematian. [1]
Sebagai ujung tombak kesehatan anak, dokter anak di Indonesia memegang peran penting dalam upaya pencegahan dan penghapusan FGM. Berdasarkan rekomendasi WHO dan kondisi nasional, dokter anak dapat berperan dalam beberapa hal berikut:
Dokter anak memiliki kesempatan untuk memberikan edukasi berbasis bukti kepada orang tua tentang dampak negatif FGM terhadap kesehatan fisik dan mental anak perempuan. Ini dapat dilakukan saat kunjungan imunisasi, pemeriksaan tumbuh kembang, maupun layanan kesehatan rutin lainnya.
2. Meningkatkan Kesadaran Profesi Kesehatan
Dokter anak juga diharapkan aktif dalam mengedukasi rekan sejawat di komunitas medis, terutama untuk mencegah keterlibatan tenaga kesehatan dalam praktik FGM dengan alasan apa pun.
3. Tindakan Saat Konsultasi Terkait FGM
Jika ada pasien atau keluarga yang berkonsultasi tentang sunat perempuan, dokter anak disarankan untuk melakukan hal-hal berikut:
4. Rujukan Layanan Dukungan Bagi penyintas FGM,
Dokter anak perlu mampu merujuk pasien ke layanan lanjutan seperti konseling psikologis atau layanan kesehatan reproduksi, agar dampak jangka panjang bisa diminimalkan.
5. Advokasi dan Kolaborasi Dalam Skala lebih Besar
Dokter anak diharapkan berpartisipasi dalam kampanye nasional maupun lokal untuk menghapus FGM, bekerja sama dengan organisasi pemerintah dan masyarakat sipil.
Kesimpulan
Terbitnya pedoman baru WHO ini menjadi momentum penting bagi Indonesia, khususnya komunitas dokter anak, untuk memperkuat perlindungan terhadap anak perempuan. Meskipun prevalensi praktik FGM di Indonesia menunjukkan tren menurun, angka yang masih tinggi menunjukkan perlunya upaya berkelanjutan. Sebagaimana dinyatakan dalam RPJMN 2020-2024 dan target SDGs 5.3, Indonesia berkomitmen menghapus praktik berbahaya terhadap perempuan, termasuk sunat perempuan. [2] Untuk itu, edukasi masyarakat, penguatan regulasi, serta tindakan tegas dari tenaga kesehatan menjadi pilar utama menuju Indonesia bebas FGM. Dokter anak, dengan kedekatannya pada keluarga dan komunitas, berada di garis depan perubahan ini.
Referensi
2. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, UNFPA Indonesia. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024. Jakarta: KemenPPPA; 2024.
8 Des 2021
30 Mar 2023
8 Okt 2023
18 Okt 2023